Bab 26

238 18 1
                                    

Pagi itu, Jeno bangun lebih awal dari biasanya. Jeno dengan lembut mengusap perut Renjun yang kini berusia tujuh bulan, Jeno merasa gembira sekaligus bersemangat untuk menjalani hari ini. Hari ini adalah jadwal mereka untuk mengecek kehamilan Renjun di rumah sakit, dan Jeno tak sabar untuk melihat perkembangan calon buah hati mereka.

Di ruang tamu Jino sudah bangun dan menunggu penuh semangat. Rencana mereka hari ini adalah mengantar Jino terlebih dahulu ke rumah Papah Jaehyun dan Bunda Doyoung untuk menginap beberapa hari. Dengan begitu, Jeno dan Renjun bisa lebih fokus pada kehamilan Renjun dan membeli peralatan bayi untuk adik Jino tanpa perlu khawatir tentang rutinitas harian Jino.

Jino, kamu senang nginap di rumah Opa Jaehyun?” tanya Jeno sambil membantu Jino memasukkan beberapa barang ke dalam tas kecilnya.

Jino mengangguk dengan antusias. “Iya, Papa! Jino nanti main sama Opa Jae dan Oma Doy!” jawabnya ceria.

Renjun yang sudah siap di dekat pintu tersenyum melihat keakraban antara ayah dan anak ini. Meskipun hatinya terasa berat untuk berpisah sementara dengan Jino, Renjun tahu bahwa Jino akan bahagia bersama orang tua Jeno. Setelah semuanya siap, mereka bertiga berangkat menuju rumah  Jaehyun dan  Doyoung.

Setibanya di rumah Jaehyun dan Doyoung, Jino langsung disambut dengan penuh kasih sayang oleh kedua kakek dan neneknya. Jaehyun memeluk cucunya dengan lembut, sementara Doyoung menyambut Renjun dan Jeno dengan senyum hangat.

Jaga diri baik-baik ya, Renjun,” ucap Jaehyun penuh perhatian sambil menepuk bahu menantunya dengan lembut.

Renjun mengangguk, tersenyum lembut. “Terima kasih Papa Jae. Kami akan segera kembali setelah pemeriksaan,” balasnya sambil mengelus perutnya yang semakin membesar.

Setelah berpamitan dengan Jino dan kedua orang tua mereka, Jeno dan Renjun kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit. Jeno memastikan Renjun duduk dengan nyaman sebelum menghidupkan mesin mobil. Mereka saling tersenyum memandang wajah satu sama lain merasakan antusiasme yang sama untuk melihat perkembangan bayi mereka.


Sepanjang perjalanan mereka berbicara dengan penuh semangat tentang rencana ke depan untuk si kecil, membayangkan kehidupan yang akan mereka bangun bersama sebagai keluarga yang semakin lengkap. Renjun sesekali menyentuh perutnya sambil membayangkan betapa bahagianya saat nanti bayi mereka lahir.


Namun, takdir berkata lain. Saat melewati jalan yang berbelok tajam, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Jeno, yang sedang mengemudi dengan tenang, kehilangan kendali atas mobilnya. Sebuah kecelakaan tunggal tak terhindarkan. Mobil mereka tergelincir dan menabrak pembatas jalan dengan kecepatan tinggi. Dalam sekejap, impian mereka untuk masa depan bersama hancur berantakan.


Ambulans datang dengan cepat, membawa tubuh Jeno dan Renjun yang tak sadarkan diri ke rumah sakit terdekat. Sayangnya, upaya tim medis tak mampu menyelamatkan mereka. Jeno dan Renjun, bersama dengan bayi yang masih dalam kandungan, dinyatakan meninggal dunia.


Berita duka ini dengan cepat sampai ke rumah Jaehyun dan Doyoung. Duka mendalam menyelimuti keluarga mereka. Jaehyun, yang biasanya tegar, tak kuasa menahan tangisnya. Doyoung, dengan air mata yang terus mengalir, memeluk Jino yang masih belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi.


Jino, yang baru saja menghabiskan pagi yang ceria bersama kedua orang tuanya, kini hanya bisa bertanya dengan wajah polos, “Kenapa Papa dan Mama belum pulang?"

Doyoung berusaha tersenyum meski hatinya terasa hancur. “Papa dan Mama sekarang sudah di surga, sayang,” ucapnya dengan suara yang bergetar, mencoba menjelaskan dengan cara yang sederhana kepada Jino.

Jaehyun meraih tangan Jino, mengusap kepala cucunya dengan lembut. “Opa dan Oma akan selalu ada untuk kamu, Jino. Kamu tidak sendirian.”


....

Langit mendung menambah suasana kelabu di luar rumah sakit. Jaehyun memegang tangan Jino yang kecil, sementara Doyoung menyeka air mata yang terus membasahi wajahnya. Mereka melangkah perlahan menyusuri koridor rumah sakit menuju ruangan di mana Jeno dan Renjun beristirahat untuk terakhir kalinya.


Jino, yang biasanya ceria dan penuh semangat, hari itu tampak begitu diam. Tatapan matanya kosong, seolah masih belum bisa menerima kenyataan yang menghancurkan hatinya. Tangan kecilnya menggenggam erat tangan Jaehyun, berusaha mencari kekuatan dari kakeknya yang juga tampak begitu rapuh.


Setibanya di depan ruangan, seorang perawat membuka pintu dan memberi mereka izin masuk. Jaehyun dan Doyoung masuk perlahan, mengajak Jino ke dalam ruangan di mana kedua orang tuanya terbaring dalam ketenangan yang abadi.


Dari kejauhan, Jino melihat sosok Papa dan mamanya yang kini terbaring kaku dengan wajah pucat. Langkah-langkah kecilnya maju mendekat, hatinya yang polos tak mampu menahan gelombang perasaan yang begitu besar. Sesampainya di samping tempat tidur, Jino memandang wajah Papa dan mamanya yang tampak seperti sedang tidur namun dengan keheningan yang begitu mencekam.


Dengan tangan gemetar, Jino membelai wajah Renjun, mengusap pipi sang ibu yang dulu selalu tersenyum hangat setiap kali melihatnya. "Mama…," bisiknya dengan suara serak, seolah berharap Renjun akan membuka mata dan menyambutnya dengan senyum lembut seperti biasa.


Namun, tak ada yang terjadi. Keheningan terus menyelimuti ruangan itu, dan kenyataan pahit semakin nyata di depan mata Jino.

Tangannya yang kecil bergerak perlahan, menuruni wajah sang ibu, hingga akhirnya sampai di perut Renjun yang dulu selalu ia elus saat tahu ada adik kecil yang tumbuh di dalamnya. Jino menunggu, berharap merasakan tendangan kecil dari calon adiknya, seperti yang biasa ia rasakan ketika Papa dan mamanya memperbolehkannya menyentuh perut Renjun.


Namun kali ini tendangan kecil dari calon adiknya tidak lagi terasa. Tidak ada gerakan, tidak ada kehidupan yang terasa. Seolah seluruh dunia telah berhenti berputar. Hati kecil Jino yang belum mengerti sepenuhnya tentang kematian mulai memahami satu hal adik kecil yang ditunggu-tunggu, yang selalu ia impikan untuk bermain bersamanya, juga tak akan pernah datang.

"Mama… Papa… Adik…," suara Jino mulai parau, dan akhirnya, tangisnya pecah


"Ma, bangun… Papa, jangan pergi… Jino takut…!" raungnya, memeluk tubuh Renjun erat-erat, seolah berharap pelukannya bisa menghangatkan kembali tubuh mamanya yang kini begitu dingin. Jaehyun dan Doyoung tak mampu menahan air mata mereka melihat pemandangan memilukan itu. Dengan hati yang hancur, Doyoung berlutut di samping Jino, memeluknya erat sambil mencoba menenangkan cucunya yang terpukul.


"Sayang, Mama dan papa sekarang sudah di surga… Mereka akan selalu melihat kamu dari sana, Jino," ucap Doyoung dengan suara yang bergetar, menahan rasa sakit yang luar biasa.


Namun bagi Jino, kata-kata itu belum cukup untuk meredakan rasa sakitnya. Jino terus menangis, menumpahkan segala rasa kehilangan yang belum sepenuhnya ia pahami, tetapi terasa begitu menyakitkan.


Jaehyun mengusap kepala cucunya dengan lembut, berusaha memberikan kekuatan meski hatinya juga remuk. "Opa dan Oma akan selalu ada untuk kamu, Jino. Kamu tidak sendirian," ujarnya sambil menahan air mata.


Waktu seolah berhenti di ruangan itu. Suara tangisan Jino menggema, memecah keheningan yang menyelimuti tubuh Jeno dan Renjun. Hingga akhirnya, kelelahan menguasai tubuh kecil Jino, dan tangisnya perlahan mereda. Doyoung mendekap cucunya dengan penuh kasih sayang, memberikan pelukan yang mungkin sedikit mengurangi beban di hati Jino.


Di luar rumah sakit, langit mulai menangis, seolah turut berbagi duka dengan keluarga kecil yang hancur ini. Doyoung dan Jaehyun membawa Jino keluar dari ruangan itu, mengajaknya pulang sambil berusaha menenangkan hatinya yang rapuh.



Sejak hari itu, Jino tidak lagi melihat Papa dan mamanya. Namun, kenangan indah bersama mereka selalu hidup dalam hatinya. Setiap malam, Jino berdoa memohon agar Papa dan Mama selalu bahagia di surga, meski jauh darinya.





Hadirmu✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang