4. Bioskop

285 34 20
                                    

Dipta dan Vanya berjalan menuju parkiran kampus, lelaki itu memarkirkan motornya di parkiran utama karena tadi di parkiran sekretariat sangat penuh. Dipta menatap Vanya yang hanya diam saja, ia bingung harus menghibur gadis itu bagaimana.

Sejujurnya, Dipta bingung pada dirinya sendiri. Kenapa ia terlalu peduli pada gadis yang ada di sampingnya ini. entah kenapa Dipta tidak suka melihat Vanya terluka seperti ini. Ketika berada di parkiran kampus mereka bertemu Meylina yang terlihat sepertinya sedang menunggu jemputan.

"Pres Dipta, Vanya, kalian balik bareng?" Tanya Meylina dengan senyuman manisnya, suaranya sangat lembut membuat Vanya semakin kagum.

"Ya. Duluan ya, Meylina." Ucap Dipta dengan senyum tipis, namun tatapannya masih mengarah kepada Vanya.

"Duluan, Mey." Ucap Vanya.

Dipta memberikan Vanya helm, Vanya pun berterimakasih. Gadis itu segera memakai helmnya dengan cepat dan menaiki motor Dipta. Dipta pun menjalankan motornya dengan kecepatan stabil, lelaki itu tidak mau membahayakan Vanya.

"Filmnya horror, gapapakan?" Tanya Dipta dengan suara keras, karena khawatir Vanya tak mendengarnya.

"Terserah pres aja deh." Ucap Vanya pasrah, lagi pula ia tak berani untuk menolak apalagi membantah seorang presiden mahasiswa itu.

"Bisa gak jangan panggil pres kalau di luar?" Tanyanya dengan sedikit memohon.

"Loh kan lo emang presma, terus gue harus panggil lo apa pres?" Tanya Vanya bingung.

"Panggil aja Dipta." Ucap Dipta dengan menatap Vanya lewat kaca spion.

"Kak Dipta deh, lo kan kating gue." Ucap Vanya, ia tak mau disangka tak sopan.

"Terserah, asal jangan panggil pres, di luar lo itu temen gua bukan anggota gua." Ucap Dipta dengan senyuman tipisnya yang tentu saja tidak terlihat oleh Vanya.

"Oke." Ucap Vanya seraya menunjukkan jempolnya.

Vanya dan Dipta sudah tiba di Bioskop. Suasana Bioskop lumayan ramai walaupun sudah malam, dua orang itu menonton film horror. Mereka masuk ke dalam teater 3, Vanya sebenarnya takut dengan film horror, apalagi sejak ia tinggal sendiri di kost, ia menjadi parnoan.

Lampu Bioskop mulai dimatikan Vanya menghela nafasnya, ia tak siap menonton film horror. Dipta melihat Vanya yang terlihat gelisah, sepertinya ia memilih film yang salah. Film sudah di mulai, beberapa kali ada jumscare yang membuat Vanya ketakutan.

Tiba-tiba scene hantu muncul lagi, Vanya hendak menutup matanya, namun sebuah telapak tangan besar terlebih dahulu menutup matanya. Vanya tersentak ia kehilangan fokusnya. Tubuh Dipta mendekat, bibir Dipta tak sengaja bersentuhan dengan telinga Vanya, membuat gadis tergelitik.

"Kak..."

"Sorry ya, kayaknya gue salah milih film. Ayo keluar aja dari sini." Bisik Dipta.

"Tapi, Kak.."

"Gapapa, ayok." Ucap Dipta.

Tanpa aba-aba, Dipta menarik tangan Vanya untuk keluar dari Bioskop. Dipta si tukang marah, ternyata punya sisi lain yang membuat Vanya kerasa nyaman. Dipta ini penuh dengan teka-teki.

"Lo mau ngajak gue kemana pres?" Tanya Vanya ingin tahu karena tangannya masih digandeng.

"Stop panggil gue pres, kita gak lagi rapat!" Ketus Dipta. Muncul lagi sisi galaknya, membuat Vanya sebal, kayaknya kesabaran Dipta ini setipis tisu dibagi tujuh ya.

"Sorry, kak, lo bawaannya emosi mulu." Cicit Vanya yang sebenarnya merasa takut.

Tangan Vanya terus digandeng Dipta hingga mereka sampai di rooftop Mall ini. Hembusan angin membuat Vanya merasa tenang, rasanya nyaman. Namun baju Vanya yang tipis membuatnya kedinginan.

Presma DiptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang