Bab 2

216 7 0
                                        

Baron kaget, memegang bahu adiknya yang masih duduk di bangku SMP. "La? Kenapa kamu nangis?"

Viola mengusap air matanya dengan tangan kecilnya, matanya yang basah memandang Baron penuh duka. "Ayah... ayah pergi. Dia ninggalin ibu, kak. Ibu ngurung diri di kamar, nggak mau ngomong sama aku."

Baron terdiam, dadanya terasa sesak. Amarah dan kebencian muncul kepada ayahnya. Tangannya mengepal erat, ingin mencari ayahnya dan memberinya pelajaran. Namun tak ada yang bisa Baron lakukan.

Baron berjalan menuju pintu.

"Jangan kak!" sanggah Viola. Dia tarik tangan Baron. "Ibu nggak mau diganggu, kak."

Baron membuang napas kasarnya. Ia mengusap wajahnya, kesal. "Tapi Ibu nggak apa-apa kan?"

Viola mengangguk. "Ibu nggak apa-apa kak, tapi..."

"Tapi kenapa, La?"

"Tadi ada orang-orang pake baju hitam datang. Dia bilang... dia bilang kita harus keluar dari rumah, Kak, kalau utang ayah nggak dibayar dalam seminggu."

Baron mengerutkan kening, merasakan sesuatu yang lebih buruk muncul. "Orang pake baju hitam? Trus, Ibu gimana?"

Viola mengangguk lemah. "Ibu mohon-mohon, kak. Dia bilang ayah punya utang banyak, dan mereka bakal ambil rumah kita kalau nggak dibayar. Aku sama Ibu udah mohon-mohon, dan akhirnya dia kasih kita waktu seminggu buat lunasin hutangnya, Kak."

Baron memandang ke langit malam yang gelap. "Dmitry, anjing!" gumamnya. Ia kenal orang-orang itu. Baron juga tau selama ini ayahnya selalu meminjam uang kepada orang itu. Namun uang itu ia gunakan untuk bermain judi atau bahkan untuk perempuan lain.

"Mereka siapa, kak?" tanya Viola. "Aku takut mereka datang lagi."

"Nggak usah dipikirin, La. Mereka bukan siapa-siapa kok. Kamu jujur nggak kenapa-kenapa, kan?"

"Nggak, Kak. Aku baik-baik aja. Ibu juga baik-baik aja. Tapi setelah itu, Ibu ke kamar dan..."

"Udah, masuklah, biar Kakak yang urus semuanya." Baron menghapus air mata adiknya. "Kamu fokus sekolah aja, ya."

"Aku nggak sekolah, Kak."

Baron mengerutkan dahi. "Lho, kenapa?"

"Uang sekolah Viola belum dibayar sama ayah. Ibu guru udah minta terus ke aku."

Baron segera meraba sakunya dan mengambil beberapa lembar uang. "Nih, besok, Viola sekolah. Sisanya Viola tabung, ya!" ucap Baron sambil mengelus kepala adiknya.

Viola mengangguk. Dia memeluk kakaknya itu. "Makasih ya, Kak!" Uang itu ia dapat dari tabungannya selama bekerja di peternakan om Sueb. Awalnya Baron menabung tujuannya untuk membuka usaha kecil-kecilan.

"Iya, sama-sama. Rajin sekolahnya!" Dia menatap jendela kamar. "Sana, hibur Ibu ya! Kakak nggak bisa ketemu Ibu dulu. Jangan bilang kakak datang!"

Viola mengangguk. Baron melangkah pergi.

***

Pagi itu, Baron duduk di markas mereka, sebuah gudang tua yang sudah menjadi tempat ternyaman mereka sejak lama, tak jauh dari rumahnya. Di sampingnya, Gery dengan tubuh besarnya menyandarkan diri pada dinding, sementara Kim duduk di pojok, seperti biasa dengan kacamata hitamnya yang menyembunyikan ekspresi. Namun, ada satu yang terasa janggal pagi ini. Salah satu spesies Fourgenbrut tak kunjung muncul. Fourgenbrut, nama geng mereka. Tanpa salah satu dari mereka, Fourgenbrut tak ada artinya.

Baron menatap kosong ke lantai beton, pikirannya masih terbelit antara masalah keluarga dan cekcok antara ia dan Gema. "Ada yang tau di mana Gema?" tanya Baron, suaranya pelan tapi terdengar jelas di tengah keheningan. "Napa tuh bocah kagak muncul?"

Gairah MariyuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang