Enam bulan kemudian...
Enam bulan telah berlalu sejak Baron dan teman-temannya memutuskan untuk bergabung dengan geng Hugo. Selama enam bulan itu, dunia mereka telah berubah drastis. Gema, Gery, Kim, dan Baron terjebak dalam roda kekuasaan dan kejahatan yang tidak pernah berhenti berputar. Kehidupan mereka penuh dengan pesta, uang, dan kekerasan.
Selama itu juga di sisi lain, kehidupan Baron perlahan mulai membaik. Ia akhirnya mampu membayarkan utang ayahnya dan membiayai sekolah adiknya. Namun, di balik itu semua Baron masih merasa kekurangan dan ingin sesuatu yang lebih besar dari Hugo. Sesuatu yang pernah dijanjikan olehnya.
Malam itu, pesta besar digelar di bar milik Hugo. Seperti biasa, musik menggelegar memenuhi ruangan, cahaya warna-warni berkedip-kedip, dan bau alkohol menyengat di udara. Para anggota geng bersenang-senang, minum-minum, dan menari dengan liar di lantai dansa. Di sudut ruangan, Hugo duduk di kursi VIP, dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang merayunya. Dia tertawa dan bercanda, menikmati kekuasaannya yang tampak tak terbatas.
Di tengah hiruk-pikuk pesta, Baron duduk di meja jauh dari keramaian, memandang Hugo dengan tatapan penuh tekad. Ia sudah menunggu momen ini selama berbulan-bulan.
Dengan napas berat, Baron berdiri dan berjalan ke arah Hugo, berusaha menyisihkan rasa cemas di hatinya. Ketika dia sampai di depan Hugo, dia menundukkan kepala, menunjukkan rasa hormat yang diharapkan oleh bosnya.
"Bos, gue mau ngomong," kata Baron dengan suara yang dalam.
Hugo menoleh, awalnya hanya tersenyum santai. "Ngomong aja," jawabnya tanpa melepaskan pelukannya dari salah satu perempuan di sampingnya. "Lu pilih yang mana, yang gede si pink atau yang suka menjilat si biru?"
Dua perempuan yang berbra dan berkolor merah muda dan biru berdiri dan merayu Baron. Mereka berdua menonjolkan buah dadanya di depan Baron.
"Hahahah... gua tau maksud lo, Ron. Pilih aja!" ucap Hugo sambil meminum alkohol yang diberi perempuan di sampingnya itu.
Dua perempuan itu menciumi leher Baron. Dengan sadar diri, Baron segera menepis mereka. "Bos, bukan ini maksud gua."
Hugo segera memainkan tangannya. Kode itu dimengerti dua perempuan itu. Segera mereka melepas Baron dan kembali ke pangkuan Hugo.
"Oke, jadi apa yang mau lo omongin? Lo yakin nggak mau nyoba 4 varian ini? Mereka bisa loh ngelakuin segala mode. Ya kan?"
Perempuan-perempuan itu semakin mengerangi Hugo. Menciumi segala penjuru tubuh Hugo dan menjilati tangannya. Perempuan itu ada sekitar 4 orang.
Baron menelan ludah, "Bos, gue mau ngomong soal janji Bos," katanya, mencoba menahan suaranya agar tetap stabil.
Begitu kata "janji" keluar dari mulut Baron, senyum di wajah Hugo seketika memudar. Ekspresi santai itu berubah dingin dan serius. Dengan satu gerakan tangan, Hugo memberi kode kepada perempuan-perempuan di sekitarnya untuk pergi. Tanpa sepatah kata pun, mereka segera bangkit dan meninggalkan Hugo sendirian bersama Baron.
Setelah ruangan mulai kosong dari perempuan, Hugo menatap Baron dengan mata penuh ancaman. "Janji?" tanya Hugo dengan suara rendah. "Janji apa yang lo maksud?"
Baron menahan napas, tapi dia tidak bisa mundur sekarang. "Bos pernah bilang kalo gue dan temen-temen gua ikut Bos, Bos bakal kasih gue bagian yang lebih besar, Bos janjiin gue megang klub."
Hugo tertawa kecil, tapi tawa itu tanpa humor. "Gue? Berjanji sama lo?" Dia berdiri perlahan, mendekati Baron dengan langkah-langkah yang membuat udara terasa semakin berat. "Dengar, Baron. Lo itu cuma sekedar alat buat gue. Gue nggak pernah janji apa-apa sama lo. Lo nggak lebih dari pesuruh gue. Lo pikir lo berharga? Gue bisa dapet ratusan orang kayak lo kapan aja."
Baron diam, menahan emosi yang mulai membara di dadanya. Namun, Hugo semakin lancang, mendekatkan wajahnya ke Baron dengan tatapan menghina.
"Gue nggak butuh lo. Lo nggak punya apa-apa yang gue mau," Hugo melanjutkan. "Lo cuma sampah yang beruntung bisa ada di sini. Kalau bukan karena gue, lo udah mati di jalanan. Dan asal lo tau, kalau bukan karena lo di sini, utang bokap lo yang tolol itu, gak bakalan lunas sampai sekarang."
Baron mengepalkan tangan, amarahnya semakin memuncak. Namun, dia masih menahan diri, tidak ingin membuat kesalahan di hadapan Hugo.
Hugo menoleh ke Kim yang berdiri tidak jauh dari mereka. "Kim, keluarin dia dari sini," perintah Hugo tanpa ragu.
Kim, yang sudah lama menjauhkan diri dari teman-temannya dan kini menjadi tangan kanan setia Hugo, melangkah maju tanpa ekspresi. Matanya datar, tidak menunjukkan emosi apa pun saat dia mendekati Baron.
Baron menatap Kim dengan tatapan penuh luka. Kim, yang dulu adalah salah satu sahabatnya, kini telah berubah sepenuhnya. Bukan hanya sifatnya, penampilannya pun berubah. Kini ia mirip seperti anggota gengster pada umumnya. Tanpa sepatah kata pun, Kim meraih lengan Baron dan menariknya keluar ruangan.
"Keluar!" ucap Kim, dingin.
Baron membatu.
"Keluar!!"
Baron tetap bersikukuh.
Tanpa aba-aba, Kim melayangkan satu pukulan menuju Baron.
"Cukup!" ucap Hugo.
BRUK! Kim memukul tiang di belakang Baron. Pukulan itu begitu dahsyat. Tiang itu bengkok, seluruh mata tertuju pada tiang itu berkat suaranya yang mendengung.
Baron tak bergeming.
"Heh, lu bener-bener mau cari masalah?" ucap Hugo kemudian ke Baron.
Baron memalingkan pandangannya dari Kim ke Hugo. Ia lalu menundukkan kepalanya, "Maaf, Bos atas kekacauan ini." Ia lalu berbalik dan pergi.
Baron berdiri sendirian di luar bar, merasakan angin malam yang dingin. Senyum licik perlahan muncul di wajahnya. Tanpa menunggu lebih lama, Baron mengambil ponselnya dan menelepon Gema sambil menghisap rokoknya.
“Gimana, semua aman?” tanya Baron dengan nada pelan tapi penuh perhitungan.
Di ujung telepon, Gema menjawab dengan tegas, “Yo my brod! Anak-anak alumni kita setuju buat gabung, men. Mereka siap kapan aja kita butuh, my brody.”
Baron tersenyum lebih lebar. "Bagus. Malam ini akan jadi malam kemenangan buat kita. Gue udah nggak sabar."
Dia tertawa kecil, lalu menutup telepon. Segera setelah itu, dia menghubungi Gery, memastikan semua berjalan sesuai rencana.
“Gimana situasi di sana?” tanya Baron dengan suara rendah, matanya mengawasi sekitar untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan.
Gery, yang berada di klub tempat anak-anak Hugo berkumpul, menjawab dengan nada penuh keyakinan. "Malam ini semua bakal tidur di atas. Semua udah pada mabuk, nggak ada yang bakal curiga."
Baron mengangguk puas. “Bagus. Besok ada acara penting dari Hugo, kan? Cih, gua pastiin besok bukan acara Hugo, tapi acara kita!"
"Hahahaha... gua gak sabar lagi, Ron. Pengen banget gua tendang tuh pantat si Hugo."
"Jangankan pantatnya, gua izinin lu bakar mayatnya!" ucap Baron penuh keyakinan lalu mengakhiri telepon. Ia isap rokoknya dan mengepul asapnya.
Suasana pesta geng malam itu memang liar. Semua anggota geng—dari yang baru hingga yang senior—tenggelam dalam euforia minuman keras dan musik. Ditambah mereka mengundang disjoki yang semakin memeriahkan suasana itu.
Setelah memastikan semuanya, Baron menyelipkan ponselnya ke saku dan berjalan dengan langkah penuh percaya diri.
"INI WAKTUNYA, BANGSAD!!!" teriaknya memecahkan keheningan di jalan.
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
Gairah Mariyuana
ActionBaron, anak jalanan dari Handom City, udah tahu kerasnya hidup sejak kecil. Setelah lulus SMA tanpa arah dan mimpi, dia bareng tiga sahabatnya memilih jalur gelap-mereka masuk ke dunia malam, geng, dan bisnis ilegal. Nggak butuh waktu lama, mereka s...