Bab 6: Rencana

1.7K 256 1
                                    


"Lah, biji kuaci! Dia kan bapaknya si villain?!!"

Saking terkejutnya Leo, kalimat itu terucap cukup keras dari mulutnya. Membuat pria yang dimaksud itu sontak mendongakkan kepala. Meski cukup jauh jarak mereka saat itu, tatapan tajamnya dapat terasa ke dalam jiwa.

"Hah ...?" Suara pria itu terdengar sangat dingin di telinga Leo. Sontak anak laki-laki itu pun tersadar akan betapa bodohnya ucapannya barusan.

"Bodoh! Kenapa kau ngomong gitu keras-keras sih Leo??? Dah sinting apa?!" batin Leo meringis. Meratapi nasib dirinya setelah ini.

Kemudian suara langkah kaki terdengar. Semakin jelas seolah sedang menghampiri dirinya. Sontak Leo mendongakkan kepala. Dan menatap manik abu-abu yang ternyata telah berdiri tepat di depannya.

"Kau bilang apa barusan?" tanyanya dengan suara yang begitu dingin dan tatapan tajam.

"Maaf, saya punya sindrom berbicara sendiri. Jadi kalimat itu tidak sengaja terucap ketika saya memikirkan hal lain dalam benak saya," jelas Leo dengan suara datar seraya menatap lurus ke arah manik kelabu miliknya.

Tanpa di duga, pria itu justru terdiam. Dia menatap Leo dengan pupil matanya sedikit membulat. Seolah dirinya baru saja di kejutkan oleh sesuatu.

"Kau-!"

"Wup, mari sudahi itu. Leo sudah menjelaskan alasannya mengucapkan kalimat itu barusan, kan. Jadi mari beralih ke pembahasan utama kita." Nathaniel menyelip diantara Leo dan majikannya. Mengucapkan sederet kalimat itu untuk mengalihkan pembicaraan. Meski tatapan tajam dari sang majikan tak henti-hentinya di tujukan padanya. Ia berusaha mengabaikan.

Pria itu pun menurut saja. Ia membuang pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Kemudian menghela napas panjang. Beralih mengucapkan hal lain yang menjadi topik utamanya.

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Leo Sullivan," jawab Leo singkat sembari masih menatap lurus ke arah pria itu.

"Leo Sullivan, aku Melville Dreux Heisenberg. Kepala Keluarga Grand Duke Heisenberg saat ini. Desa ini juga merupakan bagian dari wilayah kekuasaanku, harusnya kau tau itu kan?" jelasnya panjang.

Leo terdiam. Ia menatap pria yang baru saja memperkenalkan diri itu dengan melongo. Sebuah fakta mengejutkan baru saja ia dengar setelah hidup di dunia ini selama 8 tahun lamanya. Yaitu ....

"Dunia ini ternyata adalah novel Saintess Celestia???"

"Beneran ini?? Ini novel? Aku masuk ke dunia novel? Kok aku baru nyadar sekarang sih???"

Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam benaknya. Selama ini Leo hanya tau bahwa ia bereinkarnasi ke dunia lain. Bukan dunia novel. Sama sekali tidak terpikir di benaknya bahwa ia akan bereinkarnasi ke dalam novel. Novel Saintess Celestia terlebih lagi.

"Dari sekian banyak novel yang ku baca kenapa harus yang itu sih??" batin Leo berteriak.

Bukan tanpa alasan Leo seperti itu. Berdasarkan yang dirinya ingat, ending dari novel itu sangat, sangat, sangat, tidak mengenakkan.

"Cerita yang berakhir dengan perang dunia antara manusia dan demon. Seluruh karakternya mati, sang villain, bahkan female dan male leadnya saja dibuat sampai diambang kematian. Seisi dunia pun dibuat porak poranda."

"Gimana aku mau menikmati kehidupan fantasi kalau begini jadinya ...?" batin Leo menangis.

Selama ini, Leo hanya fokus dengan kehidupannya sendiri di panti. Sama sekali ia tidak berpikir untuk mempelajari lebih jauh tentang dunia. Bahkan nama negara tempat dirinya tinggal saja ia tidak tau. Orang-orang di desa juga tidak seluruhnya pandai membaca jadi Leo tidak terlalu memusingkannya juga. Karena itu bahkan setelah 8 tahun hidup, ia baru tau bahwa sebenarnya ia berada di dalam novel.

"Siapa juga yang bakal duga, kan? Lagian aku nggak ketemu sama karakter novelnya sama sekali selama ini. Baru ini lah aku ketemu sama Melville, bapaknya Killian si villain."

"Kalau nggak gini mungkin sampai mati pun aku nggak bakak tau ...."

Begitu sibuk Leo dengan pikirannya sendiri. Hingga ia melupakan kedua pria di samping yang sedari tadi tidak henti-henti memanggil namanya.

"Leo!" pekik Nathaniel. Tangannya berada di bahu Leo tuk mengguncang tubuhnya. Sebuah upaya yang akhirnya berhasil menyadarkan anak itu dari lamunannya.

"Ah, maaf. Lagi-lagi saya sibuk berbicara sendiri dalam benak saya," sahut Leo seraya memberi pembenaran untuk tindakannya barusan.

"Apa ya tadi?" lanjut Leo. Memperlihatkan senyum canggung serta tatapan polosnya. Seketika Nathaniel pun menghela napas panjang seraya sedikit menggelengkan kepalanya.

"Apa kau melihat siapa yang membunuh semua demon itu?" Kali ini Melville lah yang bertanya. Tatapannya sangat serius melihat ke arah Leo. Membuat anak laki-laki itu sedikit tersentak.

"Tidak," balas Leo singkat seraya menggelengkan kepala.

"Ya iyalah enggak, kan aku sendiri yang ngebunuh mereka. Kalo ku jawab iya kan nggak logis, masa aku bisa lihat diriku sendiri. Jadi ini bukan bohong ya ges ya." Leo membatin seolah memberikan pembenaran akan dirinya sendiri.

Sejujurnya saat itu Leo masih bingung akan bagaimana bisa ia melakukan hal itu. Sebelumnya ia hanya pernah menggunakan sihirnya untuk seni berpedang. Tapi tidak pernah ia gunakan langsung dari tangannya untuk bertarung.

"Mana kekuatannya gede banget lagi. Apa jangan-jangan aku berbakat, ya?" batin Leo kemudian tertawa cekikikan.

"Kau sungguh ahli berbicara dalam hati ya? Mau sampai berapa lama kau tertawa seperti itu? Tidakkah kau sadar siapa seseorang di hadapanmu ini?" Melville kembali berucap. Tangannya menyilang di depan dada dan keningnya tampak berkerut.

Mendapati itu Leo sontak menghentikan gelakannya. Mentautkan kedua tangan di depan dan kepalanya kemudian tertunduk.

"Maaf ...," lirihnya.

Melville menghela napas. "Kembalilah, kami akan menguburkan jasad warga desa setelah ini dan besok kami akan kembali. Dan kau akan di antar ke panti asuhan lain di kota," jelasnya panjang. Kemudian ia berbalik tuk kembali menuju meja kerjanya.

Nathaniel yang mendengar itu sontak merangkul bahu Leo. Mengarahkan anak itu untuk segera keluar dari dalam tenda. Awalnya ia menurut, tapi selangkah kemudian, ia terpikirkan sesuatu. Sesuatu yang dapat menyelamatkan dirinya, dan juga dunia.

Leo melepas tangan Nathaniel yang memegangi bahunya. Kemudian dengan cepat berbalik tuk kembali menatap ke arah pria berstatus Grand Duke itu. Ia pun berjalan mendekat dengan sedikit cepat.

"Yang mulia, tolong biarkan saya bekerja dengan anda!" Anak laki-laki itu kemudian menunduk hingga tubuhnya membentuk siku-siku. Kedua pria yang mendengar itu pun tertegun.

"Aku tidak tertarik memperkerjakan anak kecil," balas Melville. Keningnya berkerut seolah masih tidak percaya anak itu dapat memberikan tawaran seperti itu.

"Anda tidak perlu khawatir! Saya bisa memasak, bersih-bersih, berburu, dan bahkan mengasuh anak," ujar Leo.

Sungguh, ia sangat pandai berbicara. Kata mengasuh anak dalam kalimatnya itu tidak lain ia tujukan untuk sang villain, yaitu Killian.

Di dalam novel, Killian lah inti dari semua masalah yang berdatangan. Pria yang di mabuk cinta itu rela melakukan apapun demi pujaan hatinya. Tidak hanya membunuh keluarganya sendiri, tapi juga seluruh dunia.

Karena itulah ia terpikirkan cara untuk menanggulanginya.

"Kalau aku bekerja di bawah Melville dan menjadi pelayan pribadi Killian. Maka aku bisa membawanya ke jalan yang lurus dan ending tragis pasti terhindari kan?" batin Leo. Sekali lagi, anak laki-laki itu tertawa cekikikan

Meski begitu, ia tidak yakin bahwa Melville akan dapat dengan mudah menyetujui persyaratannya. Ia berpikir untuk membujuknya berkali-kali lagi di beberapa waktu ke depan. Tapi nyatanya, semua lebih baik dari dugaan.

"Baiklah, aku akan menerimamu sebagai pelayan di kediamanku. Yaitu menjadi pelayan pribadi Killian, putraku."

[BL] I've Become The Villain's ServantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang