Tiga Belas - Derai Tangis

7 1 0
                                    

Tuan, ini puan mu

Yang mencintaimu dengan segala keterbatasanku

Tuan, ini puan mu

Masih ingatkah engkau akan jantung yang diberinya?

Tuan, ini puan mu

Seluruh napas rela diberikan hanya untuk kau

Menjamin kau hidup abadi selalu, Tuan

Tidakkah kau mendengar isak tangisku?

Masih ingin kau berdiri di sana tanpa memberiku sebuah peluk yang pelik?

Tuan... disini puan mu hadir

-

- - -

     Pelukan hangat merenungi insan-insan saling menyapa. Disertai tangis haru akan rindu yang tak terungkap selama bertahun-tahun, membasuh jiwa membasuh perih, membawa segenap luka itu pergi dalam hanyutan relung diri. Entah apa yang salah dan apa yang benar, bisa nya hanya membenahi puing runtuh nan lebur dengan menyusunnya kembali.

Tetapi... yang sudah hancur tidaklah mudah tuk diperbaiki melalui kata "Maaf"

"Ana..." Elio melepaskan pelukannya dari tubuh Ana.

"Terimakasih sudah mencintai saya. Maaf, saya bukan manusia terbaik untuk dirimu. Mungkin kata maaf sangat sulit untuk kamu terima" ucap Elio.

"Aku sudah memaafkan dirimu, El" ucap Ana masih bersamaan dengan isak tangisnya.

Elio menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.

"Tidak Ana, kamu hanya terpaksa melakukan itu. Setelah rasa sakit itu menghantui mu selama hampir 10 tahun ini, tidaklah mudah bagimu untuk memaafkan saya, Ana"

Isak tangis Elio juga Ana terdengar lebih sesak dari sebelumnya.

"Hiks... lalu, bagaimana dengan kita, El?" tanya Ana.

Elio mengusap puncak kepala Ana yang sedang menangis, begitupun dirinya yang masih meneteskan air mata.

"Saat saya pergi, kamu harus tetap berdiri di sini dan jangan kejar saya, ya?"

"Tidak! Aku tidak mau berpisah denganmu lagi, El! Kita baru saja bertemu, maafkan aku El, aku benar-benar tidak mengetahui yang sebenarnya. Tolong terima permintaan maaf ku, aku rela melakukan apapun yang kamu minta tapi tolong jangan berpisah di sekian kalinya" tangis Ana menyeruak, menggelengkan kepalanya agar Elio tidak benar-benar pergi.

Sesak dalam dada Elio, kesedihan kini menguasai penuh atas dirinya.

"Tidak Ana, kamu tidak perlu meminta maaf karena kamu tidak bersalah. Saya hanya minta padamu, carilah bahagiamu, Ana. Jauhi saya, maka dengan itu kamu akan baik-baik saja rembulanku" ucap Elio sembari mengusap air mata di pipi Ana.

"Elio... tak bisakah kita saling memperbaiki jiwa ini tanpa berpisah? Kamu bilang, kamu tidak akan menyakitiku lagi El, tetapi kenapa kamu menyakitiku dengan cara ini?"

"Hanya ini satu-satunya cara agar saya bisa melihatmu bahagia, Na. Dengan adanya saya yang hadir dalam hidupmu, itu tidak akan membuatmu merasa lebih bahagia, melainkan membuatmu lebih menderita. Saya tidak bisa mengontrol bagaimana diri saya yang lainnya akan bertindak padamu, saya tidak ingin kehilangan orang yang saya cintai ke sekian kalinya" isak tangis Elio.

Tangis Analla semakin menjadi-jadi, ini sangat menyakitkan. Mengapa di kehidupan yang hanya sekali ini dia tidak bisa bersama dengan sang cintanya?

"Aku ingin memelukmu sekali lagi, El. Lebih lama, lebih erat" ucap Ana dengan mimik wajah memohon pada Elio, wajahnya kini memerah juga kantung matanya menggembung lebih besar.

Elio tersenyum sembari membuka lengannya "Kemari rembulanku"

     Jantung mereka berdekatan, lebih dekat, juga lebih terasa irama pada detak jantungnya. Tangisan mereka sangatlah perih untuk di dengar, berpisah demi kebaikan masing-masing diri merupakan mimpi buruk dari dua insan ini.

Elio melepaskan pelukannya setelah Ana sudah sangat lama dalam  memeluknya, El melepas pelukan itu dengan perlahan sembari menggenggam jemari mungil Ana.

"Kita akan bertemu kembali kan, El? Kita memperbaiki diri sendiri dahulu lalu bertemu kembali kan? Iya kan El?" tanya Ana.

"Semoga, sayang..."
"Sampai bertemu kembali, semestaku" ujar Elio.

     El melangkahkan kakinya untuk segera pergi, melepaskan jemari Ana dengan perlahan hingga kemudian genggaman itu akhirnya terlepas. Elio pergi bersama dengan tangisan yang kini semakin deras, lebih deras dibanding ia menangis di depan Ana.

     Ia tidak ingin menyakiti sang cintanya dengan kepribadian ganda. Sulit untuk memutuskan bagaimana jika seseorang berada di situasi yang sama dengan Solaris Elio, lebih baik dirinya sendiri yang merasakan sakit daripada sang cintanya tersakiti oleh dirinya sendiri.

Keputusan yang sangat menyakitkan untuk seorang laki-laki adalah terpaksa pergi agar orang yang dicintainya lebih mendapatkan kebahagiaan yang layak untuk didapatkan.

     Pun demikian dengan Ana, ia tidak melangkahkan kaki bahkan berlari untuk mengejar El. Remuk tubuh Ana mendapatkan kejadian menyakitkan di hari ini yang dimana dirinya belum siap akan bertemu El juga belum siap untuk kehilangan El ke sekian kalinya. Namun, Ana adalah sosok yang gigih sekali dalam perihal menunggu, ia akan tetap menunggu dan meyakini bahwa cahayanya akan datang, bahwa Elio akan datang kembali menyapa indah pada dirinya.

     Kini, sesak dalam dada menusuk diri Ana. Memandang bahu yang kian lama kian menjauh, kian memudar. Ana hanya terduduk lemah tak berdaya, air matanya tumpah dengan sempurna. Tara yang sedari tadi mencari keberadaan Ana kini menemukannya terduduk lemas pada bangku trotoar, yang berada persis di depan Perpustakaan Nasional.

     Tara segera menghampiri Ana, ia bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dengannya, namun Ana tak kunjung menjawabnya melainkan masih dengan tangisan juga tatapannya yang kosong. Tara hanya bisa memeluk Ana dengan erat, berusaha menenangkan isak tangisnya. Sebenarnya, Tara sudah khawatir sejak Ana pamit padanya, lantaran Tara tidak sengaja membaca tulisan El pada dinding pesan dan kesan.

- - -

Dan saya memilih untuk meninggalkannya, tidak bermaksud dalam menyakiti perasaannya melainkan menjaganya dari kejauhan, melihatnya tumbuh sebagai wanita dewasa yang mandiri juga teguh akan pilihannya.

Saya tidak menginginkan nya untuk memilih diri ini, biarkan waktu yang mempertemukan kami kembali.

Lebih baik membuatnya menangis karena kepergian diri saya kali ini, daripada harus melihatnya menangis karena sakit yang akan saya beri di kemudian hari.

Tidak semua ekspetasi harus terbayarkan dengan realita. Kadang ada kalanya kita harus melawan pahitnya realita demi menghapus segala ekspetasi yang ada.

Saya mencintainya, dan seperti inilah bentuk cinta saya padanya.

Saya akan selalu mencintainya sampai akhir, dan akan tetap begitu adanya.

Saya menjaga dengan menitipkan mu pada waktu, kita akan segera bertemu pada titik terbaik dari masing-masing diri ini
Analla Moozie...

ARNALLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang