Prolog

46 6 0
                                    

Happy Reading 🌹

Gereja Santo Yoseph...

Hari itu, gereja besar di pusat kota penuh dengan tamu-tamu berkelas. Para undangan dari kalangan terhormat—pejabat, pengusaha, dan tokoh penting—berkumpul di bawah hiasan bunga-bunga mewah yang menghiasi setiap sudut. Lantai marmer berkilau oleh pantulan sinar lilin-lilin besar yang memenuhi ruang. Di depan altar, seorang pendeta dengan jubah putih berdiri, siap mengucapkan kata-kata sakral.

Pengantin pria, Baron Fernandes, tampak berwibawa dengan setelan hitam elegannya. Ia memegang cincin di tangannya, menatap calon istrinya dengan tatapan yang penuh keyakinan.

Dengan nada serius dan khusyuk, Baron mulai mengucapkan janji sucinya.

"Saya, Baron Fernandes, menerima engkau sebagai istri saya yang sah, untuk hidup bersama dalam suka dan duka, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan kaya maupun miskin. Saya berjanji akan mencintai dan menghormati engkau sepanjang hidup saya. Demi Tuhan dan saksi-saksi ini, saya bersumpah untuk setia kepadamu sampai maut memisahkan kita," katanya dengan suara bergetar penuh keyakinan. Ia lalu memasangkan cincin itu pada jari manis wanita di hadapannya.

Gilirannya pun tiba. Wanita itu, dengan tangan sedikit gemetar, mengangkat wajahnya menatap Baron. Sejenak, ia menghela napas, kemudian mulai berbicara dengan nada yang lemah namun tegas.

"Saya... menerima engkau, Baron Fernandes, sebagai suami saya yang sah..." Ia berusaha melanjutkan, tetapi suaranya perlahan mulai pudar. "Untuk hidup bersama dalam suka dan duka, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan kaya maupun miskin. Saya berjanji akan mencintai dan menghormati engkau sepanjang hidup saya. Demi Tuhan dan saksi-saksi ini, saya..."

Ia terdiam sejenak. Tangan yang memegang cincin itu gemetar hebat. "Saya... Saya..." Matanya berkaca-kaca, penuh dengan keraguan.

Cklikkk! Suara borgol tiba-tiba terdengar memenuhi ruangan.

Sontak, Baron terkejut dan menatap wanita itu dengan tatapan bingung. "Apa-apaan ini?" serunya, mencoba melepaskan tangannya yang terborgol, tetapi sia-sia. Beberapa tamu berdiri, kebingungan dengan situasi yang tiba-tiba berubah kacau.

Wanita itu mengangkat pandangannya, sorot matanya penuh rasa bersalah. Namun, ia tidak punya pilihan. Suaranya terdengar parau saat ia mulai berbicara. "Baron Fernandes, kamu ditahan atas dugaan keterlibatan dalam transaksi narkoba skala internasional," ucapnya dengan suara bergetar.

Baron terperangah, tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. "Tunggu! Ini... ini pasti kesalahan! Apa ini... candaan, ya?" desisnya, menatap wanita itu dengan tatapan penuh rasa sakit.

Namun wanita itu hanya diam, menahan air mata yang hendak tumpah. "Maafkan aku, Baron..." katanya lirih, hampir tak terdengar.

Beberapa anggota polisi yang selama ini menyamar sebagai tamu segera menggiring Baron keluar gereja.

Baron berusaha memberontak, tetapi cengkraman para petugas terlalu kuat. "Ini tidak mungkin! Aku tidak bersalah! Kamu tidak bisa melakukan ini padaku! Kamu... kamu adalah calon istriku!" teriaknya, nadanya penuh kemarahan bercampur keputusasaan.

Wanita itu mengalihkan pandangannya, air mata mulai mengalir di pipinya. Dalam hati, ia merasakan luka yang teramat dalam, tetapi ia tahu ini adalah tugasnya.

Saat digiring keluar, Baron sempat melihat ke belakang, memperhatikan wanita itu yang berdiri di sana dengan wajah berderai air mata. Tatapan mereka bertemu sejenak, sebelum Baron akhirnya menyerah pada nasibnya.

Di tengah kericuhan, lonceng Gereja Santo Yoseph berdentang tiga kali, menandakan panggilan untuk doa Angelus. Suara lonceng itu seolah menjadi latar dari rasa pedih dan kekecewaan yang memenuhi hati semua yang hadir.

Wanita itu jatuh terduduk di altar, menggenggam rosario erat-erat. "Tuhan... apakah aku salah?" Suaranya pecah dalam tangis yang tak tertahankan.

Gairah MariyuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang