23 : Gelapnya Dunia Senja

47 33 0
                                    

"aku sibuk mencari sembuh, sedangkan aku tidak tau luka mana yang harus aku sembuhkan lebih dulu. terlalu banyak kehilangan - kehilangan yang aku alamin, sedangkan aku belum benar benar siap untuk menerimanya."

*****

Sasa menatap sendu gundukan tanah di depannya, matanya sembab akibat menangis, Salsa memeluk tubuh Sasa yang sedari kemarin menangisi Laksmi, "iklasin bunda yah dek biar bunda bisa pergi dengan tenang." Bisik Salsa.

"ini serius kita yatim piatu kak, aku udah gaada siapa-siapa lagi, lantas aku harus bersandar sama siapa." Ujar Sasa pelan.

"masih ada aku dek, kita masih keluarga aku akan gantiin peran bunda dan ayah di hidup kamu, kamu cukup bersandar sama aku, mau seribu orang menghakimi kamu aku akan berdiri sendiri menjadi tameng untuk kamu." Sasa terdiam dan memeluk tubuh Salsa.

"harusnya hari ini bunda tau kalau aku lolos seleksi, aku bisa kuliah dengan kerja keras aku, seharusnya bunda bertahan sedikit lebih lama lagi." Sasa kembali menangis membayangkan raut wajah bahagia Laksmi yang mengetahui bahwa dirinya berhasil.

"kamu yang tabah yah dek, kita sekarang cuma berdua aku harap kita bisa menguatkan satu sama lain." Sasa mengangguk memeluk tubuh Salsa.

"Jingga ayo kembali gak baik orang hamil berlama-lama dikuburan." Tegur Davin-suami Salsa.

"ayo kembali dek." Sasa menggeleng lemah.

"kakak deluan aja kembalinya aku masih mau disini." Salsa menghela nafas lemah.

"kak biar aku aja yang nemanin Senja disini." Tawar Ersya tersenyum pada Salsa.

"yaudah jagain adikku yah." Ersya mengangguk dan tersenyum.

Salsa berdiri berjalan menghampiri Davin dan meninggalkan tempat, "kalian kalau mau balik deluan aja nanti kita nyusul." Ersya menatap teman-temannya.

"yaudah kita balik deluan, kalian jangan terlalu lama disini." Balas Maura.

Ersya hanya mengangguk, mereka berjalan menyusul langkah Salsa dan Davin, Ersya duduk di samping Sasa merangkul pundak Sasa dan mengusapnya, "aku sekarang udah gak punya siapa-siapa lagi." Gumamnya menatap kosong kuburan sang bunda.

"kamu yang tabah yah aku akan selalu ada di sisi kamu, perlu kamu tau kamu gak sendiri Sa ada aku ada kakakmu dan ada mereka." Sasa terdiam dan tersenyum miris.

"apa artinya hidup tanpa seorang ibu Sya?" Ersya terdiam tidak menjawab.

"bagai terjebak di sebuah ruangan yang gelap hanya terus mencari tanpa menemukan apa yang dicari terjebak tanpa tau arahnya kemana, mungkin begitu hidupku tanpa bunda gelap dan terjebak karena cahayanya sudah redup untuk waktu yang lama meninggalkan kebingungan yang tak kunjung selesai." Lanjut Sasa tertawa getir.

Ersya menghela nafas mengusap punggung Sasa, "udah sedihnya Sa jangan berlarut-larut matamu sudah sembab aku yakin bundamu gak mau ngelihat kamu sedih." Ersya mengusap pipi Sasa.

"iya Ersya maaf yah kamu harus berurusan dengan wanita berantakan ini." Ersya menggeleng tegas.

"hei jangan ngomong gitu Sa, bagi aku kamu selalu sempurna di mata aku, jangan pernah berpikiran gitu." Sasa terdiam dan menunduk.

"Sya langit udah gelap mau hujan, kalau mau balik deluan aja gapapa gausah nungguin aku disini." Ersya menggeleng pelan.

"aku tetap nemanin kamu disini aku gak bakalan ninggalin kamu." Ersya menatap Sasa intens.

"makasih yah." Lirih Sasa.

Langit sudah semakin gelap siap menumpakan apa yang selama ini di tahannya, guntur sudah mulai saut-sautan bulir-bulir kecil sudah mulai membasahi tubuh mereka berdua, Sasa masih terdiam tidak berniat bergerak sedikit pun.

Melody untuk SenjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang