Bab 17

179 26 0
                                    


Panasnya cuaca di siang hari menembus jendela, menciptakan semburat cahaya hangat yang menerangi ruang makan kecil mereka. Setelah makan siang bersama suasana di rumah Jeno terasa begitu berbeda. Lebih hidup, lebih ceria, dan dipenuhi tawa kecil Jino yang terus bersenandung senang. Hari ini mereka berencana untuk menghabiskan waktu bertiga sebagai keluarga yang utuh.

Renjun berjalan ke ruang tamu, mengawasi Jino yang sedang bermain dengan mainan-mainan kecilnya di lantai. Sesekali, bocah kecil itu menoleh ke arah Renjun dengan senyum manis dan memanggil, “Mama, lihat ini!” sambil memperlihatkan tumpukan balok yang berhasil ia susun.

Bagus sekali, sayang,” jawab Renjun sambil tersenyum lembut. Ada rasa hangat yang menjalari hatinya setiap kali Jino memanggilnya ‘Mama’. Sudah lama sekali Renjun tidak mendengar panggilan itu dari bibir anaknya, dan sekarang, setiap panggilan dari Jino membuatnya merasa semakin hangat.

Renjun masih sibuk memperhatikan Jino ketika tiba-tiba Jeno menghampiri, menyelinap dengan diam-diam di belakangnya dan tanpa memberi peringatan Jeno melingkarkan tangannya di pinggang Renjun menariknya ke dalam pelukan hangat yang terasa begitu nyaman. Renjun sempat terkejut, namun kemudian Renjun tersenyum merasakan rasa nyaman yang sudah lama hilang.

Kenapa tiba-tiba?” tanya Renjun, menoleh sedikit ke belakang sambil berusaha menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. Perasaan hangat dari pelukan Jeno membuatnya sulit untuk marah atau menolak.

Jeno hanya tersenyum kecil, lalu menundukkan kepalanya untuk membisikkan sesuatu ke telinga Renjun, “Aku hanya ingin memastikan kalau kamu tidak akan pergi lagi, Renjun. Aku tidak mau kehilanganmu lagi.”

Kata-kata itu, meski diucapkan dengan suara pelan, mengandung perasaan yang begitu dalam. Renjun bisa merasakan ketulusan di balik suara Jeno. Renjun terdiam sejenak, mengolah perasaan yang muncul di dalam dirinya. Mungkin, perlahan-lahan, luka di hatinya mulai sembuh.

Aku tidak ke mana-mana,” jawab Renjun akhirnya dengan suara lembut. “Aku di sini.”

Keduanya terdiam membiarkan keheningan berbicara. Jeno mempererat pelukannya dan menenggelamkan wajahnya di rambut Renjun mencium mahkota kepalanya dengan lembut.

Ayo pergi mengajak Jino jalan-jalan, bagaimana?” tanya Jeno, mencoba mengubah suasana menjadi lebih ceria. “Sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga.”

Renjun mengangguk. “Aku pikir itu ide yang bagus. Ayo pergi”

Jeno melepaskan pelukannya dan berjalan menuju Jino yang sedang bermain. “Jino, kamu mau pergi ke taman hari ini sama Mama dan Papa?”

Mata Jino berbinar mendengar ajakan itu. Jino berdiri cepat, meninggalkan mainannya dan langsung berlari ke arah Jeno. “Mau! Mau ke taman! Ayo, Mama, Papa!” teriaknya dengan semangat, menarik-narik tangan Jeno.

Melihat anaknya begitu antusias, Renjun tak bisa menahan tawa kecil. “Baiklah, kalau begitu kita siap-siap sekarang.”

Dalam waktu singkat, mereka bertiga sudah bersiap untuk pergi ke taman terdekat yang sering mereka kunjungi. Saat keluar rumah Jino menggenggam tangan Renjun di satu sisi, dan tangan Jeno di sisi lainnya. Mereka berjalan bertiga. Di taman, mereka menghabiskan waktu bersama dengan begitu hangat. Jino berlarian, tertawa riang saat dikejar oleh Jeno, sementara Renjun mengawasi dari bangku taman, tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari anaknya. Rasanya seperti mimpi

mimpi yang perlahan-lahan mulai menjadi kenyataan.


Saat matahari mulai condong ke barat, mereka duduk bertiga di bawah pohon besar, menikmati sore yang tenang. Jeno dan Renjun duduk berdampingan, sementara Jino meringkuk di antara mereka, kepalanya bersandar di pangkuan Renjun.

Ini seperti mimpi,” bisik Renjun sambil mengelus rambut Jino yang mulai tertidur. “Aku tidak pernah berpikir kita akan bisa seperti ini lagi Jen.”

Jeno menatap Renjun, lalu menyelipkan tangannya di bawah dagu Renjun, mengangkat wajahnya untuk bertemu dengan tatapannya. “Ini bukan mimpi, Renjun. Ini kenyataan yang akan terus kita perjuangkan.”

Renjun menatap dalam-dalam ke mata Jeno, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku harap kita bisa terus bersama seperti ini.”

Dan di bawah langit senja yang perlahan berubah warna, mereka bertiga duduk dalam kehangatan, merajut kembali cinta yang pernah hilang, dengan harapan yang baru untuk masa depan mereka.

Hadirmu✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang