bab 18

106 2 0
                                        

Di rumah besar, suasana begitu tenang ketika Vivian dan Baron duduk berdua di ruang makan. Lampu-lampu gantung yang berkilauan menerangi meja makan mereka, menciptakan suasana intim di tengah keheningan malam.

Vivian menuangkan minuman untuk mereka berdua, lalu memandangi Baron sambil tersenyum tipis. "Maaf, aku cuma masak seadanya," katanya lembut.

Baron membalas senyum itu."Iya, aku yakin makanan ini pasti enak." Baron menikmati makanan tersebut.

Setelah selesai makan, Vivian mengajak Baron ke ruang tengah, membicarakan sesuatu.

"Ron, gimana kabar paman dan bibi?" tanya Vivian memulai obrolan.

"Ahhhh, mamah baik-baik aja...," kata Baron terhenti.

"Paman?"

Baron menghela napasnya sejenak. "Dia udah kabur entah kemana sama istri barunya."

"Ouh, maaf, Ron. Aku nggak tau."

"Ya, tak apa, Vi."

"Viola?"

"Viola, masih sekolah."

"Pasti dia cantik, kayak bibi."

"Cantikan kamu."

"Ah, dasar gombal!"

Suasana hening sejenak. Baron menatap isi ruang tamu.

Tiba-tiba, Vivian menatap Baron. "Baron, kamu pernah bilang... kalau kamu mencintaiku," ucapnya pelan, suaranya sedikit bergetar. "Apa kamu benar-benar serius soal itu?"

Baron terdiam sejenak, matanya menghindari pandangan Vivian. Ia mencoba mengelak, namun akhirnya mengangguk. "Aku... ya... Aku serius," jawabnya dengan nada sedikit ragu, yang tak luput dari perhatian Vivian.

"Kau tau sejak pertemuan pertama kita, muka kamu terbayang terus. Ingin rasanya berlama-lama sama kamu, kayak dulu."

Vivian terdiam, hatinya penuh dengan perasaan yang campur aduk. Meski jawabannya menenangkan, ada sesuatu di balik kata-kata Baron yang terasa samar. "Kalau kamu benar mencintaiku, Baron, kenapa nggak tinggalkan aja pekerjaan itu? Kamu tahu, aku nggak nyaman."

Baron mengerutkan kening, sedikit curiga. "VI, aku sudah bilang, pekerjaanku itu cuma bisnis biasa. Nggak ada yang perlu kamu khawatirin," kilahnya, tapi batinnya merasa waspada.

"Aku tahu, tapi apakah kau gak mau coba pekerjaan lain?"

"Vi, aku udah nyaman dengan yang sekarang." Baron meraih pundak Vivian, "Dengar, gak ada yang perlu kamu khawatirin. Yang perlu kamu lakukan adalah menunggu sampai waktu itu tiba."

"Waktu itu tiba? Apa maksudnya?"

Dengan sedikit ragu, Baron merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah brosur. "Vi, aku udah mikirin soal kita," katanya sambil menyodorkan brosur itu. "Ini lahan yang aku beli. Aku pengen nanti kita tinggal di sini, tua bersama dan punya anak 20 katamu dulu."

Vivian tersenyum jengkel. Ia lalu memandangi brosur itu dengan takjub, matanya berbinar, namun tetap dengan tatapan sendu. "Ron, kamu betul-betul serius sama aku," ucapnya, suaranya bergetar.

Baron tersenyum kecil, berusaha meyakinkan. "Iya, Vi. Aku serius."

*TIIINGG!!*

Saat kue di oven selesai, bunyi timer membangunkan Vivian dari lamunannya. Ia bergegas ke dapur, sambil berteriak dari sana, "Mau minum apa, Baron?"

Baron yang masih duduk di ruang tengah tersenyum kecil. "Vi, kau tahu apa minuman kesukaan!"

Vivian hanya tertawa pelan dan mulai membuat jus kesukaannya. Sambil menata kue dan jus di nampan, ia melangkah dengan hati-hati menuju ruang tamu. Namun tiba-tiba, ekor kucing peliharaannya yang berjalan di dekatnya terinjak, membuat Vivian refleks melompat kaget dan… jus pun tumpah, mengenai bajunya dan sedikit berceceran di lantai.

Baron langsung berdiri dan menghampirinya, menarik Vivian ke dalam pelukannya. "Kau nggak apa-apa, kan?" tanyanya lembut.

Vivian tersenyum kecil, menatap Baron dari dekat, napasnya sedikit tersengal. “Aku… aku nggak apa-apa, cuma basah aja,” jawabnya sambil melirik noda jus di bajunya yang membasahi bagian dadanya, membuat perhatian Baron terganggu sejenak.

Baron berusaha untuk menoleh, tapi Vivian menangkap tatapan itu dan dengan spontan menciumnya. Baron membalas ciuman itu.

Tanpa aba-aba, Baron segera memeluk Vivian dengan bibir yang saling bersentuhan. Baron lalu melepaskan jasnya disusul kemejanya. Begitu pula Vivian, ia melepaskan segala pakaiannya hingga tersisa bra-nya.

Mereka hanyut dalam ciuman hingga Baron mendorong Vivian hingga ke dinding. Mereka telah dibutakan oleh asmara.

Tanpa sadar, Vivian menarik tangan Baron menuju tangga atas menuju kamar tanpa melepas ciuman. Baron juga mengurangi leher Vivian.

Sampai di kamar, pintu di buka dengan paksa, dan Baron segera melemparkan Vivian ke atas kasur. Mereka kini tanpa busana. Vivian segera meraih Baron dan melakukan tugasnya. Baron dengan kejantanannya segera membalas Vivian.

"Bos?"

"Bos!"

Baron tersadar dari ingatannya.

"Bos, gua ngeganggu?"

Baron menatap Gery dengan tatapan jengkel. "Ngapain lu?"

"Bos, ada laporan di bar ada yang buat ribut. Jadi gua ama semua pasukan mau cabut ke sana."

"Semua?"

"Ya Bos, soalnya mereka bawa pasukan."

"Sorry, gua gak bisa ikut, gua mau nunggu kepastian Seoyeon."

"Sip, bos. Gua sama yang lain yang bakal nyelesain."

Gery segera keluar dari ruang itu. Sedari tadi Baron hanyut dalam ingatannya yang terjadi kemarin malam, ketika ia diundang oleh Vivian untuk makan malam.

Saat Gery sampai di luar, pasukan sudah berkumpul dan siap menuju bar. Hanzo dan pasukan satu lagi baru sampai dari patroli. Mereka segera ke barisan.

"Semua alat udah siap?!" seru Gery dengan tegas.

"Siap, sudah, Pak!" ucap mereka serempak.

"Langsung terjun!" tegas Gery.

Saat seluruh orang bergegas menuju mobil, Hanzo tiba-tiba masuk ke markas.

"Hei, lu mau kemana?" tanya Gery.

"Bentar, Pak, ada yang ketinggalan!"

"Lama!" Gery segera menutup mobil dan melaju ke jalanan.

***



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gairah MariyuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang