🍁Tiga Puluh Enam | Jangan Ikut Campur🍁

35 5 69
                                    

Hola ...seperti biasa aku nongol malam-malam👀 pasti gada yang nungguin ya wkwkwk

seperti biasa aku nongol malam-malam👀 pasti gada yang nungguin ya wkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini semua gara-gara Radit berengsek itu. Dia sudah mempersiapkan semuanya dan seolah tahu akan ada yang mencelakai keluarganya, karena itu dia sengaja membuat surat wasiat sialan itu."

Erland tampak mendengarkan apa yang rekannya katakan sambil santai menikmati tehnya. Tak peduli melihat betapa marah dan geramnya Ferdinan yang hampir saja kehilangan semuanya jika Marvin ikut meninggal dalam kecelakaan itu.

"Sudahlah. Nggak perlu mengingat masa lalu. Anggap saja itu merupakan keberuntungan buat kita," kata Erland dengan santainya. "Coba saja pikirkan, kalau Marvin meninggal sepuluh tahun yang lalu, semua aset perusahaan beserta semua harta Radit akan jatuh ke yayasan sosial. Dan kita? Nggak akan dapat apa-apa, kan? Setidaknya karena anak itu hidup, kita masih punya kesempatan untuk merebutnya. Bukan hal yang sulit, kok."

Ferdinan memutar tubuhnya dan bertatap muka dengan saudaranya itu. Wajahnya tampak marah karena mengingat hal yang menurutnya sangat menghina harga dirinya. "Si Radit berengsek itu memang pantas mati. Bisa-bisanya dia lebih memilih menyumbangkan semua hartanya ke yayasan sosial. Sehan Grup sebesar itu dia berikan ke yayasan sosial daripada membiarkannya jatuh ke tangan keluargaku. Kurang ajar!"

Brak!

Ferdinan meninju meja kayu yang ada di hadapannya. Dia benar-benar sangat membenci Radit sampai ingin membunuhnya berkali-kali. "Tapi di mana pun keberadaan surat wasiat itu, nggak akan jadi masalah asalkan Marvin mau menandatangani surat pernyataan yang mengatasnamakan Sehan Group atas namaku. Dia harus memberikan semuanya dulu sebelum mati. Aku sudah lama menunggunya sampai dia berumur 18 tahun. Dan aku nggak boleh gagal lagi kali ini. Anggap saja waktu sepuluh tahun ini adalah kesempatan hidup yang aku berikan untuk anak itu."

"Bagaimana caranya? Apa kamu yakin Marvin akan mau memberikan tanda tangannya? Anak itu sekarang sudah dewasa, bukan lagi anak umur delapan tahun. Kamu jangan asal bertindak tanpa rencana ya, Fer. Kita harus diskusikan dulu kalau kamu nggak mau gagal lagi." Erland memberikan peringatan pada Ferdinan.

Ferdinan menunjukkan senyuman liciknya. "Dia pasti akan menandatanganinya. Kalau sampai dia menolak, kita paksa dia. Apapun caranya, aku harus mendapatkan tanda tangan anak itu. Secepatnya. Lalu kita bunuh dia setelahnya."

Billy sudah tidak tahan lagi mendengarnya. Dia cukup tertekan dengan semua ini. Billy memutuskan untuk pergi dari depan ruangan papanya, menunda tujuan awalnya untuk memberikan tas papanya.

Billy berlari menjauhi ruangan itu lalu masuk ke dalam toilet. Dia berdiri di depan wastafel dan membasuh wajahnya berkali-kali dengan air kran yang dingin. Saat dia menatap pantulan wajahnya di cermin, dia bisa melihat ketakutan yang mendalam di sana. Ferdinan akhirnya akan tetap membunuh Marvin. Itu adalah satu-satunya hal yang paling ditakutkan Billy saat mengetahui Ferdinan datang ke Jakarta. Salah satu alasan Ferdinan pulang kemungkinan besar juga karena hal itu. Untuk menyingkirkan Marvin? Billy kembali membasuh mukanya. Pikirannya kacau.

Marvin Untuk NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang