Bayangan hitam itu terus membuntuti mereka, bergerak cepat di sepanjang lorong kampus yang sepi dan dingin. Cahaya redup lampu-lampu lorong berkedip-kedip, menciptakan ilusi bayangan yang lebih besar dan lebih menakutkan. Suara langkah kaki mereka bergaung di dinding-dinding tua, tetapi bayangan itu tak pernah jauh. Setiap detik, sosok gelap itu semakin mendekat, seolah menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Prof. Armand berlari di belakang mereka, terengah-engah namun tetap tegar. "Kita tidak bisa terus begini," katanya dengan suara serak. "Bayangan itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan kita."
Sean mengangguk cepat, menyeka keringat dari dahinya. "Tapi kita belum menemukan jalan keluar dari sini. Kampus ini seperti labirin."
Mahesa dan Dimas, yang sementara memimpin di depan, berhenti sejenak untuk memeriksa lorong bercabang di depannya. "Lorong ini tidak masuk akal... Kita terus kembali ke tempat yang sama. Ini seperti ada sesuatu yang memanipulasi ruang di sini."
Hendra, yang terlihat semakin cemas, menoleh ke arah Prof. Armand. "Bagaimana caranya bayangan itu bisa muncul di sini? Apa yang sebenarnya kita hadapi?"
Armand menggeleng, mengusap dahinya yang berkeringat. "Bayangan itu bukan sekadar makhluk biasa. Ia terikat dengan perjanjian leluhur kalian. Di tempat seperti ini, ruang dan waktu bisa ditekuk sesuai kehendaknya. Dan kita semua—bahkan aku—terseret ke dalamnya."
Tiba-tiba, Zaidan berteriak dari belakang. "Mereka semakin dekat!" Dari ujung lorong, bayangan hitam yang besar itu merayap maju dengan cepat, sayapnya yang hitam berkibar perlahan, seolah-olah mendominasi setiap jengkal udara di sekitar mereka. Matanya yang merah menyala semakin terang, memancarkan rasa takut ke dalam hati mereka.
"Kita harus melakukan sesuatu!" teriak Haiden dengan napas terengah-engah.
Prof. Armand menatap bayangan itu dengan mata tajam. "Kita tidak bisa melawannya di sini. Tempat ini memperkuat kekuatannya. Kita harus keluar dari kampus ini, menemukan tempat yang netral, jauh dari perjanjian leluhur yang mengikatnya."
"Bagaimana caranya?" tanya Hao putus asa. "Setiap lorong di sini membawa kita kembali ke tempat yang sama. Kita terjebak!"
Mahesa, yang memimpin, terhenti di persimpangan lorong. Dia melihat sesuatu di dinding—sebuah simbol kecil yang hampir tidak terlihat di antara retakan dan lumut. "Tunggu, lihat ini!" katanya, menunjuk simbol itu.
Prof. Armand segera mendekat, memperhatikan simbol tersebut dengan cermat. "Ini... ini adalah simbol pemutus ruang," bisiknya. "Jika kita bisa mengaktifkannya, kita mungkin bisa memecah ilusi lorong ini dan keluar dari perangkapnya."
Chandra, yang selalu cepat bertindak, segera meraba kantongnya dan mengeluarkan pisau kecil. "Apakah ini membutuhkan darah juga?"
Armand mengangguk ragu. "Ya, tapi kali ini bukan sembarang darah. Darah dari keturunan leluhur yang terikat dengan perjanjian ini—kalian."
Sean, tanpa ragu, menggoreskan telapak tangannya dengan pisau itu dan membiarkan darahnya menetes ke simbol di dinding. Saat tetes darah pertama menyentuh simbol itu, cahaya redup mulai bersinar dari dalam retakan, menyebar perlahan di sepanjang dinding.
Lorong mulai bergetar hebat, seolah-olah ada kekuatan besar yang berusaha melepaskan diri. Dinding-dinding di sekitar mereka berubah, memudar seperti kabut yang tertiup angin. Seketika, mereka merasakan udara dingin malam yang segar, bukan lagi udara lembab dan pengap dari lorong kampus.
"Kita berhasil!" teriak Dimas dengan penuh kelegaan. Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, bayangan itu belum hilang. Dari balik pepohonan di kejauhan, sosok besar itu masih terlihat mengintai, menunggu kesempatan untuk menyerang lagi. Prof. Armand menarik napas panjang. "Kita tidak bisa tinggal di sini. Bayangan itu masih mengejar kita."
Mereka berlari lagi, melintasi lorong-lorong yang berkelok-kelok, mencoba mencari jalan keluar dari labirin ini. Setiap belokan seolah-olah membawa mereka ke dalam kegelapan yang lebih dalam, sementara bayangan itu terus mengejar, seakan semakin dekat setiap detik.
Sean memimpin dengan penuh determinasi. "Kita harus menemukan pusat dari semua ini. Mungkin ada sesuatu di tengah kampus yang bisa membantu kita."
"Jika kita bisa mencapai aula utama, mungkin kita bisa menemukan cara untuk mengakhiri ini," usul Edwin, berusaha membangkitkan semangat kelompoknya.
Hao, yang di sampingnya, merasa putus asa. "Tapi jalan menuju aula terlalu jauh. Dan bayangan itu semakin mendekat!"
Tiba-tiba, mereka mendengar suara gemuruh yang menakutkan, seakan dinding-dinding lorong bergetar menanggapi kedatangan bayangan itu. Prof. Armand menghentikan langkahnya. "Kita harus mencari tempat untuk berlindung," serunya. "Ada ruangan di ujung lorong ini. Mari kita ke sana!"
Mereka berlari menuju ruangan yang gelap, mencoba bersembunyi di balik pintu yang berat. Chandra menekan tubuhnya di belakang pintu, berusaha mengatur napasnya yang mulai memburu. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.
Prof. Armand menenangkan mereka. "Kita harus tenang. Bayangan itu tidak bisa masuk jika kita berada di tempat yang terlindung. Tetapi kita harus berpikir cepat. Kita perlu cara untuk memecahkan perjanjian ini."
Sean menatap sekeliling ruangan yang sempit. "Di sini pasti ada sesuatu yang bisa membantu kita. Cobalah untuk melihat apakah ada simbol atau benda aneh."
Minghao mulai menyusuri dinding, meraba-raba, berharap menemukan petunjuk. "Di sini tidak ada yang terlihat. Hanya dinding kosong dan debu."
Tiba-tiba, Jojo berteriak dari sudut ruangan. "Ini dia! Lihat!" Dia menunjuk pada simbol yang samar terukir di sudut dinding. "Ini mirip dengan yang kita lihat sebelumnya!"
Prof. Armand mendekat dan mengamati simbol itu dengan seksama. "Ya, ini mungkin adalah petunjuk untuk memecahkan perjanjian. Kita perlu menggunakan darah kalian sekali lagi, tetapi kita harus melakukannya dengan hati-hati."
Sean merasa ketegangan meningkat di dalam dirinya. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Salah satu dari kalian harus menggoreskan darah ke simbol ini, sambil memfokuskan pikiran pada tujuan kita—memecahkan perjanjian dan menghentikan bayangan itu." Prof. Armand menjelaskan, suaranya tenang namun penuh urgensi.
Tanpa ragu, Chandra mengeluarkan pisau kecilnya lagi dan bersiap untuk menggoreskan telapak tangannya. "Aku akan melakukannya," katanya, penuh keberanian. "Kita tidak bisa membiarkan bayangan itu mengalahkan kita."
Dia menggoreskan pisau ke telapak tangannya, dan darahnya menetes ke simbol yang terukir di dinding. Saat tetesan darah menyentuh simbol itu, cahaya yang lebih terang menyebar dari dalam retakan, membuat seluruh ruangan bergetar hebat.
Namun, di luar, suara mengerikan dari bayangan itu semakin mendekat, mengintimidasi mereka dengan kehadirannya yang mengerikan. "Cepat! Lakukan!" teriak Sean, merasakan tekanan meningkat di sekeliling mereka.
Dengan kekuatan bersama, mereka semua memfokuskan pikiran dan energi mereka, berharap bahwa tindakan Chandra akan membuka jalan keluar dan mematahkan ikatan yang menjerat mereka. Kegelapan di luar semakin dekat, tetapi dengan harapan yang baru, mereka berjuang untuk menghadapi kegelapan yang mengancam mereka, berusaha menemukan cahaya di tengah kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah yang Sama
Misterio / SuspensoCerita ini berkisah tentang Chandra dan 12 saudaranya yang terhubung oleh darah namun berasal dari orang tua yang berbeda. Terjebak dalam kutukan gelap yang diwariskan oleh leluhur mereka, mereka menghadapi berbagai teror di rumah tua keluarga. Keti...