Bab 4: Selamat

1.9K 276 0
                                    

Disisi lain, terdapat sekelompok ksatria berzirah yang menunggangi kudanya masing-masing dengan kecepatan tinggi. Mereka terlihat begitu terburu-buru ketika mendapati cahaya merah menyala yang tak biasa di tengah-tengah gelapnya malam. Mereka terus memacu kudanya untuk berlari. Tidak sedikitpun mereka berniat untuk menurunkan kecepatan bahkan di jalan menurun sekalipun.

Cahaya merah kini berganti dengan kobaran api yang begitu besar ketika mereka sampai di dekatnya. Sontak mereka turun dari kuda masing-masing. Mengeluarkan pedang dari sarungnya untuk bersiap akan segala kemungkinan serangan.

Mereka terus berjalan menembus desa yang dilahap si jago merah. Merasa begitu panas dibalik zirah tebal yang di kenakan. Ketika mereka merasa situasi cukup aman, sang komandan mengangkat tangan kanannya. Pria bertubuh besar dengan zirah tebal mewah dan jubah berwarna merah itu memberi isyarat pada prajuritnya untuk berpencar. Tanpa berleha-leha, mereka segera berpencar bak kilat. Meninggalkan sang komandan dan seorang ajudannya.

Kedua pria itu melanjutkan perjalanan di jalan semula. Hingga akhirnya mereka di kejutkan dengan pemandangan yang berada di ujung jalan.

Lusinan tubuh demon bergelimpangan. Sebagian terpenggal, sebagian lainnya tercincang, dan ada juga yang terdapat banyak sekali lubang di tubuhnya.

Sang komandan dan ajudannya terbelalak. Selama seumur hidup mereka, tidak pernah mereka melihat demon di kalahkan dengan cara yang begitu brutal. Mereka bertanya-tanya siapakah gerangan yang dapat melakukan hal seperti itu. Dan dikala itulah mereka melihatnya. Keberadaan seorang anak laki-laki yang berdiri diantara kobaran api membelakangi mereka.

Rambut berwarna oranye miliknya tampak menari-nari mengikuti irama api yang seiras. Tubuh anak itu tampak dipenuhi noda darah, yang sepertinya tidak berasal dari dirinya sendiri.

Kepala anak itu menengadah. Tapi seolah menyadari keberadaan seseorang yang memperhatikan, sontak ia menoleh. Memperlihatkan mata berwarna emas menyala yang perlahan berubah menjadi hijau permata. Permata yang kehilangan cahayanya.

Seolah kehilangan kekuatan, tubuh anak itu terhuyung dan berakhir terjatuh lemas. Beruntung sang komandan dengan cepat menangkap tubuh ringkih anak laki-laki itu. Dengan mata yang kehilangan kehidupannya, ia menatap kepala pria yang tertutup oleh helm besi itu.

Wajah datar nan pucat. Mata bak ikan yang telah mati. Perlahan berubah. Keningnya berkerut dan matanya yang terasa panas menyipit. Dan terakhir, air mata menetes. Diikuti dengan suara tangisan yang keluar dari mulutnya. Dalam tangisnya, anak laki-laki itu terus berucap.

"Maaf ... sungguh, maaf. Semuanya salahku, aku minta maaf, Leo ... Leo bersalah ...."

Hingga akhirnya, ia pun tertidur.

***

Mentari pagi telah terbit. Malam kehancuran sudah terlewati. Si jago merah juga sudah meredam. Hanya meninggalkan bongkahan-bongkahan abu dan mayat yang terbakar.

Tidak jauh dari desa, beberapa pasang tenda didirikan. Beberapa pria bergelar ksatria berada disana. Menjaga tempat peristirahatan selagi yang lainnya pergi menelusuri desa untung menginvestigasi.

Pada salah satu tenda di sana, terbaring seorang anak laki-laki. Tubuhnya di baluti berbagai macam perban. Terlebih pada ujung jari-jemari miliknya.

Seolah matahari pagi telah menyapanya, anak laki-laki itu akhirnya terbangun. Netra hijau permata miliknya menatap kabur ke arah langit-langit tenda. Dengan sedikit linglung, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri. Hanya untuk menemukan pemandangan asing di sekitarnya.

[BL] I've Become The Villain's ServantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang