***
"Maaf atas keterlambatannya, nama saya Nicole Nelson. Saya mungkin sedikit ceroboh tapi saya akan bekerja sebaik mungkin dalam mengajar Tuan Muda Killian dan juga Leo."
Pria pada usia awal 20an-nya itu berucap dengan tersenyum lebar meskipun masih terdapat tanah yang tertinggal pada wajahnya. Sebelah tangannya melipat di depan dada sebagai bentuk etiket pada bangsawan. Sesuatu yang tidak pernah Killian rasakan selain dari Leo.
Memakai kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana hitamnya. Jubah berwarna abu gelap dengan bagian dalam berwarna merah terkait menggunakan rantai dan bros indah di depan dada. Pada tangannya terdapat buku tebal berwarna coklat dan sebuah tongkat kayu dengan permata pada tangan satunya.
Penampilan yang sangat memcerminkan seorang penyihir dalam bayangan Leo.
"Eh tunggu, kayanya ada yang janggal deh tadi."
Belum sempat Leo bertanya, Killian sudah lebih dulu turun dari bangku tuk menyapa Nicole, sang guru baru. Anak kecil itu berjalan beberapa langkah mendekat. Tangan kanannya turut melipat di depan dada. Kepalanya menengadah dengan mata emas bulat miliknya menatap lurus ke arah Nicole.
"Nama saya Killian Nova Heisenberg, saya akan sangat menantikan pembelajaran anda, Tuan Nicole," ucap Killian. Kalimat dan nada bicaranya sungguh tidak akan membuat orang berpikir bahwa dirinya hanya seorang anak laki-laki berusia 6 tahun.
Meskipun guru etiketnya hanya seseorang yang tidak pernah serius dan selalu menganggap semua yang Killian lakukan itu salah. Namun sepertinya ada juga gunanya.
Segera Nicole membenahi diri dari rasa terkejutnya. Pria itu kemudian tersenyum semakin lebar. Lalu pandangan matanya di alihkan pada anak laki-laki bersurai oranye yang sedikit lebih tua. Matanya memandang seolah mengaharapkan sesuatu dari anak itu.
"Perkenalkan saya adalah pelayan pribadi tuan muda, Leo Sullivan. Saya akan tetap berada disini untuk melihat jadi anda bisa mengajar dengan leluasa," ucap Leo dengan tersenyum sebagai formalitas.
Tapi tidak seperti yang ia harapkan, Nicole justru memasang tampang bingung. Pria itu sedikit memiringkan kepalanya dengan mata yang tetap tertuju pada Leo.
"Pelayan pribadi ...?" celektuknya.
"Iya," sahut Leo datar berusaha mengabaikan rasa kebingungan yang pria itu tunjukkan.
"Ahhh, uhm, ya sudahlah. Saya juga ditugaskan untuk mengajarkan anda sihir, jadi bisakah saya meminta untuk menghilangkan 'derajat' dan bersikap sebagai 'teman' selama pembelajaran?" Nicole mengucapkan itu dengan matanya yang melirik ke arah Killian.
Tidak sesuai perkiraan, kedua anak laki-laki yang mendengar hal itu justru terdiam mematung. Mereka mengerjapkan mata seolah masih mencerna kalimat yang baru saja di dengar. Hingga menimbulkan suasana canggung yang membuat pria disana menelan ludah berat.
"Maaf, tunggu, saya belajar sihir?" gagap Leo.
"Iya."
"Saya??"
"Iyaa."
"SAYA??!"
"IYAA!"
"Maaf, bisa tolong turunkan suara kalian?" sela Killian.
"Ah, maaf," balas Leo dan Nicole bersamaan. Dan menjadi akhir dari sahut menyahutnya pertanyaan diantara mereka.
Suasana pun menghening tuk beberapa saat. Barulah yang pertama memutuskan untuk angkat suara adalah anak laki-laki yang berstatus sebagai tuan muda Heisenberg. Dengan hati-hati, anak itu berkata. "Sebaiknya kita mulai pelajarannya sekarang." Dan disahut baik oleh Nicole.
Mereka pun pindah ke tempat yang lebih lapang. Killian dan Leo berdiri bersampingan, sedangkan Nicole tepat di depannya. Pria itu menampakkan senyum lebar sebelum mulai memberikan materi.
"Sebelumnya saya ingin bertanya, apa kalian sudah pernah menggunakan sihir?" tanya Nicole lembut. Dan dibalas gelengan oleh Killian. Sedangkan Leo? Ia hanya berdiri tegap disana dengan pikirannya yang masih melayang entah kemana.
"Baiklah, kalau hanya melihat pernah tapi kan?" lanjut Nicole. Namun masih dibalas gelengan oleh Killian dan Leo yang tetap tidak memperhatikan.
Nicole tertawa miris. Ia tidak menyangka masih ada anak yang tidak pernah melihat sihir sebelumnya. Terlebih anak di depannya saat ini adalah putra satu-satunya Keluarga Heisenberg. Meski keluarga ini berfokus pada teknik pedang, tapi adanya Nicole disini untuk mengajari penerusnya sihir bukankah itu artinya ia memiliki minat? Tapi nyatanya ia tidak tau apa-apa akan sihir.
"Bakal berat nih kayanya ...." Nicole membatin.
Pria itu, Nicole Nelson, adalah seorang pria berusia 22 tahun yang belum lama ini lulus dari akademi. Ia memiliki prestasi yang sangatlah bagus sebagai seorang penyihir. Ia bahkan hampir di rekrut oleh pemimpin dari magic tower. Tapi karena alasan tertentu, ia lebih memilih bekerja untuk Keluarga Heisenberg.
"Kalau begitu, akan saya tunjukkan sedikit. Jadi tolong perhatikan baik-baik."
Tepat setelahnya, Nicole mengangkat jari telunjuknya. Sedikit dekat dengan Killian dan juga Leo. Kemudian, tanpa aba-aba apapun, api yang cukup besar menyala pada ujung jarinya. Membuat Killian membulatkan mata dan akhirnya menyadarkan anak yang satunya.
"Bagaimana?" tanya Nicole dengan senyuman ketika api itu masih menyala pada jarinya.
"Saya kira harus pakai mantra ...," gumam Killian.
Nicole terkekeh. "Kalau sudah ahli buat apa pakai mantra lagi?" ucapnya dengan nada seolah menyombongkan diri.
"Teorinya sihir baru dapat diaktifkan jika membaca mantra. Semakin rumit mantranya semakin kuat sihir yang dihasilkan. Tapi nyatanya tidak selalu seperti itu."
Nicole berbicara seraya berjalan kesana kemari. Tangan kirinya melipat ke belakang dan tangan satunya berada di depan seolah sedang memperagakan. Hingga akhirnya, jari telunjuknya menyentuh pelipisnya.
"Karena yang paling utama adalah, imajinasi." Ia tersenyum.
"Semakin pandai kalian berimajinasi akan bagaimana bentuk dari sihir itu, semakin kuat pula sihir yang dihasilkan. Jadi ini sebenarnya hanya masalah preferensi. Kalau lebih nyaman pakai mantra ya mantra aja. Tapi kalau mau pakai imajinasi juga silahkan."
"Karena sihir itu bebas."
Nicole menyelesaikan kalimatnya. Disisi lain kedua anak laki-laki itu masih terdiam. Tatapan mata Killian hanya tertuju pada pria di depannya itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.
"Hanya teori memang tidak pernah cukup ...."
"Kalau begitu, apa kalian tau ada berapa elemen dalam sihir? Leo, mohon dijawab," tanya Nicole tiba-tiba membuat anak itu tersentak. Ia pelanga-pelongo akibat kebingungan dengan pertanyaan yang ditujukan padanya itu.
"Kamu tidak memperhatikan kan?" Nicole tersenyum sinis.
"Maaf ...," balas Leo. "Saya hanya sedang berpikir akan alasan kenapa saya juga ikut kelas ini. Dan sepertinya saya sudah tau alasannya apa," lanjutnya.
"Ah, begitu. Bagaimana kalau saya ganti pertanyaannya? Saya ingin kamu memperlihatkan sihir yang pernah kamu gunakan, Leo," pinta Nicole. Masih dengan senyuman yang tidak tampak seperti senyum tulus sama sekali.
Seketika Leo tersentak. Dengan manik hijau nya yang nampak seutuhnya, ia mengerjap tak percaya. Mulutnya sedikit terbuka akibat permintaan yang begitu tiba-tiba dan gurunya itu. Tapi seolah tidak peduli, pria itu masih tetap tersenyum.
"Ayo. Saya sudah dengar bahwa anda pernah menggunakan sihir. Jadi tolong tunjukkan disini, sekarang."
"Heh Melville biji alpukat! Lu bilang apa ke ni orang??"
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] I've Become The Villain's Servant
FantasíaLeonhart Elvis, seorang mafia yang bereinkarnasi ke dalam sebuah novel romansa yang ia baca. Dan kini ia harus menemukan cara untuk dapat menghindari ending cerita yang tragis. ================================ Note: Cerita ini hanya saya tulis atas...