Bab 4

6 2 0
                                    

Enam bulan kemudian...

Enam bulan telah berlalu sejak Baron dan teman-temannya memutuskan untuk bergabung dengan geng Hugo. Selama enam bulan itu, dunia mereka telah berubah drastis. Gema, Gery, Kim, dan Baron terjebak dalam roda kekuasaan dan kejahatan yang tidak pernah berhenti berputar. Kehidupan mereka penuh dengan pesta, uang, dan kekerasan. Namun, di balik gemerlapnya dunia malam itu, Baron merasakan kehampaan yang semakin dalam.

Malam itu, pesta besar digelar di bar milik Hugo. Musik menggelegar memenuhi ruangan, cahaya warna-warni berkedip-kedip, dan bau alkohol menyengat di udara. Para anggota geng bersenang-senang, minum-minum, dan menari dengan liar di lantai dansa. Di sudut ruangan, Hugo duduk di kursi VIP, dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang merayunya. Dia tertawa dan bercanda, menikmati kekuasaannya yang tampak tak terbatas.

Di tengah hiruk-pikuk pesta, Baron duduk di meja jauh dari keramaian, memandang Hugo dengan tatapan penuh tekad. Ia sudah menunggu momen ini selama berbulan-bulan.

Dengan napas berat, Baron berdiri dan berjalan ke arah Hugo, berusaha menyisihkan rasa cemas di hatinya. Ketika dia sampai di depan Hugo, dia menundukkan kepala, menunjukkan rasa hormat yang diharapkan oleh bosnya.

"Bos, gue mau ngomong," kata Baron dengan suara yang dalam.

Hugo menoleh, awalnya hanya tersenyum santai. "Ngomong aja. Gue lagi sibuk, tapi gue dengerin lo," jawabnya tanpa melepaskan pelukannya dari salah satu perempuan di sampingnya.

Baron menelan ludah, merasa beban di dadanya semakin berat. "Gue mau ngomong soal janji Bos," katanya, mencoba menahan suaranya agar tetap stabil.

Begitu kata "janji" keluar dari mulut Baron, senyum di wajah Hugo seketika memudar. Ekspresi santai itu berubah dingin dan serius. Dengan satu gerakan tangan, Hugo memberi kode kepada perempuan-perempuan di sekitarnya untuk pergi. Tanpa sepatah kata pun, mereka segera bangkit dan meninggalkan Hugo sendirian bersama Baron.

Setelah ruangan mulai kosong dari perempuan, Hugo menatap Baron dengan mata penuh ancaman. "Janji?" tanya Hugo dengan suara rendah. "Janji apa yang lo maksud?"

Baron menahan napas, tapi dia tidak bisa mundur sekarang. "Bos pernah bilang kalo gue ikut Bos, Bos bakal kasih gue bagian yang lebih besar, Bos janjiin gue posisi penting."

Hugo tertawa kecil, tapi tawa itu tanpa humor. "Gue? Berjanji sama lo?" Dia berdiri perlahan, mendekati Baron dengan langkah-langkah yang membuat udara terasa semakin berat. "Dengar, Baron. Lo itu cuma alat buat gue. Gue nggak pernah janji apa-apa sama lo. Lo nggak lebih dari pesuruh gue. Lo pikir lo berharga? Gue bisa dapet ratusan orang kayak lo kapan aja."

Baron diam, menahan emosi yang mulai membara di dadanya. Namun, Hugo semakin lancang, mendekatkan wajahnya ke Baron dengan tatapan menghina.

"Gue nggak butuh lo. Lo nggak punya apa-apa yang gue mau," Hugo melanjutkan. "Lo cuma sampah yang beruntung bisa ada di sini. Kalau bukan karena gue, lo udah mati di jalanan. Dan asal lo tau, kalau bukan karena lo di sini, utang bokap lo yang tolol itu, gak bakalan lunas sampai sekarang."

Baron mengepalkan tangan, amarahnya semakin memuncak. Namun, dia masih menahan diri, tidak ingin membuat kesalahan di hadapan Hugo.

Hugo menoleh ke Kim yang berdiri tidak jauh dari mereka. "Kim, keluarin dia dari sini," perintah Hugo tanpa ragu.

Kim, yang sudah lama menjauhkan diri dari teman-temannya dan kini menjadi tangan kanan setia Hugo, melangkah maju tanpa ekspresi. Matanya datar, tidak menunjukkan emosi apa pun saat dia mendekati Baron.

Baron menatap Kim dengan tatapan penuh luka. Kim, yang dulu adalah salah satu sahabatnya, kini telah berubah sepenuhnya. Tanpa sepatah kata pun, Kim meraih lengan Baron dan menariknya keluar ruangan.

Baron tidak melawan. Dia hanya membiarkan Kim membawanya keluar dari ruangan itu, merasakan kehancuran yang semakin dalam di hatinya. Setelah mereka berada di luar bar, Kim melepaskan cengkeramannya dan memandang Baron sekilas.

Baron berdiri sendirian di luar bar, merasakan angin malam yang dingin. Senyum licik perlahan muncul di wajahnya. Tanpa menunggu lebih lama, Baron mengambil ponselnya dan menelepon Gema sambil menghisap rokoknya.

“Gimana, semua aman?” tanya Baron dengan nada pelan tapi penuh perhitungan.

Di ujung telepon, Gema menjawab dengan tegas, “Anak-anak alumni kita setuju buat gabung. Mereka siap kapan aja kita butuh.”

Baron tersenyum lebih lebar. "Bagus. Malam ini akan jadi malam kemenangan. Gue udah nggak sabar."

Dia tertawa kecil, lalu menutup telepon. Segera setelah itu, dia menghubungi Gery, memastikan semua berjalan sesuai rencana.

“Gimana situasi di sana?” tanya Baron dengan suara rendah, matanya mengawasi sekitar untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan.

Gery, yang berada di klub tempat anak-anak Hugo berkumpul, menjawab dengan nada penuh keyakinan. "Malam ini, semua bakal tidur di atas. Semua udah pada mabuk, nggak ada yang curiga."

Baron mengangguk puas. “Bagus. Besok ada acara penting dari Hugo, kan? Cih, gua pastiin besok bukan acara Hugo, tapi acara kita."

"Hahahaha... gua gak sabar lagi, Ron. Pengen banget gua tendang tuh pantat si Hugo."

"Jangankan pantatnya, gua izinin lu bakar mayatnya!" ucap Baron penuh keyakinan lalu mengakhiri telepon. Ia isap rokoknya dan mengepul asapnya.

Suasana pesta geng malam itu memang liar. Semua anggota geng—dari yang baru hingga yang senior—tenggelam dalam euforia minuman keras dan musik.

Setelah memastikan semuanya, Baron menyelipkan ponselnya ke saku dan berjalan dengan langkah penuh percaya diri.

"The coup is real!" teriaknya memecahkan keheningan di jalan.

Bersambung...

Gairah MariyuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang