Hari itu, Renjun akhirnya berhasil membujuk Jeno untuk membiarkan Jino menginap beberapa hari di apartemennya. Meskipun Jeno awalnya ragu tapi melihat betapa Jino begitu bersemangat Jeno tak kuasa menolak permintaan anaknya. Namun, Jeno sendiri tidak menginap. Setelah mengantarkan Jino dan memastikan semuanya beres, Jeno pamit dan kembali ke rumahnya.
"Papa nggak ikut nginap di sini?" tanya Jino dengan wajah sedikit sedih, memandangi ayahnya yang bersiap untuk pulang.
Jeno berjongkok dan mengusap kepala Jino lembut. "Papa pulang dulu, sayang. Tapi besok atau lusa, Papa jemput kamu lagi. Mama kan juga kangen sama kamu. Habiskan waktu bersama Mama dulu, ya?"
Jino mengangguk kecil, meski masih terlihat agak kecewa. Renjun, yang mendengar percakapan itu, berusaha menenangkan suasana. "Jino, kita bisa main bareng selama kamu di sini. Mama udah siapkan banyak kegiatan seru untuk kita."
Renjun tersenyum, mencoba menghibur Jino. Setelah Jeno akhirnya pulang, Renjun dan Jino pun mulai menikmati waktu mereka bersama. Mereka menghabiskan sore dengan bermain dan bersantai, sebuah momen yang telah lama mereka rindukan.
Namun, ada kejutan yang tak terduga datang malam itu. Saat Renjun sedang menyiapkan makan malam, bel pintu apartemennya tiba-tiba berbunyi. Renjun bergegas membuka pintu, dan betapa terkejutnya dia ketika menemukan Mark Lee, mantan kekasihnya semasa SMA, berdiri di depan pintu dengan senyum lebar.
"Renjun? Lama nggak ketemu! Wah, ternyata kita jadi tetangga sekarang!" sapa Mark dengan nada ceria, tatapannya penuh kenangan masa lalu.
Renjun sejenak terdiam, terkejut dengan kemunculan Mark. "Mark? Kamu tinggal di sini?" tanyanya.
Mark mengangguk antusias. "Iya, aku baru saja pindah. Unitku di sebelah sini. Nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi setelah sekian lama."
Sambil melirik ke arah dalam apartemen, Mark kemudian menambahkan dengan nada penasaran, "Oh, kamu tinggal sama siapa di sini? Atau... kamu sendiri?"
Renjun tersenyum kaku, sedikit canggung. "Aku tinggal sendiri di sini, tapi Jino, anakku, sedang menginap."
Mark tampak terkejut. "Anak? Kamu sudah punya anak? Wah, aku nggak tahu."
Sebelum Renjun bisa menjelaskan lebih lanjut, suara kecil Jino terdengar dari dalam. "Mama, siapa yang datang?"
Mark menoleh, matanya membesar. "Mama?" Ia memandang Renjun dengan tatapan bingung.
Renjun tersenyum kecil. "Iya, aku sudah menikah. Jino itu anakku dan Jeno, suamiku."
Mark terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. "Oh... maaf, aku nggak tahu. Kukira... yah, aku pikir kamu bercanda saat bilang sudah punya anak," katanya dengan nada agak kikuk.
Renjun hanya mengangguk dan berusaha tetap ramah. "Tidak apa-apa, Mark. Banyak yang berubah sejak kita terakhir kali bertemu."
Meski Mark berusaha tetap tersenyum, Renjun bisa melihat sedikit kekecewaan di matanya. Namun, ia tetap mencoba bersikap tenang dan ramah. "Yah, kalau kamu butuh bantuan atau apa pun, jangan sungkan untuk mengetuk pintuku, ya. Tetangga harus saling membantu, kan?" ucap Mark dengan senyum tipis, sebelum akhirnya pamit.
Setelah pintu tertutup, Renjun menghela napas panjang. Kemunculan Mark yang tiba-tiba membuatnya merasa sedikit tidak nyaman, apalagi dengan pertanyaan-pertanyaannya tentang status pernikahannya. Namun, Renjun berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.
Jino, yang sudah bersiap untuk makan malam, menatap Renjun dengan penasaran. "Mama, siapa tadi itu?"
Renjun mengelus rambut Jino dengan lembut dan tersenyum. "Itu cuma tetangga baru Mama, sayang. Tidak penting. Ayo, kita makan malam."
Renjun masih memikirkan pertemuannya dengan Mark malam itu, tetapi Renjun berusaha untuk tidak terlalu larut dalam pikiran tersebut. Fokusnya sekarang adalah menghabiskan waktu bersama Jino. Setelah menidurkan Jino, Renjun duduk di ruang tamu, merenung. Di benaknya, ingatan tentang masa lalunya dengan Mark mulai muncul kembali, tetapi Renjun segera menepisnya. Bagaimanapun, hidupnya sekarang sudah berbeda, ia sudah memiliki Jino dan Jeno.
Keesokan harinya, Jeno datang lebih awal dari yang Renjun duga. Jeno tampak tenang, tetapi Renjun bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Jeno. "Gimana semalam? Jino baik-baik aja?" tanya Jeno sambil memandang Renjun.
Renjun tersenyum dan mengangguk. "Baik, Jino senang sekali bisa menginap di sini. Kita banyak bermain bersama."
Jeno tampak lega, tetapi sebelum ia bisa berbicara lebih lanjut, suara ketukan di pintu terdengar. Renjun berjalan ke arah pintu dan membukanya. Mark berdiri di sana lagi, kali ini dengan wajah yang lebih ceria daripada semalam.
"Hey, Renjun. Aku cuma mau memastikan kalau kamu baik-baik saja. Tadi malam kita nggak sempat ngobrol banyak," kata Mark dengan nada riang.
Jeno, yang masih duduk di sofa, langsung berdiri begitu mendengar suara asing. Ketegangan langsung terasa di udara saat Jeno melangkah ke arah pintu, dan mata mereka bertemu. Tatapan Jeno tajam, sementara Mark tampak sedikit terkejut melihat Jeno ada di sana.
"Oh... kamu Jeno, kan?" tanya Mark, sedikit kikuk. "Aku nggak tahu kalau kamu ada di sini."
Jeno mengangguk tanpa senyum. "Iya, aku Jeno. Suami Renjun," jawabnya dengan tegas, suaranya penuh kepemilikan.
Situasi semakin canggung, tapi Mark tetap berusaha ramah. "Aku tetangga baru di sebelah. Nggak nyangka bisa ketemu Renjun lagi setelah sekian lama."
Jeno tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan dalam senyumnya. "Aku yakin kamu juga tahu bahwa Renjun sudah menikah dan punya anak sekarang."
Mark tersenyum kecil, sedikit tergesa-gesa. "Iya, tentu. Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma mampir sebentar. Aku akan pergi sekarang."
Setelah Mark pergi, Jeno menatap Renjun dengan tatapan tidak enak. "Siapa dia, Renjun?" tanyanya perlahan, meski jelas terlihat ada rasa cemburu yang mulai membara di dalam dirinya.
"Dia cuma teman lama, Jeno," jawab Renjun dengan tenang. "Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan."
Jeno menghela napas panjang, mencoba menahan amarah dan kecemburuannya. "Tapi dia jelas tertarik sama kamu, Renjun. Dan aku nggak suka ada orang lain yang mencoba masuk ke dalam hidup kita, terutama saat kita sedang berusaha memperbaiki semuanya."
Renjun menatap Jeno dengan lembut. "Aku tahu kamu cemburu, tapi aku nggak akan membiarkan siapa pun mengganggu kita. Aku sudah memilih kamu, Jeno, dan aku nggak mau mengulang kesalahan masa lalu. Kita sekarang punya Jino, dan itulah yang terpenting."
Jeno memejamkan matanya sejenak, berusaha meredakan emosinya. Setelah beberapa saat, dia mengangguk. "Aku percaya kamu, Renjun. Tapi kalau dia datang lagi, aku nggak akan tinggal diam."
Renjun tersenyum, mendekati Jeno dan memegang tangannya. "Kamu nggak perlu khawatir. Aku milik kamu, dan aku akan selalu ada untuk kita, untuk keluarga kita."
Jeno menatap Renjun dengan tatapan penuh kasih sayang, dan seketika rasa cemburunya mulai mencair. Mereka duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan mereka dan bagaimana mereka akan menjaga kebersamaan ini untuk waktu yang lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadirmu✔️
FanfictionSetiap malam, ketika kota terlelap dalam cahaya gemerlapnya, Jeno duduk sendiri di balkon apartemennya, memandangi gemintang yang berkelap-kelip di langit. Dia bertanya-tanya apakah masih ada harapan untuk memperbaiki segalanya, atau apakah keegoisa...