Bab 12

9 3 0
                                    

Sore itu, di ruang utama markas, Baron, Gery, dan Kim duduk di sekeliling meja, menikmati segelas minuman setelah pertemuan yang menegangkan di hotel. Baron tampak merenung, matanya menatap kosong ke arah gelasnya. "Apa mungkin bocah yang buat keributan itu betul saudara Gema?" tanyanya, memecah keheningan.

Gery, yang sejak tadi tampak berpikir, menjawab, "Selama ini, Gema gak pernah cerita kalau dia punya saudara."

Kim, yang biasanya lebih pendiam, menyahut dengan nada skeptis, "Mungkin dia cuma pura-pura. Siapa tahu dia cuma mau uang atau memang cuma buat masalah."

Namun, Gery berpikir lebih dalam. "Dari mana tuh bocah tahu kalau Gema demen amat sama kalung emas? Dan lagi, dari mana dia dapet kalung emas yang persis amat begitu?" pertanyaan itu membuat Baron semakin penasaran.

Merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan, Baron bangkit, mengambil jaketnya, dan bersiap pergi.

"Kemana, Bos?" tanya Gery, merasa curiga.

"Mencari tahu kebenaran," jawab Baron dingin.

Tak lama, mereka bertiga berangkat menuju rumah lama Gema, sebuah rusun sederhana di pinggiran kota. Setibanya di sana, suasana muram rumah itu membuat mereka terdiam sejenak. Gema hanya tinggal bersama ayahnya, Om Alam, yang tampak sudah tua dan kelelahan. Baron, Gery, dan Kim memasuki rumah yang sempit itu, sementara Baron mulai berbicara dengan Om Alam.

"Om, aku mau tanya, apa benar Gema punya saudara?" tanya Baron, suaranya penuh ketegangan. Ia memberikan seutas foto hasil jepretan dari anak buahnya saat pria itu buat keributan tempo hari.

Om Alam menatap Baron dengan mata sayu. "Gema memang punya saudara. Atau lebih tepatnya sepupu yang sangat dekat. Sejak kecil mereka sudah seperti saudara kandung, tapi kami pindah ke kota ini waktu dia masih kecil," jelas Om Alam, suaranya terdengar berat. "Mereka sering berhubungan lewat telepon, walaupun jarang bertemu."

Gery, yang sejak tadi membolak-balik album foto keluarga di sudut ruangan, menyahut, "Tapi dalam album ini, gak ada satu pun foto Gema sama orang itu."

Mendengar itu, Om Alam tiba-tiba merebut album dari tangan Gery dengan emosi. "Kalian tidak punya hak untuk melihat-lihat ini! Keluarga kami sudah cukup menderita! Pergi dari sini! Jangan ganggu kami lagi!" bentaknya dengan suara yang tegas dan penuh perasaan.

Baron mencoba menenangkan situasi. Sebelum pergi, ia mengeluarkan setumpuk uang dari sakunya dan menawarkannya kepada Om Alam. Namun, dengan wajah tegas, Om Alam menolak. "Aku gak butuh uangmu, Baron. Kami hanya ingin hidup tenang. Pergi dan jangan pernah kembali," katanya dengan dingin.

Dengan rasa campur aduk, Baron, Gery, dan Kim akhirnya meninggalkan rumah itu tanpa jawaban yang pasti.

Malam harinya, di markas, Baron duduk sendirian di ruangannya, memandangi gelas minuman yang hampir kosong. Pikirannya berkecamuk memikirkan kata-kata Om Alam. Apakah orang itu benar-benar saudara Gema, atau hanya seseorang yang memanfaatkan situasi?

"Hubungi dia," perintah Baron tiba-tiba, memecah keheningan.

Gery, yang baru masuk ke ruangan, tampak bingung. "Siapa, Bos?"

"Orang yang mengaku sebagai saudara Gema. Suruh dia datang ke sini. Aku ingin bicara langsung dengannya," tegas Baron.

Gery mengangguk, lalu segera menyuruh anak buahnya untuk mencari orang itu.

***

Suara lift yang berdering menandakan kedatangan tamu yang ditunggu. Di lantai paling atas markas, anak buah Baron sudah berkumpul, siap menghadapi siapapun yang berani menantang pemimpin mereka. Di tengah ruangan, Baron duduk dengan elegan, dikelilingi oleh Kim dan Gery yang berdiri di belakangnya dengan kewaspadaan tinggi.

Gairah MariyuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang