Sore berganti malam, dan suasana rumah mulai dipenuhi oleh teman-teman maharani, ibu rai, yang datang untuk berkumpul. Suara canda dan tawa terdengar riuh di ruang tamu, namun hal itu tidak menarik perhatian Rai. Ia lebih memilih untuk menjauh dari keramaian dan berniat pergi ke kamarnya. Namun, saat hendak menaiki anak tangga, ibunya tiba-tiba menahan langkahnya.
"Rai, ajak brian bicara. Jangan hanya diam saja," kata Maharani dengan nada lembut tapi tegas. Rai menoleh, sedikit terkejut, lalu menatap ibunya dalam diam. Bagaimana mungkin ia bisa berbicara dengan seseorang yang tidak ia kenal? Meskipun hatinya enggan, Rai tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan ibunya.
Brian, yang sudah menunggu di luar, tampak gugup ketika rai akhirnya menghampirinya. Mereka berdua duduk di bangku halaman rumah, sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Brian duduk dengan gelisah, jelas merasa canggung di hadapan sosok yang sejak lama ia kagumi dari kejauhan. Tangannya berkeringat, dan ia sesekali melirik rai, berharap bisa memulai percakapan, namun mulutnya terasa kaku.
Sementara itu, Rai justru terdiam, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Pikirannya melayang jauh, mengingat suami dan anaknya yang telah tiada. Di tengah keheningan yang menggantung di antara mereka, hati rai seakan terjepit oleh rindu yang tak terungkap. Setiap bintang yang berkelap-kelip di langit seolah mengingatkannya pada kehadiran mereka, yang kini hanya ada dalam kenangan.
Di antara mereka berdua, tak ada kata yang terucap. Hanya diam, tenggelam dalam perasaan masing-masing.
Suasana hening yang sebelumnya menguasai mereka tiba-tiba terpecah oleh suara Brian yang pelan, namun cukup terdengar. “Langitnya indah ya ” katanya sambil melirik sekilas ke arah Rai.
Rai, yang tenggelam dalam pikirannya sendiri, mengangguk. “Iya, langitnya indah,” jawabnya singkat, namun maknanya dalam. Bagi Rai, keindahan langit malam itu bukan hanya tentang bintang-bintang, melainkan tentang bayangan suami dan anaknya yang selalu menghiasi ingatannya. Mereka berdua, dalam kenangannya, adalah keindahan yang tak tergantikan.
Brian menatap rai dengan pandangan kagum, terpesona oleh ketenangan yang terpancar dari wajahnya. Sekilas, perasaan yang selama ini dipendamnya muncul ke permukaan, membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan dari rai.
Tiba-tiba, Rai merasa ada yang memperhatikannya. Ia pun menoleh dan terkejut saat mendapati mata brian menatapnya lekat-lekat. Mata mereka bertemu dalam keheningan, dan keduanya terjebak dalam momen yang canggung. Spontan, Rai langsung menggeser duduknya, menjauh sedikit dari brian, merasa tidak nyaman dengan intensitas tatapan itu.
Brian yang tersadar dari kebodohannya, refleks melebarkan matanya, terkejut dengan sikapnya sendiri. Bagaimana bisa ia begitu ceroboh dan terang-terangan memperhatikan rai? Ia menundukkan kepala, malu, dan hatinya sibuk merutuki dirinya sendiri. Momen yang seharusnya sederhana, kini berubah menjadi semakin canggung. Tak ada kata-kata yang bisa memperbaiki suasana, hanya keheningan dan rasa kikuk yang menyelimuti mereka berdua.
Kecanggungan di antara rai dan brian seolah tak ada akhir, hingga tiba-tiba ponsel rai berdering, memecah keheningan yang mencekam. Rai mengeluarkan ponselnya dan melihat nama dina muncul di layar. Tanpa ragu, ia langsung menjawab panggilan itu.
"Halo rai, kamu di mana?" tanya dina di seberang, suaranya terdengar penasaran. "Tadi aku ke apartemen mu, tapi kamu nggak ada."
Rai menghela napas pelan, merasa sedikit lega bisa mendengar suara manager sekaligus ia anggap kakaknya. "Aku di rumah mama, lagi bantu-bantu di sini " jawabnya sambil melirik brian yang masih duduk di sampingnya, tampak gelisah.
"Oh, gitu. Aku ke sana aja ya, biar kita ngobrol. Nggak apa-apa kan?" Dina berkata dengan nada riang, dan itu membuat Rai merasa lebih baik.
“Boleh kak. Datang aja ” sahut Rai, suaranya sedikit lebih cerah, merasa kehadiran dina akan membuatnya lebih nyaman dan menghilangkan rasa canggung yang masih tersisa.