bab 15

8 5 0
                                    

Malam itu setelah bertemu dengan Seoyeon di hotel, Baron tak punya banyak waktu untuk beristirahat. Bersama Hanzo, ia berangkat menuju taman kota sesuai janji dengan Vivian. Hanzo mengemudi dengan tenang, namun sorot matanya selalu penuh waspada.

"Kemana kita pergi, Bos?" tanya Hanzo sambil melirik Baron dari kaca spion.

"Taman kota," jawab Baron singkat. Sorot matanya mengarah ke luar. Ia khawatir bilamana orang yang menunggunya sudah pergi.

"Siapa yang kau temui di sana,  Bos?"

"Tak usah banyak tanya, fokus nyetir!"

Setelah sampai di taman, Baron menginstruksikan Hanzo untuk tetap di dalam mobil, "Tunggu di sini. Jangan kemana-mana. Gua cuma sebentar," katanya tegas saat Hanzo hendak membukakan pintu. Hanzo, meski ragu, mematuhi perintah itu.

Di kejauhan, terlihat Vivian berdiri, menggigil sedikit karena angin malam yang dingin. Ia hendak pergi.

Baron segera menghampirinya, melepas jaketnya, dan menyampirkannya di bahu Vivian. "Maaf membuatmu menunggu," katanya dengan nada menenangkan.

Vivian menatapnya, matanya penuh rasa kecewa namun ia mencoba tersenyum. "Kau terlambat, Baron. Apa yang begitu penting sampai aku harus menunggu di tengah malam begini?" tanyanya, sedikit ragu.

Baron tersenyum tipis, meskipun ada sedikit rasa bersalah di matanya. "Ada klien penting yang harus kuurus. Aku tak bisa meninggalkannya begitu saja," jawabnya berusaha meyakinkan Vivian.

"Kau bilang, kau tak sibuk hari ini, kan?"

"Aku tau tapi ini benar-benar mendadak dan aku benar-benar minta maaf padamu."

Vivian mendesah, "Aku berharap kau bisa lebih jujur, lain kali. Tapi, kali ini aku percaya padamu."

"Terimakasih, Vi. Kalau begitu, duduk lagi?" tanya Baron mengintruksikan untuk duduk di bangku.

"Hmmm... Sepertinya kita jalan saja." Vivian melangkah ke depan.

Baron menyamakan langkahnya. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"

"Menurutmu, apakah kita cocok?" tanya Vivian walau sorot matanya ke depan.

Baron diam sejenak. "Kenapa kau tanya begitu?" Suaranya sedikit bergetar.

"Karena menurutku, dulu kau adalah pangeranku. Dan aku princesmu, kan?"

"Ah, itukan gombalan masa-masa SMA. Kau masih ingat?"

"Aku ingat semuanya. Dan aku juga ingin mengulangnya." Vivian berhenti. "Tapi itu hanya tak mungkin, kau pasti sudah berkeluarga."

Baron menatap Vivian dan menggapai kedua bahunya. "Vi, aku belum berkeluarga! Aku pikir, kaulah yang sudah berkeluarga."

"A-aku, belum berkeluarga." Vivian tertawa kecil.

"Serius?"

"Ya, Baron." Vivian menyentil hidung Baron.

Baron terkesima. Raut wajahnya berubah senyum.

Vivian berjalan ke depan meninggalkan Baron. "Oh iya, besok aku ingin menunjukkan sesuatu besok. Apakah kau bisa?"

Baron sadar pada lamunannya dan berjalan menghampiri Vivian. "Aku bisa!"

"Kau yakin? Kau tak akan terlambat lagi?"

"Aku yakin!"

"Baguslah." Vivian terlihat kedinginan.

"Vi, kita pulang aja. Angin malam gak baik buatmu."

"Aku polisi, hal seperti ini biasa buatku."

Mendengar kata polisi, jantung Baron kembali berdetak kencang. Perasaannya mulai tak enak.

Gairah MariyuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang