Empat - Mozaik Rembulan

19 2 0
                                    

Biarkan matamu berbicara
Menyisipkan sebuah alphabet, tersusun menjadi sebuah kalimat
Dalam hangat kupeluk rindu
Dalam diam kucari kata apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan
Melalui mata hazelnutmu, memahami sesuatu gelap darimu
Tampak gelombang matamu membentuk sebuah kalimat "Rindu"
Harus dengan apa aku membalasnya
Hanya diam yang kupeluk erat, berharap bayangmu akan cepat musnah

- - - - -

     Aku berdiam diri sembari mengutuk diri ini atas apa yang sudah terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
Rumah ini menjadi sunyi, namun sunyi itu membawaku pada riuh yang belum pernah aku ketahui asalnya. Kepalaku terasa nyeri pandanganku bahkan melebur, aku tak dapat melihat apapun.

     Entah siapa yang sudah membawaku ke kamarku, aku seperti sedang beristirahat. Perlahan membuka mataku berharap ayah dan bunda mengusap puncak kepalaku. Mungkin bunda dan ayah sedang kelelahan, biarkan mereka beristirahat. Aku menatap langit-langit kamarku yang di dekorasi indah oleh ayah dan dalam sekejap, mataku tertutup sempurna, aku tertidur lelap.

Hari ini merupakan hari terburukku, mereka bilang ini salahku.

     Terbangunnya aku dari tidur yang tak memiliki mimpi, mungkin aku memang terlelap, atau mungkin aku benar-benar kelelahan. Membuka selimut, menggosok gigi, dan mencuci muka adalah rutinitasku di pagi hari sebelum turun ke bawah untuk sarapan bersama keluargaku.
Ini kali pertama suara bunda tidak menggelegar menembus ruangan dalam rumah, aku bahkan tidak mendengar suara bising dari dapur. Bunda kemana?

Dengan inisiatif, aku mencari bunda juga ayah yang aku sendiri tidak melihatnya ada di dalam rumah.

"Ayah, Bundaa, Aku lapar" teriakku.

     Kami memang tidak memiliki asisten rumah tangga, bunda sengaja tidak memperkerjakan ART dirumah karena bunda sempat memiliki trauma disaat ia masih bekerja dan meninggalkanku sendirian bersama ART dirumah. Dicubitnya aku oleh ART-ku karena tidak mudah bagiku untuk memakan sayuran, dari kejadian itu aku menangis tanpa henti. Lebamku saja masih ada sampai sekarang, mungkin ART-ku terlalu kencang dalam mencubitku.

     Ayah dan bunda benar tidak ada dirumah, aku harus pergi kemana ya? sedangkan dirumah aku tidak ada teman bermain, adikku sudah tiada. Aku memutuskan untuk duduk di teras bersama Renggo, Renggo adalah nama teman bermainku. Boneka dinosaurus yang sejak kecil sudah ada di sisiku.

     Kuratapi jalanan komplek yang sepi pengendara, berbicara dengan Renggo adalah hal terbaik yang kupunya saat ini. Namun sudah berjam-jam bunda dan ayah tidak kunjung pulang ke rumah. Dosa apa yang sudah aku lakukan? Aku lapar, aku ingin makan, bukankah lambungku menangis?

     Anak berumur 9 tahun ini akhirnya menangis juga. Lapar, gelisah, kesepian, itulah yang saat ini ia rasakan. Ia segan untuk berkunjung ke tetangga rumahnya, sang lelaki kecil itu memilih untuk menutup diri dengan menutup wajahnya menggunakan lutut yang ditekuk olehnya. Namun tak lama kemudian ada malaikat kecil datang menghampiri anak lelaki kecil itu dan juga... Renggo.

"Kamu kenapa menangis?" ucap gadis kecil itu.

Aku mengalihkan pandanganku ke sumber suara yang tiba-tiba saja datang.

"Kamu siapa?" tanyaku

"Kamu mau tahu namaku?"

Aku mengangguk pelan sembari menyeka air mataku.

"Kalau kamu ingin tahu namaku, kamu harus berhenti menangis. Tidak baik menangis berlama-lama, nanti kamu tidak punya cahaya lho!" seru gadis itu.

Siapa dia? Bahkan aku tidak mengenali wajahnya, apa benar dia seorang malaikat kecil?

"Jadi kenapa kamu sendiri disini?" tanya gadis itu.

ARNALLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang