Guratan wajah yang sulit diartikan dari dua orang yang sedang memeluk box menuju unit apartment yang berada di lantai 10 itu. Lorong panjang yang dilewati dengan kesenyapan antara kedua orang yang sibuk pula dengan pikiran masing-masing.
Pintu dengan kunci pintu tersebut berhasil terbuka. Keduanya memasuki kediaman yanga akan menjadi awal dari rumah tangga yang mereka bina. Box yang Qiya bawa ia letakan pada meja bar di dapur. Dapur yang letaknya tak jauh dari pintu masuk apartment yang dihuni.
Arah langkah kaki Qiya menuju sebuah jendela sekaligus pintu menuju balkon apartment tersebut. Sembraut jingga begitu terlihat jelas. Warna khas ke orange an itu tampak cantik dan memanjakan mata. Perlahan matahari menghilang, kembali pulang karena sudah waktunya berganti shift dengan bulan yang sudah siap untuk terjaga semalaman. Senyumnya tak kalah indah, bahkan langit sudah mulai meredupkan warnanya karena malu dengan wanita yang melemparinya senyum indah dengan mata yang ikut membentuk bulan sabit.
"Sa?" Panggil Raffa membuyarkan pandangan Qiya
"Iya mas?" Tanya Qiya
"Masuk, sudah magrib!" Seru Raffa yang diangguki Qiya.
Keduanya melakukan sholat magrib bersama, tentu dengan Raffa menjadi imam dan Qiya makmum. Setelah sholat, Qiya mencium punggung tangan kanan Raffa dan tangan kirinya aktif membelai kepala Qiya.
"Mas ko pucet? Sakit?" Tanya Qiya yang sedikit panik memandangi wajah Raffa.
Raffa memilih tak menjawab. Ia memilih tersenyum lalu ia melebarkan tangan Qiya. Qiya hanya mengikuti arahan yang Raffa lakukan lalu kepala Raffa ia arahkan pada paha Qiya setelah berhasil membuka kopiah yang ia gunakan. Tangan Raffa terulur melingkari perut Qiya yang masih terbalut oleh mukena. Qiya membeku, tersipu dan tak dapat mengontrol salah tingkahnya.
"Sa, pijetin kepala ku boleh?" Tanya Raffa yang wajahnya menatap Qiya dari bawah. Qiya menggangguk lalu membelai kepala Raffa dengan sedikit tekanan. Sedangkan wajah pria itu sudah bersenyumbunyi dibalik perut datar milik Qiya.
"Badan mas hangat tau" terang Qiya namun Raffa segera menggeleng diperut Qiya sehingga membuat sensasi yang menggelitik diperut wanita itu.
"Tapi aku yang ngerasain" tutur Qiya begitu lembut.
"Pasti kecapean karena beberapa hari lalu kita pindahan. Ayo mas bangun dulu aku buatin bubur" tutur Qiya dengan lembut. Namun Raffa enggan melepaskan dekapannya yang melingkari perut Qiya.
"Ayo bangun dulu mas" ucapnya lagi dengan intonasi yang mulai meninggi
"Engga mau, Sa! Mau gini terus" balas Raffa dengan intonasi manja.
"Kalo gini terus nanti engga sehat-sehat mas" perintah Qiya
"Yaudah deh" balas Raffa dan melepas dekapannya pada Qiya lalu duduk. Manik matanya sejajar dengan manik mata milik Qiya.
"Jangan lama-lama" terang Raffa lalu ia berdiri lebih dahulu dan berjalan menuju ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang ada. Dirinya merebahkan kembali tubuhnya di sofa yang begitu empuk.
Qiya hanya menggelengkan kepalanya lalu membuka mukena yang ia kenakan dan berjalan ke arah dapur. Ia mulai fokus dengan masakan yang ia buat. Beruntungnya Qiya sempat membeli beberapa kebutuhan secara online.
Asik memasak bubur membuat Raffa bosan sehingga memilih berjalan menuju Qiya lalu melingkari tangannya dari belakang. Tubuh Qiya tentu menegak karena kaget. Wajar saja ini kali pertama Raffa bertingkah seperti ini.
"Mas?" Panggil Qiya namun Raffa tak menggubris. Ia malah asik bermain pada ceruk leher Qiya dan menciumnya penuh hasrat.
"Mas lepasin dulu. Ini pancinya panas" terang Qiya

KAMU SEDANG MEMBACA
Bangsal Terakhir (End)
RomanceSaqiya terpaksa mengulang state nya karena seorang dokter yang tak memiliki hati nurani. Dirinya harus mengurungkan niat untuk lulus pada koas nya kali ini dan tidak dapat mengucapkan sumpah dokter bersama temen-temennya karena perbuatan dokter ters...