18. Dijemput

211 25 17
                                    

Persiapan pesta maba sudah benar-benar matang. Gadis itu sedang memakai sepatu kets miliknya, pukul lima sore ini mereka akan langsung menuju puncak. Mereka akan mempersiapkan venue acara terlebih dahulu dan rapat besar untuk terakhir kalinya di tempat acara. Vanya sudah siap dengan jaket zipper berwarna hijau miliknya, dan juga make up tipis.

Pintu indekos Vanya di ketuk, gadis itu berdiri kemudian membuka pintu. Di sana Dipta berdiri dengan blazer kulit serta celana jeans robek-robek yang sudah menjadi ciri khas Dipta.

"Udah siap? Ayo!" Ajak Dipta dengan senyumannya.

"Gue... Bareng, Dara." Ucap Vanya secara halus menolaknya.

"Dara udah sama yang lain. Kalau enggak percaya lo telepon aja anaknya." Ucap Dipta.

Gadis itu tak percaya, namun sebelum ia menelepon Dara, Dara sudah mengirimnya pesan singkat, katanya ia berangkat dengan anggota divisinya untuk mendiskusikan beberapa hal. Raut wajah Vanya berubah, ia kesal sekali, itu tandanya ia harus berangkat bersama dengan Dipta.

"Gimana? Masih gak percaya?" Tanyanya.

"Percaya deh, pres." Ucap Vanya seraya mengambil tas yang berisikan pakaian dan perlengkapan untuk menginap semalam di Puncak.

Tas Vanya diambil alih oleh Dipta begitu saja, lelaki itu berjalan begitu saja ke arah mobilnya. Tingkah Dipta yang seenaknya itu mulai lagi, namun Vanya tidak berani menginstrupsi karena aura galak Dipta itu masih sangat terasa mendominasi.

Setelah mengunci pintu kamarnya, ia pun mengikuti Dipta memasuki mobil milik lelaki itu. Perjalanan pun dimulai, Dipta mulai menyetir dengan tenang, suasana yang hening membuat keduanya awakward. Seorang Dipta bahkan kebingungan untuk memulai pembicaraan.

Mobil Dipta berhenti di sebuah halte sebuah apartemen, pintu samping Vanya tiba-tiba dibuka oleh Prisilla. Tatapan tak suka langsung diterima Vanya, saat Prisilla tahu jika Vanya duduk di kursi depan.

"Lo mau di sini? Gue pindah deh." Ucap Vanya yang sadar diri, lagipula gadis itu tidak mau menjadi pengganggu.

"Iya, gue pengen di depan, gak bisa di belakang." Ucap Prisilla dengan mengibaskan rambutnya yang kini berganti warna menjadi pink.

Tangan Vanya ditahan ketika akan beranjak dari duduknya oleh Dipta, wajah lelaki itu mengerut dan menggeleng ke arah Vanya. "Lo gak usaha alasan, biasanya lo juga di belakang kalo disetirin supir." Ucap Dipta yang sudah tau rencana Prisilla untuk dekat-dekat dengannya.

"Tapi gue pengen di samping lo!" Ucap Prisilla dengan sedikit hentakan membuat Vanya semakin tidak enak.

"Yaudah lo di depan, tapi gue sama Vanya pindah ke belakang. Pilih mana, cepet, atau gur tinggal lo di sini?" Ancam Dipta dengan wajahnya yang galak.

Vanya tidak berani bersuara, lelaki itu kembali mengeluarkan taringnya. Sedangkan Prisilla membanting pintu mobil, kemudian masuk untuk duduk di kursi belakang. Dipta pun kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan normal.

Sepanjang jalan, Vanya hanya melihat ke arah jendela, melihat pemandangan indah yang menuju ke arah puncak. Suara desisan Dipta terdengar, Vanya menoleh, ternyata Dipta kesulitan untuk membuka permen kopi. Wajah Dipta jhga terlihat mengantuk, membuat Vanya kasihan.

"Sini gue bukain." Ucap Vanya inisiatif.

"Nih."

Bungkus permen itu di buka, Vanya langsung menyodorkan permen tersebut ke arah Dipta. Tanpa di sangka Dipta langsung mengambil permen itu dengan bibirnya, bibir lembut lelaki itu bersentuhan langsung dengan jari Vanya membuat jantung Vanya berdebar dengan kencang.

"Thank you, ya." Ucap Dipta dengan senyumannya.

"Ekhem, Dip gue gerah banget nih, kecilin dong suhu AC." Ucap Prisilla yang terlihat cemburu, Dipta pun menurutinya.

Sepertinya Prisilla bukan manusia, jelas-jelas di sini sedang dingin karena sudah memasuki area puncak. Vanya semakin kedinginan sekarang, gadis itu mengusap-usap lehernya.

"Dingin?" Tanya Dipta yang diangguki oleh Vanya.

"Prisilla gak bisa kepanasan, nih lo pakai jaket gue ya." Ucap Dipta seraya mengambil jaket kulit hitam yang ada di kursi belakang untuk Vanya.

"Lo masih inget ternyata ya tentang gue." Ucap Prisilla dengan percaya diri, namun tidak digubris oleh Dipta.

Vanya hanya diam saja, dan mengambil jaket milik Dipta. Vanya sudah menebak jika mereka sepertinya masih ada rasa satu sama lain, bahkan Dipta masih mengingat tentang Prisilla. Namun tak apa, jika terus seperti ini Vanya pun akan semakin sadar diri siapa dirinya dan siapa Dipta.

"Gak usah, kepedean lo." Sentak Prisilla dengan nada sebal.

"Vanya, tidur aja, lo keliatan ngantuk." Ucap Dipta seraya melirik Vanya yang sedang menguap.

Gadis itu mengangguk, namun tak pantas tertidur ia menatap ke luar jendela. Melihat jalanan yang cukup curam, pepohonan yang menjulang tinggi, kemudian melihat para petani yang sedang berkebun. Suasana yang sangat syahdu yang jarang dilihat oleh Vanya.

Karawang adalah kota yang panas, bahkan ketika berada di dekat gunung, rasanya pun masih tetap panas. Berbeda dengan di kota hujan ini, rasanya sejuk dan menenangkan.

Tak lama Vanya dan Dipta telah sampai di lokasi. Mereka turun, Dipta dengan sigap membawa tas milik Vanya dan tas miliknya. Namun terdengar rengekan dari Prisilla.

"Dip, terus tas aku gimana?" Tanya Prisilla dengan menunjuk koper pink miliknya.

"Ck, nyusahin lo, lagian cuma sebentar ngapain pake koper sih?" Dipta mulai kembali ke mode garangnya, lelaki itu hanya bersikap baik dibeberapa waktu saja.

"Pres lo bantuin Prisilla aja, gue bisa bawa sendiri." Ucap Vanya.

"Jangan, Haikal! Sini, bantuin bawa koper Prisilla." Ucap Dipta yang melihat Haikal berjalan ke arahnya.

"Enya, meuni manja ari maneh, ieu kan aya tarikanna!" Ucap Haikal seraya menarik koper Prisilla.

"Ck, bawel lo." Ucap Prisilla seraya melangkah masuk ke arah Villa.

"Lagian kunaon si Prisilla diajak atuh, Dip?" Tanya Haikal yang sebal.

"Gue gak ngajak!" Ucap Dipta penuh penekanan.

Mereka melangkah menuju Villa, di dalam Villa Vanya melihat calon kakak iparnya yaitu kak Matcha, sepertinya ia yang ditugaskan menjadi dosen pendamping di acara ini. Matcha melambaikan tanggan ke arah Vanya, melihat hal ini tentu saja membuat Dipta badmood.

"Vanya! Kamu ikut juga? Kok gak bilang?" Tanya Matcha yang terlihat senang.

"Aku juga gak tau kalau kakak ikut." Ucap Vanya.

Dipta meremas tali tas Vanya, ia gerah melihat interaksi keduanya. Tangan Dipta menarik tangan Vanya untuk mundur, ia menarik Vanya ke arah ruangan panitia.

"Beresin barang lo dulu, baru ngobrol." Ucap Dipta yang sebenarnya hanya alibi.

"Iya-iya, ini ruangan panitia dicampur? Terus cuma satu?" Tanya Vanya yang diangguki oleh Dipta.

"Gak ada ruangan kosong lagi, tapi nanti yang cowok tidurnya di luar kok, tenang aja." Ucap Dipta yang diangguki Vanya.

Mereka berdua masuk ke dalam ruangan panitia, dan memulai rapat persiapan final until acara pesta mahasiswa baru ini.

Presma DiptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang