BAB 16: Sihir

614 172 7
                                    


Angin berhembus, menerpa dedaunan hijau hingga berdesir merdu. Namun sayang suara itu tidak sampai di telinga ketiga orang disana. Yang satu sibuk menunggu jawaban dari anak di depannya. Sedangkan anak itu sibuk mengalihkan pandangannya. Lalu diantara mereka terdapat si paling muda yang tak tahu harus bersikap seperti apa.

"Maaf, guru. Saya takut tidak bisa menunjukkannya pada anda." Leo menjawab dengan sedikit kikuk. Ia menunjukkan senyum canggung pada wajahnya.

"Coba aja dulu," balas Nicole bersikukuh. Pria itu masih menunjukkan senyum yang penuh akan tekanan pada anak laki-laki di depannya.

"Tapi saya waktu itu hanya tidak sengaja jadi tolong jangan terlalu berharap ...!" timpal Leo masih berusaha agar dirinya tidak harus menunjukkan sihirnya.

"Iyaa, ayo coba." Nicole yang tetap teguh itu terus menekan Leo dengan senyumannya.

Leo yang mendapati betapa kekeh Nicole akhirnya hanya dapat menghela napas berat. Ia segera mengarahkan tubuhnya ke tempat yang lebih lapang. Matanya masih melirik ke arah kedua orang di belakangnya sesekali.

"Haiyaaa, ini gimana?? Ya kali aku bener-bener ngeluarin sihir disini? Apa pura-pura aja ya ...?" batin Leo.

"Jangan berpikir untuk berpura-pura tidak bisa ya, Leo," pekik Nicole tiba-tiba dari belakang membuat Leo seketika bergidik.

"Kok itu orang bisa tau kalo aku mau pura-pura? Jangan-jangan dia punya semacam sihir buat baca pikiran orang lagi??" Leo kembali membatin. Akhirnya ia tidak memiliki pilihan lain selain menunjukkannya. Sihir yang sudah ia lakukan selama ini. Tapi tentu, dalam skala yang jauh lebih kecil.

Leo mengangkat tangan kanannya ke arah depan. Telapak tangannya menengadah. Kemudian ia menutup mata. Imajinasi mengalir deras dalam benaknya. Lalu ketika ia membuka mata, cahaya kuning muncul. Berbentuk seperti petir dan bergerak secara acak di atas telapak tangannya. Setelahnya, Leo menoleh.

"Seperti ini?" celetuknya.

Alih-alih menjawab, Nicole justru mematung di tempat. Ia menatap ke arah gumpalan petir yang bergerak-gerak pada telapak tangan Leo. Sebenarnya ia hanya bermain-main karena mendengar dari Melville bahwa anak itu pernah menggunakan sihir. Tapi dirinya tidak menyangka bahwa dia bisa melakukannya semudah itu.

"Guru?" panggil Leo lagi.

"Ah, iya maaf. Ini hebat, kamu pengguna elemen petir ternyata. Tanpa rapalan terlebih lagi ...," puji Nicole seraya melirikkan mata dan tersenyum miring.

Leo sedikit tersentak. "Saya berasal dari desa yang tidak menyukai sihir, karena itu tidak ada yang pernah mengajarkan saya rapalan. Jadi selama ini saya hanya bergantung pada imajinasi sendiri," jelas Leo panjang.

Tidak seperti yang Leo perkirakan, Nicole tidak langsung menjawab perkataanya. Pria itu justru terdiam dengan ekspresi yang sulit diartikan. Setelah beberapa saat, Nicole akhirnya menggigit bibir dan seolah berusaha membenahi diri.

"Berarti kamu sudah sering mempelajari sihir kan. Tidak baik loh berbohong," ucap Nicole dengan senyum jahil. Membuat Leo tersadar akan betapa bodohnya dia karena menjelaskan hal tadi.

"Baiklah, cukup dengan cohtohnya, mari kita lanjut ke materi pertama," seru Nicole menepuk sekali tangannya.

"Tuan muda, apakah anda tahu ada berapa elemen dalam sihir?" tanyanya pada Killian.

"Lima, yaitu api, air, tanah, angin dan petir," sahut Killian begitu lancar seolah keseluruhan buku telah tertanam dalam kepalanya.

"Anda benar-benar sudah menghafal teorinya ya ...," gumam Nicole tak habis pikir.

"Ekhem! Nah, benar ada lima. Untuk elemen api itu seperti yang sudah saya tunjukkan sebelumnya. Dan untuk petir itu seperti yang Leo tunjukkan barusan."

"Tidak seperti empat elemen lainnya, petir adalah elemen yang sangat langka. Karena orang hanya dapat menguasai satu atau paling banyak 3 elemen, dan itu bawaan lahir terlebih lagi. Jadi kamu sangat beruntung, Leo," jelas Nicole seraya menunjukkan senyum yang kali ini tampak tulus.

"Nah, karena itu tuan muda. Mari kita tes elemen mana yang anda miliki," lanjutnya.

Pria itu kemudian berjongkok di depan Killian. Membuka buku yang ia bawa dan memperlihatkan halaman kosong dengan sebuah permata putih di tengahnya.

"Letakkan tangan anda di atas sini, tuan muda," pinta Nicole.

Mata Killian memandangi antara buku dan pria di depannya itu. Ia ragu untuk meletakkan tangannya disana. Prasangka-prasangka buruk masih terus berkecamuk di dalam benaknya.

Bagaimana kalau dirinya tidak memiliki bakat dalam sihir? Bagaimana kalau tidak ada satu elemen pun yang muncul? Akan jadi seperti apa nasibnya setelah ini jika hal itu terjadi??

Semua pertanyaan itu tidak dapat Killian hindari dari menghantui kepalanya. Membuat tangannya yang mencengkram dadanya bergetar hebat. Tapi tiba-tiba ia merasakan sentuhan hangat pada punggungnya. Killian mendongakkan kepala. Dan disana ia menemukan Leo yang tersenyum lembut padanya.

"Tidak apa. Saya akan selalu berada di sisi anda."

Kekuatan seketika mengalir dalam dirinya. Kata-kata yang mungkin terdengar sederhana, tapi dapat berarti begitu besar bagi Killian. Ia merasa dirinya dapat melakukan apapun jika dia berada di sisinya.

Setelah menarik napas dalam, Killian mengarahkan tangannya ke atas halaman buku. Perlahan meletakkan tangannya disana lalu memejamkan mata. Pria di depannya mengangkat sudut bibirnya setelah melihat adegan tadi.

Kemudian, Killian merasakan sesuatu telah ditarik dari dalam tubuhnya menuju halaman buku. Dari balik kelopak matanya, ia dapat merasakan seperti sebuah cahaya yang sangat terang berada disana. Sontak, ia membuka mata tuk memastikan. Dan disanalah ia melihat sebuah cahaya putih berbentuk bola. Dengan bola-bola kecil menari-nari di dalamnya. Bola-bola kecil itu berwarna biru, merah, hijau, coklat dan terakhir kuning.

Killian menatap takjub pemandangan di depannya itu. Walaupun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Tapi pemandangan itu sangatlah indah hingga membuatnya lupa akan segalanya. Barulah yang membuatnya tersadar adalah ketika pria di depannya itu berteriak. Tatapan matanya seolah sangat terkejut akan apa yang sedang ia lihat saat ini.

"Tuan muda! Anda adalah orang yang dapat menggunakan ke lima elemen!!!" seru Nicole menggebu-gebu. Ia seolah baru saja melihat kejadian bersejarah tepat di depan matanya.

"A-apakah ini hal yang bagus?" tanya Killian kikuk.

"Tentu saja! Sangat bagus malahan. Dalam sejarah tercatat hanya ada satu orang yang pernah menguasai ke lima elemen, yaitu 500 tahun yang lalu. Dan sekarang anda juga dapat melakukannya! Seluruh dunia akan gempar jika mereka mengetahuinya!!"

Nicole terus melontarkan sederet kalimat pujian lainnya. Ia mencengkram erat tangan Killian dengan kedua tangannya. Mata coklat muda pria itu tampak begitu berseri menatap ke arah anak laki-laki tersebut.

Tak peduli akan itu, Killian menolehkan kepalanya. Ia menatap ke arah Leo yang berdiri disampingnya. Senyum lebar terlukis pada wajah anak yang lebih tua itu. Kemudian, ia meletakkan tangan diatas surai ungu milik Killian.

"Anda sangat hebat, tuan muda."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[BL] I've Become The Villain's ServantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang