Setibanya di unit apartemen, Rai disambut oleh senyuman hangat dari ibunya yang telah menunggunya. Rai tersenyum kecil, rasa lelahnya sedikit sirna saat melihat ibunya. Dia segera mendekat, dan mereka berpelukan erat, merasakan kenyamanan dalam kehangatan satu sama lain.
"Mama kapan datang?" tanya rai dengan suara lembut, setelah mereka duduk di sofa. Ibunya membelai lembut rambut rai, senyuman tak pernah lepas dari wajahnya.
"Baru saja " jawab ibunya, suaranya tenang, penuh kasih sayang. Sementara itu, Dina yang telah mengantar rai kembali ke apartemen, pamit untuk pulang, melanjutkan pekerjaannya yang lain. Kini, hanya ada rai dan ibunya yang duduk bersama dalam hening sejenak, menikmati kebersamaan itu.
Ibunya menatap rai dengan penuh kebanggaan, matanya berbinar melihat anaknya yang kini dikenal oleh banyak orang. "Mama bangga padamu rai. Namamu ada di mana-mana sekarang, semuanya mengenal dirimu " katanya dengan penuh rasa bangga, suaranya mengandung kebahagiaan yang tak terbendung.
Rai tersenyum menanggapi pujian itu, namun di dalam hatinya, ada rasa yang tak tersampaikan. Ketenaran dan kesuksesan yang ia raih sekarang seakan tidak berarti apa-apa. Jauh di dalam hatinya, dia hanya ingin satu hal kembali bersama anak dan suaminya. Setiap sorot kebanggaan di mata ibunya hanya memperdalam luka hatinya, membuatnya sadar bahwa keinginannya tak pernah benar-benar dimengerti.
Dia menatap ibunya, ingin mengungkapkan perasaannya, namun bibirnya terkunci. Sepertinya, keinginan sederhana itu terlalu sulit untuk dipahami oleh ibunya, yang hanya melihat kesuksesan lahiriah tanpa menyadari kekosongan yang mendalam di hati rai.
"Maa..." tiba-tiba suara rai terdengar lembut namun penuh beban, tangannya meraih tangan ibunya, menggenggam erat. Ibunya sedikit terkejut, menoleh dengan tatapan khawatir.
"Iya rai, kamu kenapa?" tanya ibunya lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik wajahnya.
Dengan suara yang bergetar, Rai akhirnya membuka perasaannya. "Rai rindu suami dan anak rai maa..." ucapnya lirih, sementara air mata mulai menetes perlahan di pipinya. Tangis yang selama ini ia tahan akhirnya pecah, di hadapan ibunya yang selalu ia hormati. Rai menggigil, merasakan kehampaan dan kerinduan yang tak pernah bisa ia pendam lagi.
Ibunya berpura-pura ikut sedih, menarik napas dalam seolah mengerti kesedihan anaknya. "Oh rai..." katanya pelan, mengelus tangan anaknya dengan gerakan lembut. Namun, di dalam hatinya, ibunya merasa kesal, tidak bisa menerima kenyataan bahwa rai masih saja mengingat suami dan anaknya yang telah lama pergi. Baginya, sudah waktunya rai melupakan masa lalu dan fokus pada kesuksesan yang kini ada di depan mata.
Namun, Rai tak bisa mengabaikan rasa rindu yang terus menggerogoti hatinya. Baginya, kehilangan mereka adalah luka yang tak akan pernah sembuh, tidak peduli berapa banyak pujian atau popularitas yang ia dapatkan.
Rai menangis semakin keras, rasa rindu yang menyesakkan dadanya tak lagi bisa ia tahan. Dengan lemas, ia turun dari sofa, terpuruk di lantai, memegang dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri, seakan beratnya rindu itu menghantam fisiknya. Tubuhnya gemetar, dan di tengah tangisannya, ia merasakan sesuatu yang semakin membuatnya hancur, air susunya kembali bocor. Itu adalah pengingat paling menyakitkan bahwa tubuhnya masih berharap memberi makan anaknya yang sudah tiada.
"Mama... dimana bayiku? Kenapa dia meninggalkanku? Apa aku tak pantas menjadi ibunya?" tangis rai pecah dengan kepedihan yang dalam, suaranya bergetar di antara isakan.
Namun, ibunya hanya duduk di sofa, menatap tanpa kata. Ekspresinya datar, seolah tak ingin meresapi rasa sakit yang dirasakan anaknya. Bagi ibunya, tangisan ini adalah bagian dari kelemahan yang harus segera diatasi, bukan sesuatu yang perlu dipelihara. Tetapi bagi rai, itu adalah rasa kehilangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan atau lepaskan.