Mobil Dipta melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, ia hanya ingin cepat membawa Vanya menuju Rumah Sakit besar, bukan hanya sekedar klinik biasa. Ia ingin Vanya mendapatkan perawatan yang baik. Lokasi rumah sakit ini cukup jauh sekitar 15 kilometer dari Villa mereka. Ponsel Dipta berdering sejak tadi, namun tak ia hiraukan, lelaki itu ingin cepat sampai ke tujuan.
Jalanan yang gelap serta berliku-liku, ditambah kondisi gerimis yang membuat Dipta harus ekstra hati-hati, jika tidak bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan olehnya. Dipta menghela nafasnya saat ia sudah tiba di gerbang Rumah Sakit, ia dengan cepat memarkirkan mobilnya di depan pintu akses Instalasi Gawat Darurat (IGD). Ia keluar dari mobil dengan menggendong Vanya dan dengan cepat masuk ke dalam IGD.
"Suster tolong, temen saya pingsan." Ucap Dipta dengan nada cukup tinggi.
"Sini A, di sini kosong." Ucap salah seorang suster seraya menunjuk bangsal pasien di sampingnya.
"Dok, pasien baru!" Ucap suster itu, tak lama muncul seorang Dokter muda ia dengan cepat memeriksa Vanya.
Dokter tersebut langsung mengecek kondisi Vanya dengan teliti, ia mengambil stetoskop dan memeriksa detak jantung Vanya.
"Mas, ini pacarnya tadi tiba-tiba pingsann ya? Sebelum itu apa yang dia bilang?" Tanya Dokter tersebut.
"Tadi dia gak bilang apa-apa, cuma merintih dan megangin perut kanan bawah." Ucap Dipta seraya menatap wajah Vanya yang pucat pasi.
"Kita akan observasi pacar mas, kita akan rongent dan USG dulu, feeling saya, pacar mas ini usus buntunya bermasalah." Ucap Dokter seraya menyentuh area perut kanan bawah.
"Baik, dok." Ucap Dipta.
"Mas, duduk di ruang tunggu yang ada di depan, kami mau melakukan observasi lebih lanjut ya." Ucap Dokter yang diangguki Dipta.
*****
Dipta sudah mengabari Jendral jika ia berada di Rumah Sakit, dan saat ini pukul 02.00 dini hari, ia menunggu di depan ruang operasi dengan wajah tegang dan kusut. Ia meminta tolong kepada Jendral untuk tidak menyebarkan berita ini untuk menjaga kondisivitas kegiatan hingga esok pagi. Ia menghela nafas kasar, 30 menit telah terlewati namun tak kunjung ada kabar tentang operasi Vanya. Ia sejak tadi hanya duduk di lantai dingin itu menunggu Vanya selesai.
"Dipta! Di mana Vanya?" Tanya Matcha yang tiba-tiba sudah ada di hadapan Dipta dengan seorang perempuan cantik yang wajahnya begitu mirip dengan Vanya, hanya saja perempuan ini terlihat lebih dewasa.
"Di dalam, sedang melakukan proses operasi." Ucap Dipta dengan nada lesu.
"Hah? Operasi? Vanya kenapa?" Tanya perempuan itu dengan wajah panik.
"Tenang sayang, gapapa jangan panik. Oh iya Dipta, ini tunangan saya, kakaknya Vanya, namanya Vanilla. Sayang ini Dipta, ketua BEM kampus ini dan temennya Vanya." Ucap Matcha yang wajahnya cukup terkejut.
"Oh jadi kamu yang bikin Vanya kecapean ya sampe operasi gini?" Tanya Vanilla dengan nada kesal.
"Eh sayang jangan suudzon dulu, Dipta ini banyak bantu Vanya loh." Ucap Matcha.
Dipta pun meminta maaf kepada Vanilla, dan Vanilla hanya menghela nafasnya, ia terlalu kesal hingga mencari tempat pembuangan amarahnya. Ia snagat khawatir pada adiknya dengan keadaan seperti ini.
*****
Cahaya matahari terasa menggelitiki wajah Dipta yang tidur tepat di samping jendela kamar pasien, sayup-sayup terdengar pertengkaran kecil antara Matcha dan Vanilla. Lelaki itu mengerjapkan matanya perlahan, ia berusaha menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya yang menerobos masuk memenuhi rongga penglihatannya.
"Vanya...." Panggil Matcha, namun sepertinya gadis itu belum siuman sejak pasca operasi tadi subuh, sedangkn saat ini baru pukul tujuh pagi.
"Aku gak mau anter kamu, mau nemenin Vanya aja di sini." Kesal Vanilla dengan menatap Matcha yang ada di depannya.
"Hhhhhh... Tapi aku belum beres-beres, kamu juga perlu ganti baju, liat baju kamu tipis begini, sekarang anter aku ke hotel dan ambil barang Vanya di Villa. Jangan keras kepala Vanilla!" Kesal Matcha seraya menatap tajam ke arah Vanilla yang wajahnya juga sama kesalnya.
"Tapi Vanya sama siapa?" Tanya Vanilla.
"Ada Dipta, liat di sana, dia pasti jagain Vanya." Ucap Matcha yang membuat Vanilla diam.
"Oke-oke, kita keluar sekarang, Dipta, pokoknya kalau Vanya sadar kasih tau saya lewat Matcha." Ucap Vanilla yang diangguki oleh Dipta.
"Siap, kak." Ucap Dipta.
"Kita keluar dulu ya, Dip, bapak nitip Vanya." Ucap Matcha, setelahnya lelaki itu menarik Vanilla dengan lembut keluar ruangan.
Ruangan cukup sunyi sepeninggalan dua orang tersebut, Dipta berjalan ke samping ranjang Vanya. Ia melihat gadis yang snagat ceria itu bahkan saat ini tidak membuka mata cantiknya, wajahnya yang semalam pucat pasi, kini berangsur-angsur memunculkan rona-rona pada garis wajah gadis itu. Hanya saja bibirnya begitu kering, Dipta tersenyum memandangi Vanya, ia mengelus pipi Vanya dengan ibu jarinya.
"Lagi tidur aja masih bisa bikin gua salting ya, Van." Ucap Dipta yang bahkan tidak bisa menahan senyumnya.
Lelaki itu menarik kursi yang tak jauh di sampingnya, kemudian merebahkan kepalanya di samping tangan Vanya, lelaki itu masih mengantuk karena semalam begadang menunggu Vanya hingga selesai operasi.
"Shhhh... haus..." Rintih Vanya, matanya sudah terbuka, ia merasakan jika tenggorokannya sangat kering. Ia menatap ke sekitar ruangan yang cukup asing, dan juga ia merasakan tangannya yang tertimpa sesuatu yang lembut.
Vanya berusaha untuk bangun namun rasanya sangat sulit, "awww..." Rintih Vanya saat merasakan sakit yang begitu hebat di perut kanan bawahnya.
Tak lama Dipta bangun saat mendengar rintihan Vanya, ia menatap Vanya dengan setengah sadar kemudian menatap ke arah Vanya. "Hei, lo belom boleh bangun, kata dokter minimal lo sehari harus full bedrest gak boleh kemana-mana." Ucap Dipta dengan penuh kekhawatiran.
"Pres? Gue kenapa?" Tanya Vanya dengan tatapan bingung, Dipta pun menceritakan secara detail apa yang terjadi kepadanya dan bahkan menceritakan jika kakaknya turut hadir di sini dan sedang keluar sebentar.
"Lo nungguin gue di sini semalem?" Tanya Vanya yang diangguki Dipta.
"Iya, gue khawatir banget sama lo. Jangan bikin gue ngerasa kayak gini lagi, Vanya, gue beneran takut kehilangan lo." Ucap Dipta dengan tatapan yang amat dalam, bahkan Vanya serasa tenggelam pada bola mata Dipta itu.
"Dipta.... Kenapa lo sepeduli ini?" Tanya Vanya yang sebenarnyab tak menginginkan jawaban.
"Apa semua sikap gue belum jelas, Van? Gue suka sama lo." Ucap Dipta tanpa menunggu waktu lagi, bahkan ketika ini bukan waktu yang tepat, Dipta tidka peduli, ia hanya tidak mau lebih lama lagi menyembunyikan perasaannya pada Vanya.
*****
Here we go again
KAMU SEDANG MEMBACA
Presma Dipta
FanfictionBanyak orang yang berpikir Dipta itu diktaktor, menyebalkan, sok pintar, dan si paling bener aja. Padahal yang Dipta lakukan semuanya untuk Universitas tercintanya yaitu Universitas Sanggabuana. Dipta itu seenaknya, tapi apa yang dilakukan selalu be...