***
Sebagai seorang anak berusia 6 tahun, Killian memiliki rutinitas yang cukup padat tiap minggunya. Hari senin ia ada kelas sejarah dan matematika. Hari selasa ada kelas bahasa. Hari rabu kelas etiket dan dansa. Lalu terakhir, hari kamis terdapat kelas sihir. Selain hari itu, Killian mendapat waktu libur dan tidak melakukan apa-apa selain bersantai.
Leo tidak menyangka bahwa Killian kecil justru mempelajari sihir bukannya pedang. Karena di dalam novel aslinya, Killian itu sangat ahli menggunakan pedang hingga disebut-sebut sebagai yang terkuat di benua. Terlebih ia juga menggunakan sihir pada saat yang bersamaan dengan teknik berpedang.
"Mungkin karena masih kecil kali ya? Jadi belajar sihir dulu baru nanti belajar pedang."
Tidak seperti pengetahuan awal yang Leo ketahui tentang sihir. Ternyata orang-orang tidak begitu menganggap buruk kekuatan sihir. Karena bahkan di ibu kota, terdapat sebuah akademi yang berfokus mengajarkan sihir pada anak didiknya.
"Di dalam novel yang aku ingat juga, sang protagonis, Celestia juga masuk ke akademi itu bersama dengan Killian. Kemudian setelahnya Celestia justru bertemu dengan ML-nya."
"Tapi karena sihir cukup wajar, terus kenapa di desa orang-orang mencekam penyihir? Apa ada alasan tertentu?"
Batin Leo tentu bertanya-tanya. Tapi karena setiap orang desa telah diluluh lantahkan, tidak ada lagi orang yang dapat ia tanyakan. Tidak ada satupun. Pada akhirnya pertanyaan itu hanya dapat ia simpan sendiri dalam-dalam.
Kembali ke topik awal. Ini adalah hari kamis, maka sudah jadwalnya bagi Killian untuk menghadiri kelas sihir. Sang anak laki-laki yang lebih muda itu kini tengah duduk pada bangku taman sedangkan yang berseragam pelayan berdiri di sampingnya.
Terlihat kedua tangannya melipat ke belakang. Dengan jari-jari tangannya mencengkram erat lengan tangannya. Kedua netra anak itu menatap ke depan dengan sorot mata tajam. Keningnya berkerut dan bibirnya tertutup rapat. Seolah dirinya sedang menahan diri untuk tidak meluapkan emosi.
Anak laki-laki yang duduk, Killian, merasakan tatapan panas sang pelayan, Leo, di sampingnya itu membuat dirinya mau tak mau memperhatikan. Ia kurang lebih tau, akan hal apa yang menganggu Leo sampai segitunya. Dan sepertinya itu adalah karena, sikap guru-gurunya selama ini.
Selama beberapa hari terakhir, setiap gurunya pasti akan datang terlambat atau bahkan tidak datang sama sekali. Jika datang pun mereka tidak pernah melakukan tugasnya dengan benar. Yang mereka lakukan hanya duduk-duduk sambil memakan cemilan dan akan marah-marah jika Killian membuat kesalahan walau sedikit saja.
Hal-hal itulah yang membuat Leo dalam situasi yang sangat tidak baik saat ini. Walau padahal Killian merasa perlakuan itu merupakan hal yang biasa saja baginya.
"Tuan muda, orang seperti apa guru kelas sihir anda?" tanya Leo tiba-tiba dengan nada yang dibuat sedatar mungkin.
Killian yang mendengar pertanyaan itu sedikit tersentak. Ia melirik sekilas wajah kusut Leo. Kemudian menggelengkan kepala dan berakhir menunduk.
"Aku tidak punya kelas sihir sebelumnya. Ini baru ...," balas Killian sedikit lirih.
Sama seperti Leo yang bingung akan pernyataan itu, Killian sendiri juga bingung akan kenapa dirinya tiba-tiba diberi kelas sihir seperti ini oleh ayahnya, Melville. Itu membuat dirinya merasa tidak tenang. Ia berpikir apakah dirinya punya bakat dalam sihir? Jika Melville berharap Killian memiliki bakat sihir namun nyatanya tidak, anak itu mungkin tidak akan sanggup menghadapi masa depan setelahnya.
Disisi lain, Leo menatap Killian dengan pupil mata membulat. Ia tidak menyangka bahwa kelas sihir adalah jadwal belajar baru bagi Killian. Ia mengira anak itu memang telah dilatih dari kecil, selayaknya berpedang.
"Dan lagi, apakah ini karena ia masih kecil?" Leo kembali membatin.
Leo memperhatikan anak bersurai ungu gelap yang duduk tertunduk di sebelahnya itu. Ia tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya. Tapi Leo dapat menduga, bahwa dirinya pasti sangatlah gugup saat ini.
Tanpa sadar, Leo meletakkan tangannya di atas kepala Killian. Membuat anak itu seketika menoleh. Leo mengelus-elus surai ungu gelap milik sang majikan. Dan perlahan, senyum hangat merekah pada wajahnya.
"Tenang saja, saya ada disini! Jika anda rasa perilakunya membuat anda tidak nyaman, tolong langsung berikan tanda. Saya akan melakukan apapun yang saya bisa untuk dapat membantu anda," tutur Leo bersemangat. Anak itu bahkan mengepalkan tangan satunya di depan dada.
"Ah, lagi-lagi saya menyentuh kepala anda. Sudah sebaiknya saya membuang kebiasaan buruk ini ...," lirih Leo seiring semangatnya yang memudar.
Dikala itu, Killian memperhatikan dengan manik permata emas miliknya. Tidak sekalipun ia mengalihkan pandangannya dari melihat anak yang lebih tua itu.
Awalnya rutinitas menjalani hari dengan didampingi oleh seseorang kemanapun membuat Killian merasa sedikit risih. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa akan keberadaannya. Akan semua perhatian yang ia dapatkan dari Leo selama ini. Membuatnya berpikir, apakah seperti ini rasanya kasih sayang?
"Rasanya sangat ... hangat."
Leo segera menyingkirkan tangannya dari kepala Killian. Ia kemudian kembali melipat tangannya di belakang punggung dan menatap ke depan. Hanya untuk dikejutkan dengan suara yang tiba-tiba berbicara lirih padanya. Begitu lirih hingga membuatnya tidak dapat mendengarnya begitu jelas.
"... aku tidak keberatan kau mengelus kepalaku ...."
Sontak Leo memalingkan kepalanya tuk menatap ke arah Killian. Pupil hijau miliknya menilik setiap raut wajah yang sang majikan buat dengan penuh rasa kaget.
"Rasanya seperti memiliki seorang kakak," lanjut Killian. Namun kini dengan suara yang lebih nyaring. Untuk sepersekian detik, Leo terdiam. Ia masih menatap lekat wajah yang terus menatap ke bawah itu. Mencoba mencerna kalimat yang baru saja ia dengar.
Ketika semuanya sudah mulai jelas dalam benaknya, segera Leo hendak mengucapkan sesuatu. Namun suaranya tiba-tiba terhalang oleh suara hentakan sepatu pantofel yang berjalan sedikit cepat pada lorong di samping mereka. Diikuti dengan suara teriakan seorang pria dengan napas yang tersengal-sengal.
Pria itu memiliki rambut berwarna merah. Sedikit panjang pada bagian belakang sehingga ia harus mengikatnya. Memiliki poni yang menutupi seluruh jidatnya dan menggunakan kacamata bulat. Memberikan kesan kuat bahwa pria itu pasti orang yang sangatlah pintar.
Tapi kemudian, dia tersungkur tepat di depan Leo dan Killian akibat menginjak tali sepatunya sendiri.
Pintar itu bagus, tapi ceroboh juga masih menjadi bagian dari manusia.
Segera pria itu berusaha mengangkat tubuhnya. Bangkit tuk berdiri seraya membersihkan pakaiannya dari tanah. Tak lupa pula membenarkan bagian-bagian yang miring, kacamatanya contohnya.
"Maaf atas keterlambatannya, nama saya Nicole Nelson. Saya mungkin sedikit ceroboh tapi saya akan bekerja sebaik mungkin dalam mengajar Tuan Muda Killian dan juga Leo," jelasnya panjang seraya tersenyum dengan manik coklat muda miliknya tampak berbinar-binar tanpa alasan yang jelas.
"Ohhh, dia si guru sihir ... eh bentar, keknya ada yang janggal deh tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] I've Become The Villain's Servant
FantasyLeonhart Elvis, seorang mafia yang bereinkarnasi ke dalam sebuah novel romansa yang ia baca. Dan kini ia harus menemukan cara untuk dapat menghindari ending cerita yang tragis. ================================ Note: Cerita ini hanya saya tulis atas...