Setelah memastikan zeline terlelap di kamar, Rai keluar ke depan rumah, bergabung bersama Rahma dan Tio yang juga bersiap untuk kembali ke kota kencana. Namun, perpisahan ini tidak mudah baginya. Di hadapan rahma dan tio, Rai langsung memeluk rayan erat, tidak peduli akan terlihat manja. Rayan, yang menyadari betapa beratnya momen ini bagi istrinya, membalas pelukannya dengan penuh kelembutan. Dengan lembut, ia mengelus rambut rai, menenangkan seakan pelukan itu bisa menyampaikan rasa cintanya yang mendalam.
“Nanti di jalan jangan ngebut-ngebut ya? HP-nya jangan dimatikan. Kalau capek, berhenti dulu, jangan dipaksakan ” kata Rayan sambil menatapnya, seolah ingin memastikan setiap kata tertanam di hati rai. “Sampai di sana kabari lagi, dan langsung istirahat, jangan ke mana-mana.”
Rai mengangguk pelan, namun pelukannya tak kunjung terlepas, seolah setiap detik semakin mengikat perasaan mereka. Rahma dan Tio, yang menyaksikan momen itu, tersenyum simpul, membiarkan pasangan itu menikmati sisa-sisa kebersamaan sebelum mereka harus berpisah sementara.
Setelah lama berpelukan, Rai akhirnya bersiap untuk pergi. Rayan memberikan ciuman penuh kasih di kening, bibir, dan pipi istrinya, seolah berusaha menahan kepergian yang terasa begitu berat. Dengan tatapan penuh cinta, Rayan melepas rai masuk ke dalam mobil. Rahma dan tio pun berpamitan, lalu mereka hendak masuk ke dalam mobil.
Namun, di dalam kamar, Zeline terbangun, merasakan kekosongan di sisi tempat tidurnya. Ia mencari-cari sosok ibunya. Mendengar suara ayahnya berbicara di luar, gadis kecil itu segera berlari keluar kamar. Tepat di depan rumah, mesin mobil rai mulai menyala, bersiap untuk bergerak pergi. Tanpa diduga, Zeline tiba-tiba muncul di ambang pintu, mengejutkan rayan, rahma, dan tio yang tidak menyangka dia terbangun begitu cepat.
"Bunda!" Zeline berteriak, suaranya penuh dengan tangis dan kepanikan. Kecilnya tubuh itu berlari mengejar mobil yang mulai bergerak perlahan. Melihat putrinya berlari sambil menangis memanggilnya, Rai tertegun dan segera menghentikan mobil. Hatinya mencelos saat menyadari betapa berat perpisahan ini bagi zeline.
Rayan segera menyusul zeline, mengejar langkah kecilnya yang berlari. Ia menggendong zeline, membawanya ke arah rumah, namun zeline terus meronta di pelukannya, tangisnya pecah seiring kata-kata polos yang keluar, "Bunda, adek ikut... adek ikut."
Rai turun dari mobil, berlari ke arah mereka. Ia mendekap zeline erat, mengusap rambutnya, menenangkan si kecil yang begitu terpukul oleh perpisahan ini. "Bunda cuma pergi sebentar sayang " Rai berbisik lembut, air matanya ikut mengalir, terbawa oleh tangisan zeline. Namun zeline hanya memeluknya semakin erat, tak ingin melepaskan sedikit pun.
Momen itu penuh dengan kesedihan dan kehangatan, sebuah bukti bahwa cinta keluarga mereka begitu dalam dan tulus. Rayan menyaksikan dengan mata berkaca-kaca, menyadari bahwa cinta antara ibu dan anak ini akan selalu menantang setiap jarak yang memisahkan mereka.
-
-Rayan menatap rai yang sedang berusaha menenangkan zeline, mengelus punggung putri mereka dengan penuh kasih sayang. Meski hatinya berat, Rayan berusaha bersikap tegar, lalu berkata lembut "Sudah, tidak apa-apa, Rai pergi saja. Biar aku yang menenangkan zeline."
Namun, saat ia mencoba mengambil zeline dari dekapan rai, gadis kecil itu justru mempererat pelukannya pada sang ibu. Dengan tangis yang semakin pecah, Zeline berkata "Adek ikut sama bunda…"
Rayan menarik napas dalam-dalam, berusaha merayu zeline dengan lembut, "Bunda cuma pergi sebentar nak. Adek ikut ayah saja yuk. Nanti kita jalan-jalan, beli boneka baru, mau nggak ?" Tapi zeline tetap tak mau, tangisnya tak kunjung reda, dan pelukannya pada rai semakin erat.
Rahma, yang menyaksikan ketegangan tersebut, maju sedikit dan berkata, "Rayan, biarkan saja zeline ikut ibunya. Lihat betapa sedihnya dia."
Rayan, Rai, dan Tio menoleh pada rahma. Tio mencoba mengingatkan, "Rahma, akan sangat bahaya kalau zeline ikut pulang ke sana."
Rahma menoleh pada tio dengan tegas. "Apa kamu tidak lihat? Gadis kecil itu jelas tidak ingin berpisah. Dia akan baik-baik saja selama bersama ibunya. Rai tidak akan membiarkan zeline disakiti."
Rayan menatap rahma sejenak sebelum menggeleng. "Tidak, Zeline tetap di sini," katanya, suaranya bergetar.
Rai menatap wajah suaminya dengan tatapan terluka, dan berkata lirih, "Kenapa?"
Rayan terdiam, lalu menoleh "Aku… aku takut rai. Aku takut kalau ibu akan melukai zeline… Tidak ada yang bisa ku percaya di sana."
Air mata rai menetes saat mendengar kata-kata suaminya. Ia bertanya dengan suara bergetar, "Termasuk aku?"
Rayan terdiam, menyadari betapa menyakitkannya ucapannya bagi rai. Ia mencoba menjelaskan, "Rai, bukan begitu maksudku…"
Namun, Rai tetap terluka. "Aku ibunya, Aku yang melahirkannya. Apa kamu tidak percaya padaku?"
Rayan menundukkan kepala, merasa bersalah dan menyadari betapa dalam perasaan rai. Ia tahu ia seharusnya percaya penuh pada istrinya. Sebenarnya, ia tidak pernah meragukan cinta dan perlindungan rai untuk zeline, ia hanya takut pada orang-orang di sekitar rai. Namun, kata-katanya justru telah membuat istrinya merasa tak dipercaya.
Dengan penuh penyesalan rayan berkata "Maafkan aku rai… aku percaya padamu."
Dan rahma, dengan suara lembut tapi penuh tekad, berkata, "Rayan, biarkan zeline ikut rai pulang ke kencana. Dia akan aman di sana. Aku dan tio juga ada di sana. Daripada nanti zeline jatuh sakit lagi, lebih baik dia bersama ibunya. Sampai kapan kau akan hidup dalam ketakutan seperti ini? Zeline butuh ibunya, dan tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Kau tidak sendirian rayan. Aku dan tio adalah keluarga kalian. Kami akan selalu mendukung kalian. Percayalah pada hatimu, dan percayalah pada harapan yang kau ucapkan dalam doamu. Rai juga punya dina yang akan selalu membantu."
Kata-kata rahma menembus hati rayan, membawa ketenangan yang perlahan menghapus keraguannya. Dia menatap rai, yang masih mencoba menenangkan putri mereka. Rai menatap balik, dengan sorot mata yang penuh kasih dan air mata yang mengalir, memperlihatkan cinta dan kekuatan seorang ibu yang tak ingin berpisah dari anaknya.
Melihat tatapan itu, Rayan merasa hatinya luluh. Perlahan, dia mendekat, merengkuh rai dan zeline dalam pelukan hangatnya. Dengan suara lirih yang penuh penyesalan, dia berbisik, "Maafkan aku rai. Aku tahu kamu ibu terbaik zeline. Bawalah dia pulang bersamamu."
Di pelukan itu, Rai merasa lega, air matanya mengalir semakin deras. Dia tahu rayan telah melepas ketakutannya. Rayan mengecup kening rai dan zeline, menguatkan dirinya untuk melepas mereka, meski hatinya tetap dipenuhi harapan bahwa keluarga kecil mereka akan segera bersama lagi, tanpa rasa takut atau keraguan.