Pagi itu, Baron dan Hanzo duduk di mobil yang melaju pelan, Hanzo fokus mengemudi, sementara Baron terlihat serius. Tujuan mereka: pemakaman. Begitu tiba, Baron keluar dan langsung melihat Vivian yang sudah menunggunya di dekat gerbang. Vivian tersenyum tipis, namun ada kesedihan yang terpancar di matanya.
"Kamu lama banget," ucap Vivian dengan nada canda, tapi ada rasa kesepian yang tersirat.
"Maaf, ada urusan yang harus diselesaikan dulu," jawab Baron, mencoba mengelak sambil tetap menjaga tatapan pada Vivian. Dia tahu, hari ini bukan hari biasa.
"Ya sudah, yuk!" ajak Vivian.
Baron kaku. "Kenapa kita ke sini? Sebenarnya kamu mau nunjukin apa, Vi?"
"Lihat aja nanti."
Mereka berjalan berdampingan, suasana pemakaman yang sunyi, dengan hembusan angin pagi yang sejuk, justru membuat semuanya terasa lebih emosional. Baron membantu Vivian membeli bunga, kemudian mereka menuju salah satu nisan. Begitu sampai, Baron terdiam. Di depan mereka terdapat nisan bertuliskan: "Delisah Agatha".
"I-ini… ibu kamu?" Baron bertanya pelan, seolah tak percaya. Dia ingat ibu Vivian, sosok yang begitu hangat dan selalu menyambutnya saat dia main ke rumah Vivian dulu. Namun, dia sama sekali tak tahu kalau ibu Vivian sudah tiada. "Vi?"
Vivian mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ibu meninggal beberapa tahun lalu. Aku tak tahu keberadaanmu waktu itu, jadi aku nggak cerita."
Baron merasa sesak di dadanya. "Aku... Aku nggak tahu."
Vivian mulai bercerita, suaranya lembut tapi penuh emosi. "Dulu, waktu kamu sering ke rumah, ibu selalu ceria. Dia senang banget kalau kamu datang. Rasanya kayak kamu bagian dari keluarga kami. Kamu tuh udah dianggap anaknya laki-laki. Dia rindu banget sama kamu."
Baron hanya bisa mendengar. Vivian melanjutkan, air mata mulai jatuh ke pipinya. "Kadang aku kangen masa-masa itu, Ron. Masa di mana semua masih sederhana. Ibu selalu nanya kabar kamu, bahkan sampai sebelum dia pergi..."
Tanpa sadar, Baron meraih tangan Vivian dan mengelap air matanya. Tatapan mereka bertemu, dan sejenak dunia terasa hening. Vivian tersenyum tipis, meski air matanya masih mengalir. Seketika, Baron teringat masa-masa dulu, saat Vivian menangis karena hewan peliharaannya mati. Dia yang waktu itu mencoba menenangkan Vivian dengan pelukan dan… sebuah ciuman.
Baron merasa deja vu. Wajahnya perlahan mendekat ke arah Vivian, seperti kilasan kenangan yang memaksanya bertindak. Namun, tepat sebelum bibir mereka bertemu, Baron menarik diri. Dia tak bisa melakukannya. Bukan saat ini.
"Vivian, aku...," ucap Baron, namun Vivian hanya tersenyum mengerti.
"Aku tahu, Ron," katanya. "Kita nggak harus terburu-buru." Mereka meletakkan bunga itu dekat makam ibu Vivian.
Mereka kembali berjalan, ngobrol ringan, membiarkan perasaan itu tetap terpendam, untuk sementara waktu.
"Ibu pasti sudah tenang di alam sana," ucap Baron menatap langit.
"Kau benar, ibu sudah tak sakit-sakitan lagi. Dia pasti sudah kembali muda lagi."
"Terimakasih ya, Vi."
"Terimakasih? Untuk apa?"
"Terimakasih karena telah membawaku ke sini. Aku ingin membawamu lagi ke sini suatu saat nanti."
"Suatu saat nanti? Ziarah?"
"Lebih dari Ziarah."
"Apa itu?"
Baron meraih tangan Vivian.
Vivian dan Baron melangkah perlahan menuju sebuah bukit kecil di pinggir kota, tempat yang dulu selalu mereka datangi setelah pulang sekolah. Di sana, mereka sering duduk bersama, memandangi pemandangan kota yang terbentang luas di depan mereka. Suasananya masih sama seperti dulu—sejuk, dengan angin yang lembut berhembus, dan suara gemerisik daun-daun pohon yang mengiringi keheningan mereka.
Mereka duduk di bangku kayu yang familiar, sambil tersenyum mengenang masa lalu. Vivian menghela napas, matanya berbinar melihat pemandangan itu. "Masih inget nggak waktu kita sering kabur ke sini, Ron? Kayak dunia cuma milik kita berdua."
Baron terkekeh, "Iya, dulu kita sering kabur buat ngehindarin guru killer itu. Sekarang malah kangen."
Obrolan mereka mengalir ringan, sesekali bercanda, dan suasana mulai terasa semakin akrab. Namun, tiba-tiba Vivian menjerit kecil, tangannya memukul-mukul baju Baron. "Baron, ulat bulu! Cepet buang!"
Baron refleks melihat ke arah bahu Vivian yang dihiasi oleh seekor ulat bulu kecil. Tanpa berpikir panjang, dia segera membuang ulat itu dengan gerakan cepat. "Santai, santai. Udah aman," kata Baron sambil tersenyum, mencoba menenangkan Vivian.
Vivian terdiam, dadanya naik turun karena deg-degan. Tiba-tiba, tatapan mereka bertemu, dan entah kenapa suasana berubah seketika. Mata Vivian terpaku pada Baron, dan seolah semua memori masa lalu membanjiri pikirannya—momen saat Baron dulu melakukan hal yang sama, melindunginya dari hal-hal kecil seperti itu. Waktu terasa melambat.
Tanpa aba-aba, tanpa banyak berpikir, Vivian langsung bergerak maju. Dia mencium bibir Baron dengan lembut. Ciuman itu terasa seperti ledakan emosi yang selama ini mereka tahan. Baron awalnya kaget, tapi akhirnya dia membalas ciuman itu dengan perasaan yang sama. Mereka terhanyut dalam momen itu, duduk di bangku kayu yang menjadi saksi hubungan mereka sejak dulu.
Saat akhirnya mereka berhenti, Vivian tersenyum, pipinya memerah. "Ro ... Aku…"
Baron menatapnya dalam, "Viv, kita…"
Tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Momen itu bicara lebih banyak daripada kata-kata.
***
Saat perjalanan pulang, Baron duduk di kursi belakang mobil dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. Kenangan ciuman tadi dengan Vivian masih membekas, membuatnya merasa lebih ringan dan bahagia. Hanzo, yang duduk di depan mengemudi, menyadari perubahan suasana hati Baron.
"Kenapa senyum-senyum sendiri, bos? Ada yang seru tadi?" tanya Hanzo penasaran, sambil melirik ke kaca spion.
Baron hanya tertawa kecil, tetap cool. "Nggak ada yang perlu lo tau. Fokus aja sama pekerjaan lo."
Tiba-tiba, ponsel Baron berbunyi. Dia melihat layar dan seketika ekspresinya berubah. Nama Seoyeon muncul di sana. Seoyeon adalah salah satu orang yang belakangan ini bikin hidupnya makin ribet. Tanpa ragu, Baron mengangkat telepon itu.
"Baron, aku butuh bantuanmu malam ini. Datanglah, aku menunggumu dan jangan terlambat," suara Seoyeon terdengar dingin dan memaksa.
Baron terdiam sejenak, hatinya bergejolak. Di satu sisi, dia muak dengan perlakuan Seoyeon, selalu memperlakukannya seperti alat. Di sisi lain, dia udah janji sama Vivian buat makan malam di rumahnya malam ini. Keduanya adalah hal yang penting, tapi Baron tahu mana yang lebih bikin hatinya senang.
Sebelum dia sempat menjawab, Seoyeon memutus telepon dengan nada dingin yang membuat Baron makin kesal.
Baron menatap Hanzo lewat spion, otaknya berputar cepat mencari cara buat mengakali situasi ini. Mendadak sebuah ide muncul di benaknya.
"Hanzo," ujar Baron sambil menatap lurus ke depan. "Gue punya tugas buat lo malam ini."
Hanzo mengernyitkan dahi, penasaran dengan apa yang akan disuruh Baron. "Tugas apa, bos?"
Gue butuh lo buat bantuin seseorang."
"Siap, bos. Siapa yang harus gue bantu?"
Baron menatap spion lagi, senyum tipis muncul di wajahnya. "Namanya Seoyeon. Dia orang penting. Dan lo yang urus dia malam ini."
Baron mulai merasa bimbang. Di satu sisi, ada Vivian yang membuatnya kembali merasakan kehangatan masa lalu. Namun di sisi lain, ada Seoyeon, wanita Filipina yang tak bisa dia abaikan begitu saja, apalagi mengingat posisinya dalam bisnis keluarga.
Baron berpikir sejenak, kemudian menambahkan perintahnya. “Lo harus lakuin apapun yang dia mau. Kasih alasan yang kuat kenapa gua nggak bisa datang.”
Hanzo mengangguk, walaupun sedikit ragu.
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
Gairah Mariyuana
ActionBaron, anak jalanan dari Handom City, udah tahu kerasnya hidup sejak kecil. Setelah lulus SMA tanpa arah dan mimpi, dia bareng tiga sahabatnya memilih jalur gelap-mereka masuk ke dunia malam, geng, dan bisnis ilegal. Nggak butuh waktu lama, mereka s...