***
Di dalam kamar yang sunyi dan tenang. Tanpa dapat terdengar suara apapun dari luar. Killian duduk seorang diri pada sebuah sofa disana. Ia sudah menyerah meneriaki nama sang pelayan yang sama sekali tidak memberikan jawaban padanya. Terlebih luka pada lengan kirinya terasa begitu sakit hingga melemahkan tubuhnya.
"Biasanya kalau para pelayan memukuliku pun aku tidak pernah merasa selemah ini ... tapi ini kenapa ...?"
Killian menengadah. Punggungnya bersander lemas pada sandaran sofa. Penglihatannya terasa buram dan kelopak matanya menjadi berat. Ketika hampir saja ia kehilangan kesadaran, suara pintu yang terbuka kembali menyadarkannya. Segera Killian menoleh dan disanalah ia menemukan seseorang yang sudah ia tunggu sejak tadi.
"Leo ...," panggil Killian lirih. Ia hendak beranjak dari tempatnya namun dengan cepat Leo menahan bahunya.
"Shh ... jangan bergerak, luka anda harus segera diobati," potong Leo.
Ia kemudian meraih tangan kiri Killian. Menyingkapkan lengan bajunya tuk melihat lebih jelas lukanya. Dan ketika ia melihatnya, disitulah Leo mulai mengernyitkan dahinya. Dadanya terasa begitu sesak ketika melihat tangan anak sekecil Killian harus terluka seperti ini karena kecerobohan seseorang.
"Tuan muda, apa disini ada obat yang dapat digunakan?" tanya Leo. Namun dibalas gelengan oleh Killian.
"Biasanya aku hanya membersihkan lukanya dan membiarkannya begitu saja," ungkap Killian.
Mendengar itu, Leo terdiam sejenak. "Biasanya ...?"
Menyedari bahwa dirinya sudah mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya, Killian memalingkan wajah. Berusaha tidak mempedulikan tatapan penuh pertanyaan dari Leo.
"Wah wah wah ... sepertinya 10 sayatan tadi belum cukup sebagai bayaran untuk mereka." Leo membatin seraya menyunggingkan senyum seringai.
"Anda tunggu disini, saya akan pergi mencari obatnya."
Baru saja Leo hendak beranjak dari tempatnya, tiba-tiba saja suara wanita terdengar berbicara padanya. Suara yang belum lama ini muncul dan menghilang begitu saja. Kini kembali muncul dan mengucapkan sepenggal kalimat tepat di telinganya.
[Tidak perlu obat, cukup gunakan kekuatan suci yang aku berikan.] Begitu ucapnya.
Sontak Leo menolehkan kepala. Melihat sekeliling tuk mencari kebaradaannya. Atau sekedar mencari dari mana asal suara itu berasal.
Di sisi lain, Killian yang menyadari perubahan sikap yang tiba-tiba dari Leo itu, sontak meraih bajunya. "Kenapa, Leo?" tanyanya.
"Tuan muda, apa anda mendengar suara seorang wanita barusan??" tanya Leo dengan sedikit meninggikan suaranya.
Killian menggeleng. "Tidak ada suara apa-apa ...," balas Killian pelan. Wajahnya tampak sedikit kaget akibat Leo yang tiba-tiba bertanya dengan suara keras.
"Kalau begitu cuman aku yang bisa mendengarnya?" batin Leo menerka.
[Iya, bener,] balas suara itu tiba-tiba.
"Hahh?? Gimana bisa?!"
[Aku kan dewi, ya bisalah. Kesampingkan itu, kau tidak ingin segera mengobati luka Killian?]
"Oh iya. Tapi bagaimana cara menggunakan kekuatan suci itu??" Batin Leo bertanya.
[Kau harus berdoa. Aku akan mengucapkannya jadi kau cukup ikuti saja sambil memegangi bagian tangan yang terluka,] jelas dewi.
Leo pun mengangguk. Ia kemudian meraih tangan Killian dan mendekatkan bagian yang luka pada wajahnya. Killian yang mendapati perilaku tiba-tiba itu sontak membulatkan mata. Namun ia terlalu lemah untuk menolak. Dan berakhir dengan membungkam mulutnya tanpa dapat bereaksi apa-apa.
Lalu Leo menutup matanya dan mulai mengucapkan kata-kata. Kata-kata yang disusun menjadi sebuah kalimat. Namun tidak terdengar begitu jelas apa yang sebenarnya ia ucapkan. Tapi tepat setelahnya, cahaya emas mengeliling tubuh Leo. Dan cahaya itu turut menjalar pada lengan Killian yang luka. Cahaya yang terlihat begitu berkilau dan terasa begitu hangat perlahan menyelimuti luka sayatan pada lengan Killian. Dan hanya beberapa detik kemudian, luka sepenuhnya sembuh. Tidak hanya luka, namun energi yang terasa begitu kecil sebelumnya kini kembali memenuhi tubuh Killian.
Cahaya pun menghilang. Meninggalkan Killian yang masih menatap lengannya dengan mata terbelalak. Ia bertanya-tanya akan apa yang sebenarnya baru saja terjadi. Namun belum sempat ia bertanya, Leo sudah lebih dulu memotong kalimatnya.
"Tuan muda, soal saya yang memiliki kemampuan ini, biarkan menjadi rahasia diantara kita saja, ya?"
Leo mengarahkan jari telunjuknya di depan mulutnya. Menarik sudut bibir hingga mengukir sebuah senyuman pada wajah putihnya. Sekaligus mengedipkan sebelah matanya seolah berusaha bertingkah imut.
Mendapati itu, Killian menutup kembali mulutnya. Ia mengurungkan diri untuk bertanya setelah melihat ekspresi itu. Terlebih kalimat "rahasia diantara kita" membuat jantung Killian entah kenapa menjadi berdegup begitu kencang. Kemudian, Killian pun tersenyum.
"Uhm, rahasia," balasnya.
"Oh iya, kenapa anda berniat untuk keluar dari kamar tadi?" tanya Leo ketika tiba-tiba teringat dengan perkataan Gina. Tanpa diduga, pertanyaan itu membuat Killian tersentak dan membutuhkan waktu cukup lama untuk membalas.
"Karena kau tak kunjung kembali, jadi aku berpikir untuk menjemputmu ...," balas Killian begitu lirih supaya Leo tidak dapat mendengarnya. Namun sayang, pendengaran anak laki-laki bernama Leo ini begitu tajam hingga menyaingi kelelawar.
"Menjemput? Jangan-jangan, anda kangen saya??" sahut Leo seraya menutup mulutnya dramatis.
"Tidak ...!" sanggah Killian dengan pipinya yang memerah.
"Tidak perlu berbohong, tuan muda. Wajah anda sudah mengatakan semuanya," balas Leo menjahili dengan tersenyum miring.
"Hnnnn ... Leo jahil."
Killian memalingkan wajahnya. Dengan pipi yang masih memerah, bibirnya mengerucut seolah menunjukkan bahwa dirinya sedang kesal. Leo yang melihat itu tidak bisa menahan diri dari berpikir bahwa anak di depannya ini sangatlah imut.
"Bisa kena serangan jantung aku!!"
.
.
.
Di dalam sebuah ruangan yang penuh dengan berbagai buku serta berkas, berdiri dua orang pria dewasa yang tampak seumuran.
Pria dengan rambut pirang serta manik biru langit yang tersembunyi dibalik kacamata, menatap begitu intens ke arah kertas di tangannya. Bibir merah muda miliknya terus terbuka dan tertutup seiring dirinya membacakan isi kertas tersebut.
Sedangkan pria yang duduk pada kursi di hadapannya, memiliki rambut berwarna biru gelap. Tangannya bertumpu pada meja kerja diantara mereka selagi manik abu-abu miliknya menatap intens pemandangan indah di depannya. Namun sayang harus terganggu akibat suara ketokan pintu dari luar, disusul dengan suara seorang pria dibaliknya.
"Permisi, tuan duke. Ini saya Nicole Nelson, apakah saya bisa minta waktunya? Ada yang harus saya sampaikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] I've Become The Villain's Servant
FantasyLeonhart Elvis, seorang mafia yang bereinkarnasi ke dalam sebuah novel romansa yang ia baca. Dan kini ia harus menemukan cara untuk dapat menghindari ending cerita yang tragis. ================================ Note: Cerita ini hanya saya tulis atas...