Setibanya mereka di rumah sakit yang ada di kota cendrawasih, mobil berhenti dan semua orang bersiap-siap untuk turun. Rai, dengan hati yang tak sabar dan penuh kecemasan ingin membuka pintu namun tiba-tiba tangan dina menahannya. Rai menoleh, wajahnya dipenuhi pertanyaan, sementara Dina menatapnya serius.
"Rai, kamu harus menyamar. Jangan sampai ada yang mengenalimu di sini," kata dina tegas namun lembut, mengingatkan rai pada ketenarannya sebagai seorang penyanyi yang bisa saja menarik perhatian banyak orang.
Rai menghela napas panjang, mengangguk setuju. Meski hatinya hanya ingin segera menemui rayan, ia tahu ada risiko yang harus dihindari. Dengan cekatan, Rai mengenakan hoodie besar yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, menarik tudungnya ke atas hingga menutupi sebagian wajah, dan memasang kacamata hitam serta masker. Setelah yakin bahwa penyamarannya cukup, ia turun dari mobil, perlahan menggendong zeline yang tampak lelap dalam pelukannya. Bersama dina dan yang lainnya, Rai melangkah menuju ruang operasi dengan hati yang berdebar, berharap bisa segera melihat suaminya.
Dari kejauhan, Rai melihat seorang gadis yang tampak gelisah berdiri di depan ruang operasi, berjalan mondar-mandir seolah menunggu dengan penuh kecemasan. Hati Rai bertanya-tanya, siapakah gadis itu dan mengapa ia begitu cemas di depan pintu tempat suaminya dioperasi? Pikirannya sejenak dihantui rasa takut, ketakutan yang dalam, mengingat kemungkinan adanya orang lain yang penting di hati Rayan selain dirinya dan zeline.
Dan sania yang tak sengaja melihat perubahan di wajah Rai langsung mengerti. Ia segera menenangkan, “Itu rani Kak. Aku dan rani karyawannya bang rayan.”
Rahma menambahkan, "Rani yang membawa rayan ke rumah sakit. Rayan menganggap rani dan dania seperti adiknya sendiri."
Mendengar penjelasan mereka, Rai menarik napas panjang, merasakan beban di hatinya mulai berkurang. Kekhawatiran yang sempat menghantuinya mulai sirna, digantikan oleh rasa lega. Rayan masihlah miliknya, dan dalam hatinya, tidak ada ruang untuk yang lain selain dirinya dan putri mereka. Rai kembali fokus pada harapannya yang utama, melihat rayan segera pulih dan berkumpul bersama keluarga kecil mereka.
-
-Merasa ada yang mendekat, Rani menoleh dan segera melihat mereka. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat menghampiri rahma, matanya penuh kecemasan yang tak mampu ia sembunyikan. Suaranya terdengar lirih namun penuh ketakutan saat ia berkata, "Kak rahma, aku takut sekali. Bang rayan tadi pusing kepalanya, badannya panas, dan wajahnya pucat sekali. Sewaktu mau diantar ke sini, dia sempat menyebut nama kak rai sama zeline... aku gemetar kak. Kenapa kalian lama sekali sampainya?" Suaranya mulai bergetar, dan air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Tadi air mata bang rayan juga jatuh waktu sebut nama mereka."
Rai yang mendengar cerita rani hanya bisa terpaku. Satu demi satu kata-kata itu menyusup ke dalam hatinya, mengalir bagai arus yang tak mampu ia bendung. Mata rai mulai berkaca-kaca, dan sebelum tubuhnya lemas, Dina cepat-cepat mengambil zeline dari gendongannya, memberi ruang bagi rai untuk menghadapi rasa yang tiba-tiba begitu mendalam dan penuh haru.
Perhatian rani langsung teralihkan, Rani memperhatikan sosok yang berpenampilan misterius di hadapannya ber hoodie, berkacamata hitam, dan masker. Namun, saat sosok itu membuka kacamatanya, Rani langsung mengenali siapa sosok di hadapannya. Dengan spontan, air matanya pecah, berhamburan tanpa tertahan.
"Kak... suamimu nyariin kamu dari tadi," ujarnya, tangisnya pecah.
Rai tak mampu lagi menahan sedih yang bergulung di dadanya. Ia menangis bersama rani, merasakan betapa besar cinta dan penantian rayan yang tersampaikan meski lewat ucapan orang lain. Terhanyut dalam luapan kesedihannya, Rai sadar bahwa keluarganya selalu menanti, dan hari ini, mereka akan berkumpul kembali, meski melewati badai ujian yang menantang keteguhan hatinya.