***
"Memalukan ...."
Setelah sekian puluh menit, akhirnya tangisan Leo mereda. Anak itu kini duduk di tepi ranjang dengan kakinya yang tergantung ke bawah. Tangannya bertumpu di antara kedua pahanya yang terbuka.
Anak itu sungguh terlihat kacau akibat menangis. Rambut kusut, mata bengkak, dan pipi yang merah. Hanya ada satu kata yang dapat menjelaskan kondisinya saat ini. Yaitu jelek.
"Tubuhku memang seorang anak-anak sekarang. Tapi tolong ingatlah martabatmu sebagai seorang ketua mafia berusia 30 tahun, Leonhart!!!" Leo menjerit dalam benaknya seraya semakin mengacak-acak rambutnya.
"Malu banget sumpil dahhh!! Apalagi sama cowok rambut biru tadi itu, bisa-bisanya aku ngomong kaya gitu ke dia? Dah gila apa??!!!"
Seiring batinnya yang terus mengumpati diri sendiri akibat perilakunya barusan. Leo teringat akan kalimat yang pria itu katakan padanya. Tentang orang-orang desa.
Leo menjatuhkan tangannya di sisi badan. Kepalanya kemudian menengadah. Matanya kembali berkaca-kaca. Namun ia menggigit bibirnya tuk menahan emosi dari meluap.
"Sungguh, aku masih tidak bisa memafkan diriku sendiri ...." Leo membatin.
Perasaan bersalah, serta bayang-bayang tragedi malam tadi masih terus menghantuinya. Akan sosok terakhir Jeanne. Sosok anak-anak panti lainnya. Ingatan itu terus terulang seolah seseorang menekan tombol loop di dalam kepalanya.
"8 tahun sudah waktu kami bersama. Walau sekitar 4 tahunnya aku tidak begitu bisa mengingatnya. Tapi itu sudah cukup untuk membuat kalian begitu berharga bagiku," batin Leo.
"Aku minta maaf, karena tidak bisa melakukan apapun bahkan sampai detik terakhir."
Leo menghembuskan napas berat nan panjang.
"Ada yang mengatakan bahwa tidak baik untuk terlalu terlarut dalam kepergian seseorang. Maka, aku akan berusaha membenahi diri."
"Kalian tidak akan marah kan kalau aku move on begitu cepat?" Leo mengucapkan itu dengan tersenyum pahit. Selagi tangannya mencengkram erat sprai putih ranjang.
Sekali lagi, Leo menghembuskan napas berat. Kini kepalanya tertunduk. Matanya terpejam untuk sesaat. Ketika matanya kembali terbuka, Leo meletakkan tangannya di depan dada.
"Aku akan selalu mengenang kalian ...."
.
.
Setelah beberapa saat berdiam diri, Leo pun memutuskan untuk berjalan keluar tenda. Dengan langkah yang tertatih-tatih akibat sakitnya kaki, Leo tetap terus berjalan. Sampai akhirnya ia sampai di ambang antara dalam tenda dan dunia luar. Leo menyingkap kain yang menghubungkannya dengan dunia di luar tenda.
Terlihat banyak sekali pria berzirah yang berlalu-lalang. Leo terus memperhatikan. Hingga ia sadar bahwa mereka berjalan berpasangan dengan membawa sebuah tandu. Tandu-tandu itu tidak lain membawa jenazah warga desa yang sudah mengering dan terbakar.
Leo sontak membelalakkan mata. Terlepas dari sekian banyak penyesalan yang ia utarakan sebelumnya. Bagaimana jika diantara mereka masih ada yang selamat? Jeanne contohnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] I've Become The Villain's Servant
FantasyLeonhart Elvis, seorang mafia yang bereinkarnasi ke dalam sebuah novel romansa yang ia baca. Dan kini ia harus menemukan cara untuk dapat menghindari ending cerita yang tragis. ================================ Note: Cerita ini hanya saya tulis atas...