Baron tersenyum di depan cermin untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Raut wajahnya, yang selama ini penuh kesedihan dan beban, kini tampak lebih ringan. Mengenakan jas hitam dengan kemeja putih yang bersih, ia bersiap-siap untuk pergi.
Baron turun dari lantai atas markasnya, melintasi anak buah yang selalu memberi hormat dengan menundukkan kepala saat ia lewat.
"Selamat pagi, bos!"
Hal itu sudah menjadi kebiasaan-tanda penghormatan pada pemimpin mereka.
Setelah memasuki mobil, Baron memulai perjalanan untuk menjemput seseorang.
Mobil sampai dan berhenti di depan rumahnya. Baron keluar dan dengan sopan membukakan pintu mobil untuknya. "Apakah aku telat?"
Vivian masuk ke mobil dengan anggun. "Enggak, kok."
Baron masuk ke jok pengemudi dan membawa Vivian menuju suatu tempat di kota.
Di restoran, suasana elegan mendominasi. Lilin-lilin kecil menyala di atas meja, memberikan cahaya lembut yang menciptakan keintiman di antara mereka. Baron dan Vivian duduk berhadapan, tampak tenang namun saling memandang penuh perasaan.
Baron memulai percakapan setelah mereka memesan makanan. "Sudah lama sekali ya, Vi? Rasanya kayak baru kemarin kita masih duduk di bangku SMA," ujarnya sambil tersenyum.
Vivian mengangguk, tersenyum tipis. "Iya, waktu berlalu begitu cepat. Dan kamu pun kelihatan jauh lebih dewasa sekarang, Ron. Oh iya, omong-omong apa yang kamu lakukan sejak saat itu?"
"Saat itu? Saat apa?" tanya Baron tak mengerti maksud Vivian.
"Kau tahu, di waktu perpisahan kita di saat aku duduk di jok belakang mobil menatapmu dari jendela kaca, aku benar-benar menangis. Aku tak tahu mengapa kejadian itu harus terjadi padaku."
"Vi, sejujurnya, di waktu itu aku mengejarmu begitu jauh, pertama kalinya aku berlari sejauh itu. Hahaha... Kalau diingat-ingat jadi buat suasananya sedih."
Vivian terus senyum tipis, "Oh iya, ini aku ada bawa sesuatu untuk kamu." Vivian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Baron menatap gelang yang dipegang oleh Vivian.
Seketika, Baron flashback pada sebuah kejadian yang pada saat itu keluarga Vivian berkemas untuk pindah ke luar kota bersama dengan Vivian. Saat itu Vivian menangis sejadi-jadinya saat akan berpisah dengan Baron.
Baron muda yang berusaha cool menahan air matanya, ia lalu memberikan gelang sederhana yang ia rangkai sendiri dengan manik-manik seadanya dan ia buat jadi dua.
"Vi, jangan nangis." Ia menghapus air mata Vivian yang terus mengalir melewati pipinya. Mereka bersembunyi di balik dinding. Ia lalu memakaikan gelang manik-manik itu ke tangan kanan Vivian.
"Jangan lupakan aku, Vi. Kamu harus berhasil dan kit--"
"Ron?" panggil Vivian sedari tadi. "Ron, hei?!"
"Ma-maf, Vi!" ucap Baron kalang kabut. Ia tersadar dari lamunannya. "Eh, oh iya
.. ternyata kau masih menyimpan gelang ini.""Lalu, mana gelangmu?"
"Gelang?" Baron diam sejenak. "Aaaah... anu, hilang."
"Hilang? Kok bisa?"
"Eh... Sulit untuk dijelasin, tapi yang terpenting kenangannya masih ada dan aku jaga sampai saat ini, kok."
Vivian tersenyum, ia lalu memakaikan gelang itu pada Baron. "Kau tau, kau tak benar-benar berubah. Masih saja konyol, hahaha."
Seketika jantung Baron berdetak lebih cepat daripada biasanya lalu ia tertegun sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gairah Mariyuana
AcciónBaron, anak jalanan dari Handom City, udah tahu kerasnya hidup sejak kecil. Setelah lulus SMA tanpa arah dan mimpi, dia bareng tiga sahabatnya memilih jalur gelap-mereka masuk ke dunia malam, geng, dan bisnis ilegal. Nggak butuh waktu lama, mereka s...