Bab 13

3 2 0
                                    

Malam itu, suasana restoran mewah di Jakarta dipenuhi oleh gemerlap lampu dan alunan musik klasik yang mengalun pelan. Baron duduk di belakang mobil, sementara Kim mengemudikan dengan tenang, mengikuti jalan menuju tempat pertemuannya dengan wanita Filipina yang misterius itu. Baron terlihat tenang di luar, namun di dalam kepalanya, ia penuh dengan pertanyaan tentang maksud pertemuan ini.

Saat mereka hampir tiba, Kim menerima telepon dari Vivian. "Ron, ini aku, Vivian," suaranya terdengar ceria dari seberang telepon. "Aku ingin bertemu besok. Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu."

Baron tersenyum tipis, senang mendengar suara Vivian. "Vi? Kau ingin bertemu?"

"Ya, apakah kau sibuk?"

"Gak kok. Besok kita atur waktunya," jawab Baron sambil menutup telepon.

"Baik." Vivian mengakhiri panggilan singkat itu.

Namun, sesampainya di restoran, suasana berubah. Wanita Filipina itu sudah tiba terlebih dahulu, duduk dengan elegan di salah satu sudut restoran, mengenakan gaun hitam yang anggun. Pengawal setianya berdiri tegak di belakangnya, mengawasi setiap gerakan orang di sekeliling.

Baron melangkah mendekat, disambut dengan senyum tipis dari wanita Filipina itu. "Kau datang tepat waktu," ucapnya lembut, namun ada sedikit sindiran dalam nadanya.

Baron duduk di depannya, lalu mengeluarkan sebuah tas branded mewah yang telah dipersiapkan oleh Gery. "Nona, terima ini sebagai permintaan maafku."

Wanita Filipina itu mengerutkan dahi sambil melirik tas itu tanpa reaksi berlebihan. Tangannya lalu meraih tas itu dengan anggunnya. "Oh, Baron, kau tau, orang Filipina tak suka hadiah murah seperti ini. Ayahku bisa saja membeli barang Seperi ini. Atau bahkan, pabriknya... hahahah."

Baron mengamati cara wanita itu berbicara dengan angkuh dan penuh kendali. "Sebenarnya," ucap wanita Filipina itu sambil menyesap anggur merahnya, "kehadiran Jepang dan Rusia kemarin adalah rencana yang telah disusun oleh mereka. Mereka ingin menekanmu, membuatmu merasa terdesak." Ia berhenti sejenak, menatap Baron dengan mata tajam. "Dan Jepang... ingin kembali menjadi customer VIP Filipina. Mereka menjanjikan pembayaran yang jauh lebih besar daripada yang kau tawarkan."

Mendengar itu, Baron terdiam sejenak. Pikirannya berputar. Wanita ini dengan mudahnya membongkar rahasia negosiasi, bahkan menyebutkan bahwa Jepang menawarkan pembayaran yang lebih besar. "Mengapa kau memberitahuku ini?" tanya Baron dengan alis berkerut, rasa curiga terlintas di benaknya.

Wanita itu tersenyum samar. "Ayahku menyerahkan keputusan sepenuhnya kepadaku. Akulah kunci dari transaksi ini, Baron." Ucapannya seolah-olah memberinya kendali penuh dalam situasi ini. Namun, ada nada menggoda dalam suaranya ketika dia berkata, "Dan... kau cukup tampan, itu poin plus."

Baron tersentak, bingung dengan sikap wanita ini yang memuji dengan halus, namun tetap menunjukkan profesionalisme. Saat suasana tiba-tiba hening, wanita Filipina itu merapikan gaunnya dan berkata dengan santai, "Aku bosan. Besok, aku ingin hiburan. Bagaimana kalau kau menemani aku jalan-jalan?"

Permintaan itu membuat Baron terdiam sejenak. Ia mengingat janjinya dengan Vivian esok hari. Kebingungan melandanya-antara memenuhi janji dengan Vivian atau menjaga hubungan dengan wanita Filipina ini, yang jelas berpotensi memengaruhi masa depan bisnisnya.

Melihat Baron diam, wanita Filipina itu bangkit berdiri dan berkata dengan nada ancaman, "Jika kau tak bisa menemaniku, mungkin transaksi ini bisa berubah..."

Baron, yang mulai panik, berdiri dan secara refleks meraih tangannya. "Tunggu," ucap Baron dengan tegas. "Aku akan menemanimu."

Wanita Filipina itu menatap tangan Baron yang memegang tangannya. Ia tersenyum tipis, matanya berbinar, meskipun sikapnya tetap dingin. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terlihat puas dengan respons Baron. Ia mendekat, menyentuh bahu Baron dengan lembut, lalu berbisik dengan nada menggoda, "Jangan terlambat... orang Filipina tidak suka menunggu."

Gairah MariyuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang