BAB 11: Killian

1.7K 274 6
                                    

***

Killian Nova Heisenberg. Satu-satunya putra dari Melville Dreux Heisenberg. Tapi sayangnya fakta itu tidak membuat ia menjadi spesial. Justru malah jauh dari kata itu. Sejak lahir, dapat dihitung dengan jari akan betapa jarangnya Melville menemui putranya itu. Alasannya tidak lain pasti karena terlalu sibuk bekerja.

Melville sang ayah memang seseorang yang sangatlah cuek pada sekitarnya. Bahkan pada mendiang istrinya juga begitu. Karena pada dasarnya mereka menikah hanya karena perjodohan. Dan pekerjaan seolah menjadi prioritas nomor satu baginya.

Hingga puncaknya 4 tahun yang lalu, ketika Killian masih berusia 2 tahun, nyonya Heisenberg meninggal akibat penyakit. Pada saat itu pun Melville sama sekali tidak menampakkan diri di pemakamannya. Seperti sebelumnya, alasannya karena pekerjaan.

Setelah kematian sang istri, barulah Melville memindahkan Killian ke paviliun lain. Anak sekecil itu, dibiarkan tinggal bersama beberapa pelayan di rumah yang jauh dari keluarga. Dan semenjak itulah kedua ayah-anak itu menjadi lebih jarang lagi bertemu.

Meski Killian beberapa kali berusaha untuk bertemu. Melville hanya akan melihat sebentar dan memberikan kata-kata yang menusuk anak laki-laki itu. Tanpa mempedulikan perasaannya dan bagaimana sebenarnya kehidupannya selama ini.

Selama 4 tahun hidupnya di paviliun, tidak ada yang Killian rasakan selain kesendirian. Walaupun rutinitasnya bisa dibilang padat dengan belajar berpedang dan hal-hal dasar yang diperlukan laki-laki bangsawan. Tapi hanya sebatas itulah. Tidak ada dapat yang mengisi kekosongan hati anak laki-laki itu.

Barulah kemudian Killian mendengar kabar. Sang ayah yang pergi untuk melakukan investigasi di wilayah pinggiran. Akan kembali dengan membawa seorang anak bersamanya.

Killian yang awalnya sudah merasa acuh akan ayahnya itu, seketika gundah. Pemikiran-pemikiran buruk mulai berkecamuk di dalam kepalanya. Akan apakah ayahnya memiliki anak lain dan akan membuatnya tersingkirkan.

Dengan berbekal pemikiran itu, Killian memutuskan untuk ikut menyambut kedatangan Melville, sang ayah. Dikala itulah kali pertama pertemuannya dengan dia. Seorang anak laki-laki yang lebih tua darinya. Memiliki rambut berwarna oranye dan manik permata berwarna hijau. Ia memiliki tatapan mata yang seolah menunjukkan bahwa dirinya tidak takut akan apapun. Membuat Killian merasa kecil. Terlebih setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Melville tepat ketika bertemu dengannya setelah beberapa bulan lamanya.

Akhirnya Killian kembali ke paviliun dengan perasaan yang campur aduk. Rasa sedih, takut, kesal, bahkan marah bergabung menjadi satu. Membuat dirinya bahkan tidak lagi mempedulikan perkataan-perkataan yang menghujaninya, dan memilih mengurung diri di dalam kamar.

Sekian jam berlalu seperti itu. Siang berganti sore, sore berganti malam, malam berganti pagi hingga akhirnya pagi kembali digantikan oleh siang. Anak laki-laki itu masih tidak menunjukkan tanda-tanda ingin keluar dari kamarnya. Ia bahkan melewatkan makan malam dan sarapannya hari itu. Biasanya memang tidak ada yang mengingatkan dirinya untuk makan, jadi bisa dibilang ia lupa dibanding sengaja melewatkan.

Lalu ditengah-tengah itulah Killian mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Membuatnya seketika tersentak. Berpikir bahwa tidak mungkin pelayan disana akan repot-repot datang hanya untuk membujuknya agar mau makan. Tapi meski begitu, ia tetap beranjak tuk membuka pintu. Dan dikala itulah dirinya kembali dikejutkan dengan seseorang yang berada dibalik pintu tersebut.

Dia adalah Leo Sullivan.

Tidak seperti sebelumnya, kini dia mengenakan pakaian seragam pelayan. Anak yang lebih tua itu juga memperkenalkan dirinya sebagai pelayan pribadi yang akan bekerja di bawah Killian langsung.

"Pelayan pribadi?? Dia tidak disini untuk menggantikanku?" batin Killian.

Fakta itu tentu sangat mengejutkan baginya. Ia berpikir akan kenapa pula ayahnya itu tiba-tiba mau mempekerjakan seseorang menjadi pelayan pribadinya?

"Apakah untuk mengawasiku ...?" Pemikiran itu mau tak mau terbesit di pikirannya. Karena Melville, sang ayah yang ia tau tidak akan melakukan apapun tanpa keuntungan dibaliknya. Dan alasan paling masuk akal akan keberadaan sang pelayan pribadi ini sekarang hanya itu.

"Paling juga dia akan berubah seperti yang 'lainnya'."

"Karena tidak mungkin ada yang benar-benar tulus dengan anak yang ditinggalkan sepertiku." Killian membatin seraya tersenyum pahit.

***

Disisi lain, seorang anak laki-laki tengah berjalan di lorong paviliun dengan senampan alat makan yang telah kosong. Sinar matahari siang itu masuk dari besarnya jendela di sisi kiri. Menyinari rambut oranye sedikit bergelombang miliknya.

Manik hijau permata itu kemudian melirik ke luar jendela. Menatap birunya langit yang dihiasi lukisan putih awan. Daun hijau yang berguguran juga tak luput dari pandangan mata.

Pemandangan itu membuat sudut bibir sang anak terangkat. Merekahkan senyuman hangat pada wajah putihnya. Matanya kemudian terpejam tuk menikmati suara desiran angin yang menerpa dedaunan hijau. Membuat kenangan-kenangan lalu kembali berputar dalam memorinya.

"Eh iya aku nggak sempet mau nampar muka tu bocah tadi."

Pemikiran tiba-tiba itu sungguh merusak suasana, wahai Leo.

"Tapi dia imut banget, gimana mau nampar coba??" gumam Leo. Tangannya menumpu di dagu dan keningnya sedikit berkerut ketika matanya terpejam.

Kenapa pula anak ini masih meributkan soal menampar anak orang?

"Beda banget sama yang di ilustrasi ...."

Novel Saintess Celestia merupakan novel yang sangat terkenal pada semasa Leo—Leonhart hidup dulu. Dan ilustrasi akan setiap karakternya juga jadi merebak kemana-mana. Hingga membuatnya sangat membekas di dalam kepala Leonhart.

Di dalam novel, Killian Nova Heisenberg digambarkan sebagai seorang laki-laki dengan tatapan tajam dan dingin. Bahkan ia lebih irit kata dibanding Melville.

Mungkin kebiasaannya yang irit kata itu sudah ada sejak kecil, tapi! Wajah yang begitu imut dan mata bulat dengan tatapan polos itu tidak tampak seperti Killian yang Leonhart tau sama sekali.

"Bagaimana mungkin seseorang dapat begitu berbeda saat mereka kecil dan dewasa?"

Tidak heran Leonhart dapat begitu bingung. Novel Saintess Celestia sendiri berfokus pada kisah mereka saat sudah remaja menuju dewasa. Masa lalu Killian juga hanya dijelaskan sekelebat saja. Leonhart yang dapat mengingatnya begitu detail saja sudah seperti menunjukkan akan betapa sukanya ia dengan karakter itu.

"Haahh, ya udah lah. Mau gimana lagi? Bakal ku tampar dia pas udah agak gede dikit," ucap Leo mantap seraya mengepalkan tangannya.

"Siapa yang mau nampar siapa?"

Suara seorang wanita paruh baya tiba-tiba menyusup ke pendengarannya. Membuat Leo terlonjak kaget hingga nampan yang ia pegang hampir saja ia lemparkan ke arah orang tersebut.

"EH COPOT KIJANG PEYOT!! Ngagetin wae!!!"

[BL] I've Become The Villain's ServantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang