Tiga - Kala Hujan

22 2 0
                                        

Indahmu adalah sakitku
Sudah tahukah bagaimana indah dari dirimu? Apa perlu kupinjamkan kedua korneaku agar kau bisa sepenuhnya melihat indah karya Tuhan sedang berdiri di hadapanku ini?
Jiwamu terpancar, jiwamu tak terkalahkan oleh jiwa manapun.
Namun kau sudah terlalu jauh bagiku, kau sudah terlalu jauh dari jangkauanku.
Jiwamu menolakku mentah-mentah,
Jiwamu menolakku untuk singgah
Ada apa dengan diriku? Apa yang salah dan apa yang kurang? Pertanyaan yang kutujukan pada diriku sendiri, namun tak mampu untukku menjawabnya
Maka izinkanlah aku mencari cara agar kau tetap hidup.
Meski harus kuaduk dengan imajinasiku,
Meski harus menciptakan bayangmu selalu hadir dalam pandanganku.
Walau hadirmu tidak nyata, walau hadirmu hanyalah fana
Asal kau hidup di hatiku... selamanya...

- - -

10 tahun yang lalu

Rumah yang kuanggap sebagai tempat singgah kini sudah hancur. Kepergian adikku menimbulkan luka yang tak hanya menyayat hatiku, namun juga hati ayah dan bunda.

Semua ini terjadi begitu cepat hingga kemudian rumah kami dipenuhi oleh orang-orang yang sangat menyayangi adikku. Tatapan benci dari ayah dan bunda kini terasa nyata, seakan ini semua benar menjadi salahku. Ada apa ayah? aku hanya seorang anak berusia 9 tahun yang belum terlalu paham pada pemikiran orang dewasa.

Proses pemakaman adikku sudah hampir selesai, entah apa yang sedang kurasakan saat ini. Rasa bersalah? rasa sesal? rasa sedih? aku bahkan tidak mengetahui apa yang kurasakan, hanya memandang makam adikku dengan tatapan kosong juga riuh dalam kepalaku.

Bunda dan ayah masih menatapku dengan sangat tajam, tatapan yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Jika benar kematian adikku itu adalah salahku, aku ingin bertanya apa yang sudah kulakukan padanya?.

Hari sebelum adikku tiada ayah bertanya padaku tentang destinasi wisata untuk kami kunjungi pada pekan ini. Ayah sedang mendapatkan cuti kerjanya, dan inilah waktu yang sangat kami tunggu untuk berlibur. Tanpa berdosa aku menjawab untuk pergi ke pantai dimana kala itu adalah salah satu tempat favoritku untuk berlibur.

Kami berangkat dari rumah pada pukul 1 siang menuju Kepulauan Seribu, tak lama kemudian mobil berhenti pada tujuan kami. Perjalanan terasa singkat hingga akhirnya kami menginjak pasir pantai Kepulauan Seribu dengan ribuan hal-hal indah tersembunyi di dalamnya.

"Sayang-sayangnya ayah, sebelum bermain dengan air kalian harus mengganti pakaian terlebih dahulu yaa" tegur ayah sambil membawa beberapa tas jinjing berisi baju kami.

"Baik ayah!!" sahutku

"Wait a moment honey, can we take a photo please?"

"Of course, absolutely. Kak!! dek!! sini sayang foto dulu"

Ayah memanggilku dan adikku, berfoto adalah hal yang sangat bunda cintai. Bagaimana tidak? dengan berfoto kami dapat menceritakan kembali tentang apa saja yang sudah terjadi setelah kami berfoto dan berlibur. Namun kali ini aku membenci foto itu.

Aku dan adikku sudah mengganti pakaian, bersiap untuk membasahkan diri dengan air asin ditambah pemandangan indah pada pantai ini. Ayah dan bunda sedang bermesraan pada bibir pantai dengan payung yang ditancap sebagai pelindung dari teriknya matahari.

Kami bermain air hingga lupa waktu, namun ayah dan bunda tidak marah akan hal itu. Menikmati waktu bersama sang cintanya merupakan hadiah terindah yang pernah mereka dapatkan.

"Bunda, tadi saat aku bermain dengan adik, aku melihat ada kepiting kecil membuat bola-bola kecil dari mulutnya" aku membuka percakapan dengan hati yang sangat riang.

"Oh ya?! kakak ingin tahu tidak kenapa kepiting kecil itu membuat bola-bola dari mulutnya?"

"Mau sekalii, memangnya kenapa bun?"

"Kepiting kecil itu sedang makan. Dia mencari makanan dari partikel pasir itu kak"

"Tapi kenapa setelah makan dia membulatkan pasirnya?"

"Itu sebagai penanda bagi kepiting kalau yang sudah dibulatkan tadi adalah partikel yang sudah dimakan olehnya. Dan pasir bagi kepiting itu bukan hanya dimakan saja, tetapi membantu kepiting itu untuk menyaring makanannya"

"Wah si kepiting keren sekali ya bun?"

"Iya kak, dan banyaknya bola yang dia buat adalah seberapa banyaknya ia makan"

Aku menganggukkan kepala dengan tatapan kagumku pada bunda, beliau adalah manusia terbaik dalam hidupku. Ayah pun demikian, menatap bunda dengan tatapan yang sama.
Kami semua lelah sehingga datang sang kantuk yang tak tertolongkan melahap kami. Aku, bunda dan adikku tertidur lelap namun ayah tentu saja tidak.

Hujan lebat ini tidak kusangka akan datang, padahal saat aku bermain air, langit benar-benar sangat terik menembus lapisan kulit. Perjalanan masih sangat jauh dan kami tak berhenti untuk selalu berdoa akan keselamatan dalam perjalanan kami.
Sepanjang jalan itu entah kenapa mataku selalu tertuju pada adikku yang berusia 4 tahun.

Aku tidak dapat mendeskripsikan bagaimana aku bisa secepat itu berubah menjadi orang berbeda.

Ingatanku hanya sampai pada saat tanganku bergerak melukai adikku. Kemudian setelahnya, aku seperti tidak mengenal diriku sendiri. Aku membenci hujan dan membenci sebuah foto.

Dari banyaknya manusia, kenapa harus aku?

ARNALLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang