21: Belum Berakhir

40 5 0
                                    

Malam telah larut, dan bintang-bintang yang berkilauan di langit masih setia menemani perjalanan pulang Chandra dan keluarganya. Setelah perayaan yang penuh kebahagiaan, suasana terasa lebih tenang, seakan alam sendiri memberi mereka waktu untuk merenung. Namun, di balik senyum-senyum hangat yang mereka bagikan, ada sesuatu yang mengganjal di benak Chandra. Ia bisa merasakannya—sebuah firasat yang tidak menyenangkan, seolah perjalanan mereka belum benar-benar berakhir.

Setibanya di rumah tua mereka yang sekarang penuh dengan kehidupan dan cinta, Chandra diam-diam menyelinap keluar menuju halaman belakang. Pohon besar yang dulu tampak menyeramkan di mata masyarakat, kini menjadi tempat Chandra mencari ketenangan. Namun, malam itu rasanya berbeda. Angin malam yang biasanya menenangkan terasa lebih dingin dari biasanya, membelai kulitnya dengan cara yang membuat bulu kuduknya meremang.

Chandra mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menyingkirkan perasaan gelisah yang tiba-tiba muncul. “Apa yang salah dengan diriku?” gumamnya pelan, menatap gelapnya langit.

Tepat saat ia hendak melangkah kembali masuk, suara langkah kaki yang lembut menghentikannya. Chandra menoleh, dan mendapati Sean berdiri di pintu belakang, menatapnya dengan pandangan penuh perhatian.

"Kau tahu aku selalu bisa membaca perasaanmu, kan?" kata Sean, tersenyum tipis.

Chandra menghela napas panjang, lalu mendekat ke arah kakaknya. "Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, Sean. Rasanya seperti ada sesuatu yang masih belum selesai. Semua orang berpikir bahwa kita sudah melewati yang terburuk. Tapi…"

"Tapi kau merasa sebaliknya." Sean melanjutkan kalimatnya dengan tegas, dan Chandra hanya bisa mengangguk pelan.

Sean mengarahkan pandangannya ke arah horizon yang mulai memudar dalam kegelapan malam. "Aku juga merasakannya," katanya, suaranya lebih rendah sekarang. "Kita telah menghadapi banyak hal—kutukan keluarga kita, rahasia-rahasia kelam yang menyelimuti kita, dan ancaman yang sepertinya tak pernah berakhir. Tapi ada sesuatu yang selalu kembali. Sesuatu yang belum selesai."

Chandra menatap kakaknya, terkejut sekaligus lega mendengar Sean merasakan hal yang sama. "Apakah kau pikir ini berhubungan dengan benda itu?" tanya Chandra pelan, sambil memikirkan artefak kuno yang pernah ia temukan di rumah ini bertahun-tahun lalu. Benda itu sudah lama mereka sembunyikan, terkunci rapat dalam kotak besi di ruang bawah tanah. Tapi sejak hari pertama ia menemukannya, Chandra selalu merasa ada yang tidak beres dengan benda itu.

Sean tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Bisa jadi. Aku pikir kita harus melihatnya lagi."

Dengan cepat, mereka berdua menyelinap masuk ke rumah, bergerak dengan diam-diam melewati ruang tamu yang sepi. Semua saudara mereka sudah tertidur setelah perayaan yang melelahkan, tak menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi. Mereka menuju ke ruang bawah tanah, tempat di mana kotak besi yang terkunci rapat itu disimpan. Dinding-dinding ruangan itu dingin, dan udara di dalamnya terasa lebih berat, seolah membawa beban yang tak terlihat.

Chandra membuka kunci pintu besi yang tebal, dan Sean menyalakan lampu. Di sudut ruangan, kotak itu berdiri, tampak tak tersentuh sejak terakhir kali mereka menyimpannya di sana. Namun, ketika Chandra mendekat untuk membuka kotaknya, ia merasakan ada getaran aneh di udara, seolah sesuatu dari dalam kotak itu menyadari keberadaan mereka.

"Sudah lama kita tidak menyentuh ini," bisik Sean, matanya terfokus pada kotak tersebut.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Chandra membuka tutup kotak itu. Di dalamnya, benda itu terbaring, tampak sama seperti dulu—sebuah artefak tua yang terbuat dari batu hitam, dengan ukiran-ukiran misterius di permukaannya. Bentuknya menyerupai lonceng kecil, namun tanpa pegangan. Di sekelilingnya terdapat lingkaran simbol-simbol yang tidak mereka mengerti, namun aura yang dipancarkan benda itu membuat suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang.

Darah yang Sama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang