Flashback..
Tiga tahun yang lalu, di tengah malam yang penuh kecemasan, hujan deras mengguyur atap rumah sakit dengan iringan angin yang berderu kencang. Rayan, seorang pemuda yang tampak resah, berjalan bolak-balik di lorong rumah sakit. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran dan harapan. Di balik pintu ruang operasi, istrinya, Rai, sedang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan buah hati mereka.
Rayan berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu melayangkan doanya ke langit yang kelam. Dia mencintai rai dengan segenap jiwa. Sejak mereka menikah, Rai menjadi sumber kekuatannya, tempat dia pulang setelah hari-hari panjang bekerja keras. Meskipun hidup mereka tidak mudah, dengan gerai kecil tempat rayan berjualan donat, dia selalu bersyukur atas rezeki yang tuhan limpahkan. Baginya, Rai adalah anugerah terbesar.
Namun, di sisi lain, keluarga rai tidak menerimanya. Di mata mereka, Rayan hanyalah seorang pemuda miskin yang tidak layak untuk rai. tapi rai menentang dan tetap ingin menikah dengan rayan karena hanya rayan yang menyayangi dirinya dengan tulus. Dan malam itu, mereka pun turut menunggu dengan gelisah, walaupun dalam hati mereka tetap ada keraguan terhadap rayan.
Waktu seakan berjalan lambat, hingga akhirnya, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah serius. Jantung rayan berdetak kencang, harapan dan ketakutan bercampur di dalam dadanya.
"Bayi anda lahir dengan selamat " kata dokter itu, membuat rayan sempat bernapas lega, namun harapan itu segera sirna ketika dokter melanjutkan
"Tapi istri anda mengalami pendarahan hebat dan saat ini dalam kondisi koma."
Dunia rayan seakan runtuh. Air mata mengalir di wajahnya yang penuh kesedihan. Dia tidak ingin kehilangan rai, sosok yang selama ini menjadi kekuatannya. Dengan tangis yang tertahan, dia menatap ke langit-langit rumah sakit, memohon dengan segenap hatinya agar rai bisa kembali. Tapi, dalam hati kecilnya, dia tahu, hidup mereka tak akan pernah sama lagi.
Malam itu, rasa hancur rayan yang sudah begitu dalam kian dipereteli oleh kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. Keluarga rai, yang seharusnya menjadi tempat ia bersandar dalam situasi sulit ini, malah berdiri sebagai tembok dingin yang menghalau segalanya. Tak lama setelah dokter menyampaikan kabar tentang kondisi rai, ibu rai dengan dingin meminta dokter untuk terus merawat anaknya hingga sadar dari koma. Namun, di saat yang sama, mereka tidak menyalahkan keadaan, melainkan menuding rayan dan bayinya sebagai penyebab semua penderitaan yang menimpa rai.
Rayan berusaha menahan diri, tetapi caci maki itu terus menghujani, menghancurkan hatinya yang sudah penuh luka.
"Ini semua karena kau!" seru ibu rai dengan suara tajam, penuh kebencian.
"Kau dan anak itu adalah kutukan bagi rai! Pergi! Saya tak ingin melihatmu lagi!" Dengan nada yang tegas, ibu rai mengusir rayan dari rumah sakit, memintanya membawa bayi yang baru lahir itu jauh-jauh dari kehidupan mereka. Bayi yang tak bersalah, darah daging rai sendiri, kini dianggap sebagai beban yang tak ingin mereka terima.
Rayan gemetar, memohon dengan suara serak..
" Tolong, izinkan aku menunggu hingga esok hari. Setidaknya beri aku waktu bersama rai, meski hanya sebentar" Namun, belas kasihan tak ada di mata mereka. Hanya ada kebencian dan penolakan. Ibu rai mengacuhkan tangisannya, dengan tangan terangkat menunjuk pintu keluar, memerintahkannya pergi saat itu juga. Orang-orang di sekitar yang menyaksikan semua itu hanya bisa menahan tangis. Mereka tak percaya betapa kejamnya keluarga rai memperlakukan rayan di momen yang seharusnya penuh kasih dan dukungan. Pihak rumah sakit pun bungkam, tercekik oleh kuasa dan pengaruh keluarga rai, tak berani angkat bicara meskipun hati mereka terguncang.
Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, Rayan menggendong bayinya yang masih begitu mungil, dan dengan langkah berat, ia meninggalkan rumah sakit di tengah derasnya hujan malam itu. Setiap tetes air yang membasahi wajahnya tak hanya berasal dari langit, tetapi juga dari hatinya yang kini dipenuhi rasa hancur dan ketidakberdayaan. Bayi kecil di pelukannya, satu-satunya yang tersisa dari cinta yang ia bagi bersama rai, kini menjadi teman dalam perjalanan sunyi mereka menuju kegelapan malam.