Beberapa minggu setelah mengumumkan kehamilannya kepada Jeno dan Jino, Renjun mulai merasakan berbagai perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Meskipun mual-mual paginya sedikit berkurang kini Renjun mulai mengalami keinginan-keinginan tak terduga atau yang biasa dikenal dengan istilah ngidam. Di tengah malam atau di saat-saat yang tak terduga, Renjun sering tiba-tiba merasa ingin makan atau melakukan hal-hal yang aneh, yang membuat Jeno harus berusaha keras untuk memenuhinya.
Suatu pagi, Jeno bangun dan melihat Renjun duduk di meja makan dengan raut wajah yang sedikit muram. Renjun sedang menatap sebuah buah mangga yang tergeletak di atas meja. Jeno mendekat sambil mengusap mata, penasaran.
“Kenapa sayang Kamu kelihatan sedih,” tanya Jeno sambil duduk di sebelah Renjun.
Renjun memutar tubuhnya, menatap Jeno dengan ekspresi memelas. “Jen, aku pengin makan mangga muda, tapi… harus yang asam banget. Ini gak cukup asam,” jawabnya sambil mengerutkan dahi.
Jeno tertawa kecil, tak kuasa melihat wajah Renjun yang begitu serius. “Aku bisa carikan, kok. Kamu tunggu di sini ya, aku akan pergi ke pasar sebentar.”
Renjun tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. “Beneran, Jen? Terima kasih!” katanya penuh semangat. Tanpa membuang waktu, Jeno langsung bersiap-siap dan bergegas menuju pasar terdekat untuk mencari mangga muda yang sesuai dengan keinginan Renjun.
Sesampainya di pasar kemudian Jeno berkeliling ke beberapa pedagang buah dan akhirnya menemukan mangga muda yang terlihat asam. Jeno membeli beberapa buah, berharap salah satunya bisa sesuai keinginan Renjun. Begitu kembali ke rumah Jeno langsung mengupas mangga itu dan menyajikannya di piring untuk Renjun.
Renjun mengambil sepotong, menggigitnya dengan penuh antusias. Namun, tiba-tiba wajahnya berubah Renjun mengerutkan kening dan mendesah kecewa. “Ini… masih kurang asam, Jen,” keluhnya.
Jeno tertawa kecil, berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan kekesalannya. “Tenang, aku akan cari lagi nanti. Mungkin lain kali aku harus tanya ke penjual yang tahu mangga yang benar-benar asam!”
Hari-hari berikutnya, ngidam Renjun semakin bervariasi dan kadang sulit ditebak. Suatu sore, Renjun tiba-tiba memiliki keinginan yang cukup unik. Renjun melihat Jeno yang sedang membersihkan halaman rumah dan memanggilnya dengan penuh semangat.
“Jen! Aku pengin makan ayam goreng tapi harus yang dari kedai pinggir jalan bukan restoran!” katanya dengan mata berbinar.
Jeno yang mendengar permintaan itu hanya bisa mengangguk pasrah. Jeno langsung berganti pakaian dan bergegas mencari kedai ayam goreng di sekitar kompleks mereka. Setelah hampir setengah jam berjalan kaki dan menelusuri jalan-jalan kecil, akhirnya Jeno menemukan kedai ayam goreng yang sesuai dengan keinginan Renjun. Dengan penuh semangat, Jeno membeli seporsi ayam goreng dan membawanya pulang.
Saat Jeno tiba di rumah, Renjun menyambutnya dengan senyum lebar. “Wah, terima kasih, Jen! Kamu benar-benar hebat!” katanya penuh bahagia.
Jeno hanya bisa tersenyum, merasa lelah namun senang melihat Renjun begitu bahagia. “Apa rasanya enak?” tanya Jeno, memperhatikan Renjun yang menikmati ayam gorengnya.
Renjun mengangguk, terlihat puas. Namun, tiba-tiba ia berhenti makan dan menatap Jeno. “Jen, aku juga pengin makan Tanghulu. Kamu bisa carikan juga?” pintanya dengan senyum manis, meskipun Renjun tahu bahwa permintaannya mungkin merepotkan.
Jeno hanya bisa menghela napas sambil tertawa, kemudian kembali keluar untuk mencari Tanghulu. Baginya, melihat Renjun bahagia adalah kebahagiaan tersendiri, meskipun itu berarti harus keluar rumah beberapa kali dalam sehari untuk memenuhi keinginan unik Renjun.
Malamnya, setelah keinginan ngidam Renjun terpenuhi mereka duduk bersama di ruang keluarga sambil menonton acara televisi. Jeno yang kelelahan bersandar pada sofa, sementara Renjun mengelus perutnya dengan penuh kasih sayang.
“Jen, kamu tahu nggak, aku gak tahu bakal ngidam sebanyak ini,” kata Renjun dengan nada bercanda, menyenggol bahu Jeno.
Jeno tertawa, mengusap kepala Renjun dengan lembut. “Aku gak masalah kok, Ren. Aku senang bisa membantumu, walaupun harus keliling-keliling cari makanan yang kamu mau. Aku hanya ingin kamu dan anak kita sehat juga bahagia.”
Renjun tersenyum, merasa terharu mendengar kata-kata Jeno. Renjun meraih tangan Jeno, menggenggamnya erat-erat. “Terima kasih, Papa Jino. Kamu suami yang luar biasa.”
Jeno tersenyum, matanya memancarkan kasih sayang yang tulus. “Dan kamu juga mama yang luar biasa untuk Jino dan baby” balasnya lembut.
Mereka berdua saling menatap, merasakan kehangatan dan cinta yang semakin mendalam di antara mereka. Ngidam yang dialami Renjun tidak hanya menjadi momen lucu bagi mereka, tetapi juga mempererat hubungan mereka sebagai pasangan yang saling mendukung dan memahami.
Hari demi hari, Renjun terus mengalami ngidam yang unik, dari menginginkan makanan dengan rasa tertentu hingga ingin mengunjungi tempat-tempat yang membangkitkan kenangan masa lalu. Namun, Jeno selalu ada di sisinya, memastikan setiap keinginan Renjun terpenuhi, tak peduli betapa sulit atau aneh permintaannya. Mereka melewati masa-masa ngidam ini dengan tawa, canda, dan kenangan yang akan mereka simpan selamanya
Kok aku update banyak chapter pada ngga vote sih
Sedih tau:(
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadirmu✔️
FanfictionSetiap malam, ketika kota terlelap dalam cahaya gemerlapnya, Jeno duduk sendiri di balkon apartemennya, memandangi gemintang yang berkelap-kelip di langit. Dia bertanya-tanya apakah masih ada harapan untuk memperbaiki segalanya, atau apakah keegoisa...