BAB 9: Kesal

1.8K 270 8
                                    

***

Kesunyian menyelimuti. Para pelayan, dan juga prajurit masih tetap di tempat mereka tanpa mengucap kata apapun. Hanya ada satu perasaan yang menyelimuti mereka saat ini. Dan itu adalah empati. Perasaan kasihan akan tuan muda satu-satunya mereka, Killian.

Disisi lain, anak laki-laki berambut oranye disana justru memikirkan hal lain. Sesuatu hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Bentar, itu Killian si villain kan? Beneran?? Nggak salah denger aku nih???" batin Leo bertanya-tanya kebingungan. Tidak heran, pasalnya Killian yang ia lihat saat ini sangat jauh berbeda dari Killian di ilustrasi yang Leo pernah lihat.

"Memang sih dia masih anak-anak sekarang jadi nggak heran kalau beda. Tapi! Kok bisa sebeda ini? Seorang pria dewasa dengan mata elang dan selalu memiliki tatapan tajam. Saat ini terlihat seperti malaikat kecil yang bisa hancur hanya dengan sentuhan kecil."

"Yang benar saja ...?"

Cukup lama kesunyian itu berlangsung. Hingga akhirnya pria berambut pirang yang berstatus sebagai ajudan sang penguasa, Nathaniel, itu angkat suara. Dengan nada yang lembut namun penuh akan kewibawaan. Dia memerintahkan semua orang di sana untuk bubar dan kembali pada pekerjaannya masing-masing.

Ketika semuanya beranjak pergi, Nathaniel kemudian melangkah maju. Pria itu berhenti di hadapan anak kecil yang tidak lain adalah putra dari majikannya. Tangan Nathaniel kemudian terangkat dan mengelus lembut surai ungu miliknya. Kemudian mulutnya terbuka tuk mengucapkan sesuatu. Meski suaranya lirih, namun dari kejauhan Leo dapat mendengar apa yang dirinya ucapkan.

"Maaf ya."

Itulah yang dia ucapkan.

Setelahnya anak itu pergi bersama seorang wanita paruh baya di sampingnya. Nathaniel kemudian bangkit dan menatap kepergian tuan mudanya. Semua orang terus pergi hingga menyisakan Nathaniel dan Leo seorang.

Pria itu melipat tangannya di belakang punggung. Lalu berbalik tuk menatap anak laki-laki di belakangnya. Manik biru yang tersembunyi di balik kacamata miliknya menatap lurus ke arah Leo. Tidak seperti biasanya, raut wajah pria itu tampak sangat datar saat ini.

"Mulai saat ini sampai besok pagi, akan ku tanamkan setiap hal yang perlu kau ingat ke dalam kepalamu, Leo Sullivan. "

Suaranya sungguh terdengar begitu dingin. Senyuman mungkin terukir di wajahnya. Namun itu adalah senyuman yang membawa kengerian di dalamnya. Membuat Leo yang bahkan tidak bereaksi apa-apa saat di hadapan Melville, kini merinding bukan main.

***

"Killian Nova Heisenberg, 6 tahun, lahir tanggal 17 April tahun kekaisaran. Satu-satunya putra dari keluarga Heisenberg. Ibunya sudah meninggal akibat penyakit ketika ia baru berusia 2 tahun. Dan kini ia tinggal di bangunan yang berbeda dengan rumah utama."

Leo terus bergumam seiring dirinya yang terus berjalan diantara rapinya tanaman taman. Anak itu terus mengingat pelajaran yang Nathaniel berikan padanya sepanjang malam. Hingga membuatnya baru dapat beristirahat disaat pukul 3 pagi.

Matanya terus memandang ke atas. Sedangkan jari-jari tangannya membuka secara berurutan. Hingga akhirnya langkahnya terhenti ketika bangunan ala 1800an tepat berada di depannya. Meski terlihat lebih kecil dari bangunan utama, tapi sudah sangat besar untuk digunakan oleh seorang anak berusia 6 tahun.

"Rumah yang ditempati anak kecil aja lebih besar dibanding rumahku dulu ...," batin Leo takjub.

Leo kemudian merapikan pakaiannya yang sudah rapi. Pakaian kerja yang Nathaniel berikan. Sebuah seragam pelayan berwarna hitam putih yang tampak cukup longgar di tubuh anak itu. Lalu setelah satu hembusan napas panjang, Leo pun melangkah masuk.

"Jangan gugup, Killian hanya anak kecil sekarang. Dia tidak akan langsung memenggal kepalaku jika aku melakukan sedikit kesalahan. Justru aku harus membuat dirinya tidak seperti itu di masa depan mendatang!" batin Leo kukuh menenangkan hatinya.

Di lobby, Leo melihat seorang wanita paruh baya dan dua wanita muda lain di belakangnya. Mereka berdiri di sana seolah untuk menyambut kedatangan Leo sebagai rekan kerja baru. Atau itulah yang Leo kira.

"Kamu Leo Sullivan yang Tuan Nathaniel katakan akan bekerja sebagai pelayan pribadi tuan muda kan?" tanya sang wanita paruh baya dengan nada angkuh. Tangannya bahkan menyilang di depan dada dan tatapannya memandang Leo remeh.

Leo pun mengangguk mengiyakan. Meski dalam hatinya ia menggerutu akan sikap tidak sopan yang wanita itu berikan.

"Aku tau aku cuma anak kecil disini, rakyat jelata terlebih lagi. Tapi apakah perlu semerendahkan ini? Bukankah seharusnya dia memberiku arahan karena aku yang paling muda disini?? Dia terlihat sangat berbeda dibanding saat dia di depan Melville kemarin."

"Namaku Gina Reyes. Aku adalah kepala pelayan disini. Jadi kau harus mematuhi semua perintahku jika masih ingin bekerja," ketus wanita paruh baya itu.

"Kamar tuan muda ada di atas. Hanya ada satu kamar disana jadi kau pasti akan dengan mudah menemukannya. Dan kamarmu ada di ujung lorong setelah lorong ini," lanjutnya. Ia kemudian pergi bersama kedua anteknya. Meninggalkan Leo sendiri tanpa sempat menjawab apapun.

"Ini beneran aku diginiin? Nggak ada di kasih panduan gitu soal rumah ini?? Nathaniel bilang kalau tu kepala pelayan yang bakal membantuku, tapi apa??? Peduli aja enggak dia! Dasar kentang keriput!!!"

Leo terus mengumpat dalam hatinya. Ia kemudian berjalan menyusuri lorong yang Gina maksud. Berniat untuk meletakkan barang-barangnya terlebih dahulu sebelum pergi menemui sang majikan kecil. Tapi ia menyesali keputusannya karena ternyata lorong itu begitu panjang. Bahkan setelah akhirnya ia berbelok ke kanan seperti yang Gina suruh, masih terdapat lorong panjang lainnya disana.

"Si kampret! Ini lorong kapan habisnya???" Kembali lagi Leo mengumpat.

Hingga setelah belasan menit berjalan, ia akhirnya tiba. Di depan satu pintu yang tepat berada di penghujung lorong. Ia membuka pintu kamar. Berharap dapat langsung mengemasi barangnya dan berbaring sebentar di atas ranjang. Namun harus ia urungkan karena ternyata kamar dalam kondisi sangat kotor dan berdebu. Sarang laba-laba dimana-mana dan kasur yang bahkan terlihat tidak layak pakai.

"Serius ...?"

Leo menghela napas.

"Enaknya ku apain ya tu orang."

.

.

.

Sejuknya suasana pagi kini sudah berganti panasnya terik matahari. Leo masih berada di kamarnya. Baru saja selesai merapikan semua kekacauan yang ada. Dan berniat beristirahat sejenak. Namun digagalkan setelah wanita berstatus sebagai kepala pelayan, Gina, menyelinap masuk.

"Lumayan juga pekerjaanmu," ucapnya seraya menilik setiap inci kamar.

"Lumayan katamu?? Picek apa matanya?! Nggak ada anak usia 8 tahun yang bisa bersih-bersih sebaik diriku!!" batin Leo. Entah sudah keberapa kalinya ia mengumpat hari ini.

"Cepat pergi ke dapur. Bawa makan siang tuan muda ke kamarnya," titah Gina masih dengan nada merendahkan. Ia kemudian berbalik, tapi masih menatap ke arah Leo dengan sudut matanya.

"Setelah ini kau harus memasak sendiri untuk makanan tuan muda," lanjutnya kemudian benar-benar beranjak pergi. Meninggalkan Leo yang berdiri mematung di tengah kamarnya. Tubuh anak itu terlihat bergetar. Dan tangannya mengepal erat kain lap.

"BAJI-AAAAAKKHHHH!!!"

[BL] I've Become The Villain's ServantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang