Malam itu setelah menidurkan Jino, Jeno kembali duduk sendirian di ruang tamu. Udara terasa dingin, dan kesunyian di rumah semakin membuatnya merenung. Di tangannya, Jeno memegang sebuah foto lama. Foto itu diambil saat mereka bertiga sedang berlibur di pantai, saat itu Jino masih bayi. Renjun tersenyum lebar sambil menggendong Jino yang tertawa riang, sementara Jeno berdiri di sebelah mereka, mencoba tersenyum meskipun tatapannya terlihat lelah.
Saat itu Jeno ingat betul betapa Renjun selalu mengingatkannya untuk meluangkan waktu lebih banyak untuk keluarga. Tapi dirinya selalu saja berdalih sibuk dengan pekerjaan dan sekarang, foto itu menjadi bukti betapa banyak momen yang telah Jeno lewatkan juga momen tersebut belum tentu bisa terulang kembali.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu membuat Jeno tersentak. Jeno menoleh ke arah pintu depan, bertanya-tanya siapa yang datang malam-malam begini. Jeno menghela napas panjang, lalu berdiri dan membuka pintu.
Ternyata, di depan pintu berdiri tetangga mereka, Ibu Lim, wanita paruh baya yang selalu ramah kepada Jeno dan Jino. Ibu Lim membawa sepiring kue, dan tersenyum hangat kepada Jeno.
“Maaf mengganggu malam-malam begini nak Jeno. Saya hanya ingin memberi ini untuk Jino. Dia tadi minggu lalu membantu saya di taman, jadi saya buatkan sedikit kue sebagai ucapan terima kasih,” ujar Ibu Lim dengan senyuman tulus.
Jeno tersenyum kecil dan menerima piring tersebut. “Terima kasih bu. Saya sangat menghargai pemberian anda. Jino pasti senang mendapat kue ini.”
Setelah Ibu Lim pergi, Jeno kembali ke ruang tamu sambil membawa piring berisi kue itu. Jeno melihat Jino yang tertidur pulas di kamar lalu meletakkan kue tersebut di meja kamar Jino. Tatapannya kembali pada foto yang ada di tangannya.
“Apa kabarmu, Renjun?” Jeno bergumam pada dirinya sendiri, suaranya terdengar serak. Jeno tahu bahwa Renjun tidak akan bisa mendengar pertanyaan itu, tapi rasa rindunya begitu mendalam, hingga kata-kata itu terasa perlu diucapkan. “Jino tumbuh menjadi anak yang baik, dia pasti akan membuatmu bangga. Aku hanya berharap... suatu hari kamu bisa melihatnya lagi... Aku berharap suatu hari nanti kamu bisa memeluk dan mencium putra kita lagi.”
Pikiran Jeno berkelana kembali ke masa-masa ketika Renjun masih bersamanya. Jeno teringat bagaimana Renjun selalu menyiapkan sarapan dengan penuh kasih, mengingatkan Jeno untuk tidak bekerja terlalu keras, dan merawat Jino dengan penuh perhatian. Jeno merasa hatinya seperti ditusuk ribuan kali saat menyadari betapa banyak waktu yang telah dia buang dengan tidak menghargai keberadaan Renjun.
Namun, di tengah rasa sesak itu, Jeno juga merasakan adanya tekad yang semakin kuat dalam dirinya. Jika dulu dia lalai, kini dia ingin menjadi seseorang yang lebih baik. Meski Renjun belum kembali namunJeno berharap perubahan ini bisa membuktikan pada Renjun bahwa Jeno benar-benar berusaha.
Ketika malam semakin larut, Jeno akhirnya memutuskan untuk menuliskan surat untuk Renjun. Jeno menulis surat itu bukan untuk dikirimkan kepada Renjun melainkan untuk melepaskan rasa yang selama ini menyesakkan dadanya.
Untuk Cintaku yang Terkasih 'Lee Renjun'
"Sayang, aku tahu mungkin surat ini tidak akan pernah sampai ke tanganmu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal. Aku menyesal karena tidak pernah benar-benar menghargai kehadiranmu dan aku menyesal karena tidak menyadari betapa berharganya waktu yang kita habiskan bersama. Sayang aku dan putra kita Jino salalu merindukanmu sepanjang waktu. Aku tahu aku telah membuat banyak kesalahan di masa lampau tetapi aku berjanji bahwa aku akan memperbaiki semuanya demi dirimu dan putra kita. Sayang, jika suatu hari nanti kamu bersedia memberiku kesempatan lagi aku akan melakukan segalanya untuk membuatmu percaya bahwa aku telah berubah. Disini aku menunggu kamu untuk kembali kepelukanku"
Setelah menulis surat itu Jeno merasakan ada beban yang sedikit terangkat dari hatinya. Meski tak ada jaminan Renjun akan kembali, Jeno tahu bahwa perubahan dalam dirinya ini adalah sesuatu yang harus Jeno lakukan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Jino.
Jeno melipat surat itu dan menyimpannya di laci meja kamar Jino lalu kemudian memandang Jino yang tertidur lelap di kasurnya. Jeno berbisik pelan, “Papa akan melakukan yang terbaik untukmu, nak. Dan suatu hari nantu, semoga Mama bisa kembali ke rumah ini.”
Meski jalan yang Jeno lewati di depannya masih panjang dan penuh tantangan, Jeno merasa telah siap untuk menghadapi semuanya, satu langkah kecil demi langkah kecil akan dia lalui
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadirmu✔️
FanfictionSetiap malam, ketika kota terlelap dalam cahaya gemerlapnya, Jeno duduk sendiri di balkon apartemennya, memandangi gemintang yang berkelap-kelip di langit. Dia bertanya-tanya apakah masih ada harapan untuk memperbaiki segalanya, atau apakah keegoisa...