Osaka, Jepang...
Di Jepang, suasana tegang menyelimuti markas Yakuza. Di sebuah ruangan besar dengan dinding-dinding kayu tradisional, para anggota geng duduk di lantai sambil mendengarkan laporan dari seorang pengawal. Pemimpin Yakuza, seorang pria dengan tubuh besar yang penuh tato, sedang bersimedi di sudut ruangan, matanya terpejam, menenangkan pikirannya.
Namun, ketenangan itu segera pecah ketika pengawal tersebut menyampaikan kabar.
"Bisnis narkoba dari Filipina telah terputus, Tuan," kata pengawal itu dengan hati-hati.
Pemimpin Yakuza membuka matanya dengan cepat, tatapannya tajam. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia meraih gelas minum dari pelayannya dan melemparnya ke lantai dengan kemarahan yang tak terkendali. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, membuat semua orang di sana menunduk, takut akan amarahnya.
"Mengapa bajingan Filipina itu tidak lagi memihak padaku?" suaranya rendah tapi penuh ancaman.
Pengawal itu menunduk lebih dalam, suaranya gemetar saat ia menjawab, "Ada seorang geng di Indonesia, Tuan. Mereka menawarkan harga yang lebih tinggi dari penawaran Tuan."
"Geng Indonesia? Bukankah kita berbisnis juga dengan salah satu geng di Indonesia?"
"Ya, Tuan. Mereka lah yang menjadi costumer VIP produksi Filipina. Dan geng Indonesia diduga menjadi satu-satunya customer utama pihak Filipina."
"Kalau begitu apakah bisnis Indonesia dengan kita terputus juga?"
"Tidak, Tuan. Geng Indonesia akan setia menawarkan 25kg setiap kesepakatan dan tak lebih dari itu."
"Dan nilainya?"
"Nilainya tetap, Tuan, 1kg harganya 100.000 dolar atau setara 14.800.000 yen."
"Kurang ajar! Mereka mengambil untung dengan menjadi pelanggan satu-satunya pihak Filipina. Siapa bajingan itu, bukankah mereka hanya geng rendahan yang baru memulai bisnis ini?"
"Dia adalah Baron, Baron Fernandes, pimpinan geng Tetra Handom, Tuan. Menurut mata-mata kita, ia adalah keponakan dari salah satu mafia Rusia, Tuan Dimitry."
Wajah sang pemimpin Yakuza memerah karena marah. Ia bangkit berdiri, lalu tanpa basa-basi meraih ponselnya dan menekan nomor seseorang. Ia berbicara dalam bahasa Jepang dengan nada tegas dan dingin.
Di seberang telepon, seorang mata-mata yang paling ia percaya mendengarkan dengan saksama. Setelah percakapan singkat dan perintah diberikan, sang pemimpin Yakuza mengakhiri panggilan dengan senyum licik di wajahnya. Ia berbalik ke arah anak buahnya, tatapannya penuh rencana jahat.
“Kita akan menunjukkan kepada mereka siapa yang menguasai bisnis ini,” ucapnya dengan suara rendah, tapi penuh ancaman mematikan. "Filipina, Rusia ataupun Indonesia, tak ada yang mampu menghalau jalannya seorang Yakuza dari Jepang."
***
Di sore yang cerah, Baron dan Vivian berjalan beriringan di taman kota, menikmati angin sepoi-sepoi. Keduanya tampak akrab, sesekali tertawa dan bercanda.
"Vi, kita ke bangku itu, yuk!"
Vivian mengangguk.
Saat duduk berdua, posisi mereka terlihat jarang. "Vi, awas ada ulat bulu!"
"Ih, mana!" Vivian panik. Sontak ia memeluk Baron.
"Canda!"
"Ih, gancen!" Vivian menghindar.
"Hahaha, kau masih saja takut ulat bulu. Padahal kau polisi."
"Ulat bulu itu geli, tau!"
"Mana ada geli, imut dong, kan berbulu. Dimana-mana yang berbulu itu kan imut."
"Tuh, mulai dah kotor pikirannya."
"Maksud aku tuh kucing." Mata Baron menyoroti tangan Vivian. "Vi, ada ulat di tangan kamu!" Sontak Baron menggapai tangan kanan Vivian yang dihinggapi ulat bulu. "Kali ini serius!"
"Ahhh!!" Vivian dengan erat menggenggam tangan Baron.
Seketika posisi mereka terlihat romantis. Mereka menjadi kaku.
"Ehhem!" Tiba-tiba seseorang datang menghampiri.
Sontak Baron dan Vivian melepaskan diri.
"Rai, kamu ada apa ke sini?" tanya Vivian mengalihkan topik.
"Eh... Jadi begini, tapi sebelum itu apakah aku mengganggu?" tanya Raimond. Ternyata dia adalah seorang Raimond, mengenakan pakaian kasual, jauh berbeda dari tampilan formal biasanya sebagai petinggi di kepolisian.
"Ti-tidak. Silahkan saja."
"Dan..." Ekspresi Raimond seolah menunjuk Baron yang tak ia kenal.
Vivian segera mengenalkan Baron. "Oh... Rai, ini Baron. Kami teman sejak kecil, bahkan sampai SMA. Baron, ini Raimond, rekan kerjaku."
Baron dan Raimond berjabat tangan.
"Vi, bisa bicara sebentar?" tanya Raimond dengan nada serius.
Vivian mengangguk, lalu mereka melangkah beberapa meter menjauh dari Baron. Raimond menunduk sedikit sebelum menatap mata Vivian, "Kenapa kau berkencan dengan seorang pria? Kupikir kau lebih fokus pada karirmu."
Vivian tersenyum kecil. "Baron hanya teman lama, Rai. Aku menyayanginya, tapi sebagai teman, tidak lebih. Dia selalu ada di masa kecilku."
Mendengar itu, Raimond menghela napas, merasa sedikit lega. Namun, tatapannya berubah serius. "Oke, lupakan, operasi besar untuk narkoba akan dimulai, kau tau itu. Dan kami butuh semua orang yang bisa dipercaya. Aku tahu kau sangat ahli dalam penyelidikan. Apa kau mau join?"
Vivian yang semula santai, langsung berubah serius mendengar operasi tersebut. "Oh, tentu! Aku akan lakukan apapun untuk membantu. Kau tahu itu."
Raimond mengangguk, senang dengan responnya. "Bagus. Ikutlah dalam pertemuan kita besok pagi, kita akan membahas langkah selanjutnya."
Setelah itu, Raimond berpamitan dan melangkah pergi. Vivian kembali ke arah Baron, yang berdiri dengan tenang sambil memperhatikan mereka dari kejauhan.
Baron tersenyum kecil, "Siapa dia?"
"Raimond, teman sekantorku di departemen kepolisian. Dia sangat tegas dan berdedikasi," jawab Vivian dengan santai, namun ada sedikit perubahan nada dalam suaranya.
Baru saja percakapan itu berakhir, ponsel Baron berdering. Dari ujung telepon, suara Gery terdengar panik. "Bos, ada yang cari ribut di club! Dia ngehancuri barang terus nuntut ketemu sama bos."
Baron langsung mengerutkan kening, ekspresinya berubah serius. Ia melihat ke arah Vivian dan menghela napas. "Aku harus pergi, Vi. Ada urusan yang harus kuselesaikan."
Vivian mengangguk mengerti. "Oh ya?" Vivian berdiri. "Hati-hati, Ron."
Baron segera mengantar Vivian pulang, lalu melaju cepat menuju club.
Bersambung...
![](https://img.wattpad.com/cover/376683373-288-k444756.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gairah Mariyuana
AksiyonBaron, anak jalanan dari Handom City, udah tahu kerasnya hidup sejak kecil. Setelah lulus SMA tanpa arah dan mimpi, dia bareng tiga sahabatnya memilih jalur gelap-mereka masuk ke dunia malam, geng, dan bisnis ilegal. Nggak butuh waktu lama, mereka s...