Sembilan - Prasangka

8 1 0
                                    

Jelaskanlah wahai mentariku

Apa yang terjadi kala itu?

Masih ingatkah kau akan janji itu?

Jelaskanlah wahai permataku

Bagaimana dengan tempat yang ingin kita

tuju?

Bagaimana dengan rencana kita yang mulia?

Jelaskanlah wahai kekasihku

Ada apa dengan kita?
Apa benar kita hanya sebuah kesalahan?

Ataukah aku dan kamu menjadi kita merupakan sebuah malapetaka bagi jiwa ini?

- - -

Hening menyelimuti dua insan saling pandang, ucapan Solaris menjadi alasan atas hening ini.

"Solaris? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan" ucap Ana memecah hening.

"Ah, abaikan saja. Saya hanya kagum atas senyum yang tercetak di bibirmu"

Kini, Solaris benar-benar ingin merutuki diri. Bagaimana bisa, sih? ucapan itu keluar secara frontal dari mulutnya sendiri.

     Mereka kembali menikmati minumannya masing-masing, pandangan Ana terfokus pada buku yang ingin sekali ia baca. Membuka dan membaca beberapa lembar dari buku tersebut, Solaris tak ingin mengalihkan pandangan Ana pada buku yang sedang Ana baca. Sehingga Solaris mengeluarkan buku sketsanya juga peralatan melukisnya, ia berniat untuk melukis gadis yang ada di hadapannya.

     Beberapa kali Solaris memandang wajah gadis dengan seksama kemudian menuangkannya pada sebuah goresan diatas kertas putih nan bersih. Gadis dengan rambut tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek, memiliki alis dan bulu mata yang lumayan tebal, garis bibir yang ditarik menciptakan senyuman manis juga tubuhnya yang mungil membuat pandangan matanya tak dapat berhenti dalam menatapnya.

Goresan pada buku sketsa itu terhenti. Solaris sudah usai dalam melukis gadis itu dengan indah. Kembali ia meneguk minumannya sembari melihat jam analog pada pergelangan tangannya. Sudah hampir larut malam.

"Ana... Saya rasa buku itu bisa kamu lanjutkan di esok hari. Sudah hampir larut malam"

Ana menyalakan ponselnya kemudian menatap jam digital pada ponsel tersebut.

"Padahal alurnya sedang membuatku geram. Baiklah, aku akan lanjutkan besok lagi"

     Ana merapihkan barang-barangnya juga mengembalikan buku tersebut pada tempat tersembunyi agar tak dilihat oleh beberapa pasang mata. Jika barista memperbolehkan Ana untuk membawa pulang bukunya, Ana dengan riang akan memeluk buku itu hingga sampai kerumahnya.
Namun sayangnya peraturan pada cafe ini tidak mudah di revisi, ah sebal sekali.

"Baiklah, sampai bertemu lagi, Solaris." ucap Ana sembari menggantungkan totebag pada bahunya.

"Tunggu Ana. Saya antar"

"Tidak perlu, aku selalu bisa pulang sendiri dengan aman. Lagipula ini belum terlalu malam"

"Saya antar, Ana."

ARNALLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang