🍁 Satu | Pacar Kesepuluh 🍁

196 17 269
                                    

Haloohh ... aku kembali dan muncul lagi di tanggal yang teramat sangat penting ini. Karena apa? Hari ini bebebku ultah gaes🤧🤧🤧 jadi aku harus tandain dong di hari yang penting ini😇😇😇

 Karena apa? Hari ini bebebku ultah gaes🤧🤧🤧 jadi aku harus tandain dong di hari yang penting ini😇😇😇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mimpi adalah bagian terbaik dari hidupku ... dan kamu adalah bagian terbaik dari mimpi itu ...."

🍁🍁🍁

Suasana rumah Nara kacau balau malam ini. Nara pulang ke rumah dan ngamuk-ngamuk di kamarnya. Dia meninju-ninju gulingnya sambil memaki-maki seseorang. Setelah puas meninju dan menginjak-nginjak bantalnya, Nara menggigitnya dan melempar-lemparkan bantalnya ke sembarang tempat, lalu selimut dan spreinya ke lantai. Belum puas meluapkan kekesalannya dengan melempar-lempar 'teman tidurnya' yang ada di atas ranjangnya, Nara teriak-teriak tidak jelas.

"Dasar cowok berengsek! Rese! Nggak waras! GUE SEBEL SAMA LO!!!!"

Pintu kamar Nara sedikit terbuka, Fadira---sang mama dan Alvin---sang papa sedang mengintip anaknya dari luar. Mendengar kehebohan di dalam kamar itu, mereka berdua ingin tahu apa yang terjadi dengan putri semata wayang mereka itu.

"Gue sebel sama lo! Gue nggak mau lagi kenal sama lo! NGGAK MAU!!!" Nara berteriak kesal dan akhirnya menangis sambil memungut selimutnya yang berserakan di lantai dan menutupkannya ke wajahnya. Tepatnya Nara sedang menggunakan selimutnya untuk mengelap air mata dan juga ingusnya.

Fadira dan Alvin masih serius mengintip Nara dari luar kamar. Mereka saling berbisik-bisik satu sama lain.

"Ma, itu si Nara kenapa lagi, sih?" tanya Alvin yang berusaha memperluas penglihatannya dengan mencoba membuka pintu kamar lebih lebar lagi.

"Eh, eh, Papa mau ngapain?" Masih dengan suara berbisik, Fadira menahan sisi pintu supaya suaminya tidak membuka pintunya lebih lebar lagi karena nanti bisa ketahuan Nara.

"Papa mau lihat Nara, Ma."

Fadira dan Alvin mengobrol bisik-bisik dengan latar belakang suara tangisan Nara yang lebih mirip suara teriakan tak jelas itu.

"Ngapain? Nggak usah," cegah Fadira. "Nanti kita ketahuan."

Nara yang sedang menangis, perlahan-lahan mengurangi suara tangisnya menjadi lebih pelan karena mendengar suara orang berbisik-bisik. Nara tahu pasti mama dan papanya ngintipin dia.

"Jangan-jangan tuh anak baru berantem lagi sama pacarnya." Alvin mengeluarkan uneg-unegnya.

"Ih, Papa. Kok malah nyumpahin anak sendiri kayak gitu, sih? Nggak boleh, Papa." Fadira menegur suaminya yang berpikiran jelek.

"Papa nggak nyumpahin. Papa kan cuma ngeluarin pendapat Papa aja. Lagian emangnya Mama nggak pernah merhatiin apa, tiap kali si Nara bersikap kayak gitu, pasti dia lagi ada masalah sama pacarnya. Kemungkinannya cuma ada dua." Alvin mengangkat kedua jari tangannya untuk dua kemungkinan yang dia perkirakan itu. "Kalo nggak berantem berarti putus."

Marvin Untuk NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang