Bab 1

833 86 3
                                    


Ruangan kantor Jeno terasa sunyi dan sepi tanpa suara selain deru pendingin ruangan yang terdengar. Jeno duduk di kursinya memandangi foto yang tersimpan di atas meja. Dalam bingkai itu terdapat foto dirinya, Renjun, dan Jino yang saat itu masih bayi tersenyum ke arah camera. Foto itu diambil saat ulang tahun pertama Jino momen di mana Jeno merasa hidupnya lengkap dan sempurna.

Namun kini foto itu terasa seperti kenangan yang mengiris hatinya. Sudah hampir tiga tahun sejak Renjun meninggalkan rumah, meninggalkan Jeno dan Jino sendirian. Jeno masih ingat jelas malam itu dimana Renjun mengemas barang-barangnya dalam diam dan hanya meninggalkan sepucuk surat di meja makan. "Aku lelah, Jeno. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri," itulah yang tertulis. Tidak ada kata perpisahan namun cukup untuk membuat Jeno tersadar bahwa dia telah mengabaikan Renjun terlalu lama.

Sejak saat itu, Jeno mencoba menjalani hidupnya tanpa kehadiran Renjun. Jeno masih seorang direktur sukses di perusahaan besar, tetapi Jeno tahu benar bahwa tidak ada lagi ambisi yang sama. Rutinitasnya yang dulu penuh ambisi kini terasa hampa. Semua penghargaan dan pujian yang dulu membuatnya bangga sekarang hanya meninggalkan rasa kosong di hatinya.

Jeno meremas pelipisnya, mencoba mengusir kenangan-kenangan itu dari benaknya. Jeno menatap jam di dinding, sudah hampir pukul lima sore. Biasanya inilah saat di mana dia harus menjemput Jino dari daycare. Jeno tidak ingin terlambat lagi tidak ingin mengulang kesalahan yang sama seperti ketika Renjun masih di rumah.

Jeno meraih jasnya dan bergegas keluar dari kantor. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Renjun. Jeno teringat bagaimana Renjun dulu selalu menunggunya di rumah, bagaimana Renjun selalu berusaha mengerti kesibukannya meski sering diabaikan. Sekarang, Jeno menyadari bahwa Renjun sudah terlalu sering terluka oleh pilihannya yang selalu mendahulukan pekerjaan.

Setibanya di daycare, Jeno melihat Jino yang sedang bermain dengan mainan di pojok ruangan. Saat melihat ayahnya datang, wajah kecil itu langsung berbinar. "Papa!" Jino berlari kecil menuju Jeno dan langsung memeluk kakinya. Momen itu selalu menjadi pelipur lara bagi Jeno meski jauh di dalam hatinya ada perasaan bersalah yang masih menggerogoti.

"Maaf Papa telat sedikit, nak," ucap Jeno sambil mengelus kepala Jino lembut. Jeno menggendong putranya dan keluar dari daycare, berusaha menghapus kekhawatiran yang sempat membayangi pikirannya. "Kamu mau makan apa malam ini?" Jeno mencoba mencairkan suasana, meski di dalam hatinya ada kekosongan yang sulit diungkapkan.

"Mau makan ayam goreng, Pa," jawab Jino riang, memeluk leher Jeno erat. Saat itu, Jeno tersenyum tipis, tetapi hatinya kembali terasa perih saat menyadari bahwa setiap momen seperti ini adalah sesuatu yang dulu dia lewatkan. Renjunlah yang dulu selalu ada untuk Jino, sementara Jeno tenggelam dalam pekerjaannya.

Dalam perjalanan pulang, Jeno melihat ke arah kursi penumpang di sebelahnya yang kini selalu kosong. Terkadang Jeno berandai-andai, apa yang akan terjadi jika malam itu Renjun memilih untuk tinggal? Apa mereka bisa memperbaiki segalanya bersama-sama?

Setibanya di rumah, Jeno membantu Jino melepaskan sepatu kecilnya dan menggandengnya masuk ke dalam. Rumah itu terasa lebih sunyi daripada sebelumnya, hanya diisi oleh tawa kecil Jino yang mencoba menceritakan kegiatan di sekolahnya hari ini. Jeno berusaha tersenyum, tapi perasaan rindunya terhadap Renjun tidak bisa disembunyikan.

Saat Jino tertidur, Jeno kembali duduk di ruang tamu, menatap foto keluarga mereka yang dulu. Dia merasakan air matanya hampir tumpah, tapi Jeno menahannya. "Renjun, di mana kamu sekarang?" gumamnya lirih, mengakui kerinduannya yang mendalam. Hanya ada keheningan yang menjawab.

Namun, di balik keputusannya Jeno berusaha terlihat tetap kuat demi Jino, ada harapan kecil yang masih tersisa di dalam hati Jeno bahwa suatu hari, Renjun akan kembali ke rumah mereka. Bahwa mungkin cinta mereka belum sepenuhnya hilang meski sekarang yang  tersisa hanya rasa sesal dan kerinduan.

---

Hadirmu✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang