Dua puluh sembilan

80 9 0
                                    

Dua jam kemudian, Rai dan Dina tiba di Kota Kencana. Mobil mereka melaju memasuki kawasan apartemen, dan saat mereka turun, suasana yang sebelumnya terasa hampa tiba-tiba menjadi lebih menegangkan. Di depan pintu masuk, Rai bertemu dengan Maharani, ibunya. Di sampingnya berdiri Brian, bersama ibu Brian, Davika. Ketika tatapan Rai bertemu dengan mata ibunya, serangkaian pertanyaan bergejolak dalam hati Rai, mengguncang ketenangannya.

“Kenapa ibuku tega memisahkan diriku dari keluargaku? Kenapa dia berani mengancam suamiku dengan kematian anakku? Kenapa dia sanggup membohongi diriku tentang kepergian mereka, padahal mereka masih hidup?” setiap pertanyaan berputar dalam pikirannya, menyakitkan dan penuh emosi. Namun, meskipun semua itu memenuhi benaknya, kata-kata itu tak mampu terucap. Rai hanya terdiam, merasakan beratnya setiap detik yang berlalu.

Brian dan ibunya saling berpandangan, bingung melihat ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti suasana. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di antara rai dan ibunya, dan hanya bisa menyaksikan momen yang dipenuhi rasa hampa dan kesedihan. Di dalam diri Rai, pertarungan batin semakin membara, antara rasa cinta yang seharusnya ada untuk seorang ibu dan kemarahan yang tak bisa dipungkiri atas semua yang telah terjadi.

Maharani melangkah mendekati Rai dengan hati-hati. Dengan lembut, ia memeluk rai. Namun, Rai tetap diam, tubuhnya kaku dalam pelukan ibunya, tidak mengizinkan dirinya untuk merasakan kehangatan yang seharusnya menyentuh hatinya.

Tatapan rai menjadi kosong, pikirannya melayang jauh. Dina, yang berada di sampingnya, merasakan perubahan yang mendalam dalam diri rai. Dengan penuh kepedulian, ia menepuk pelan pundak rai, mencoba mengembalikan kesadarannya dari lamunan yang menyakitkan.

Sentuhan itu membuat rai tersadar sejenak, melihat sosok ibunya yang penuh harap di depannya. Dengan hati yang berat, Rai akhirnya membalas pelukan ibunya, meskipun perasaannya campur aduk antara marah dan sedih.

“Ma, aku harus bersiap-siap,” kata Rai, dengan nada datar sambil melepaskan pelukan mereka. Maharani mengangguk, mengerti bahwa anaknya membutuhkan waktu untuk bersiap.

“Mama sama Brian dan Tante Davika ingin melihat kamu, jadi kita pergi bersama-sama ya,” ujar Maharani, sambil menatap Rai dengan penuh harapan. Brian, yang berdiri di samping, sesekali melirik Rai, merasakan kegugupan yang tidak bisa ia sembunyikan. Saat mata mereka bertemu, pipi Brian bersemu merah, menunjukkan ketidaksiapannya dalam situasi tersebut.

Dina, yang memperhatikan semuanya dari pinggir, menangkap momen itu. Ia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Kenapa dia begitu?" pikirnya.

"Jangan bilang dia menyukai Rai." Perasaan curiga itu membuatnya sedikit melebarkan matanya, mencoba mengamati ekspresi Brian lebih dekat. Dina merasa ada sesuatu yang menarik di antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan.

Dengan hati-hati, Dina memutuskan untuk tetap diam dan menyimpan pemikirannya, namun rasa penasaran itu terus menggerogoti pikirannya. Sementara itu, Maharani dan rai masih berbincang, tak menyadari perasaan yang berkembang pada pemuda itu.

Lalu mereka semua masuk ke unit apartemen rai, dan suasana terasa tegang di antara mereka. Setelah menutup pintu, Rai melangkah cepat menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Di luar kamar, Maharani, Brian,  Davika duduk menunggunya.

Sementara itu, Dina duduk di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan brian. Raut wajahnya menunjukkan kegugupan yang jelas, tangan brian sesekali meremas ponselnya, dan pandangannya tidak menentu. Dalam hati, Dina berpikir, "Dia benar-benar suka ternyata." Dina mencuri pandang, dan itu membuatnya semakin yakin.

Namun, di tengah perhatiannya kepada brian, pikiran dina beralih kepada maharani. "Apakah akan ada perjodohan?" tanyanya dalam hati, menilai bagaimana sikap ibunya terhadap rai.

"Jika iya, ibunya benar-benar tega. Aku yakin rai tidak akan menerima perjodohan itu " ia melanjutkan, khawatir akan nasib rai.

Dina merasa gelisah, membayangkan bagaimana perasaan rai jika ia dipaksa untuk menjalani perjodohan yang tidak diinginkannya. Dia tahu betapa besar cinta rai kepada keluarganya yang sekarang terpisah, dan betapa rai berjuang untuk menemukan jalan kembali ke kebahagiaan. Harapan dina adalah agar rai bisa bebas memilih jalan hidupnya sendiri, bukan terjebak dalam keputusan yang ditentukan orang lain.

Tak lama kemudian, Rai muncul dari dalam kamarnya. Ia mengenakan pakaian berwarna biru muda yang menawan, memancarkan kesegaran dan keanggunan. Saat brian melihatnya, matanya langsung berbinar, terpukau oleh penampilan rai yang cantik. Ia tertegun, tak mampu mengalihkan tatapan dari rai, seolah dunia di sekitarnya lenyap sejenak.

Rai, tanpa menyadari perhatian brian, dengan gesit mengisi barang-barang penting ke dalam tas mini yang ia bawa. Suara tas yang berdesir menambah kesibukan suasana di ruangan tersebut. Setelah merasa siap, Rai menoleh ke arah "Ayo kita pergi," ajaknya.

Maharani, Brian, Davika dan Dina segera bangkit dari tempat duduk, mengikuti Rai. Brian masih tampak terpesona, sedikit terlambat dalam menyusul langkah Rai.

Dengan langkah yang mantap, mereka keluar dari apartemen, menuju sebuah petualangan baru, meski dina masih menyimpan pertanyaan di benaknya tentang apa yang sebenarnya akan terjadi di masa depan rai.

Saat Rai hendak masuk ke dalam mobil, Maharani tiba-tiba mengusulkan, "Rai, bagaimana kalau kamu satu mobil dengan brian saja?" Suaranya penuh harapan, namun kalimat itu membuat Rai dan Dina spontan menoleh. Brian terkejut, begitu juga dengan Davika yang tampak tidak menyangka.

Rai menatap wajah ibunya dengan keraguan, lalu beralih ke brian yang malah menunduk, seolah terjebak dalam momen yang canggung. "Kenapa harus dengannya? Aku dengan kak dina. Maa! aku mau kerja loh!" kata rai tegas, nada suaranya mencerminkan penolakan yang jelas. Setelah itu, Rai melangkah masuk ke dalam mobil, diikuti dina yang juga masih kaget.

Maharani terdiam, hatinya bergetar mendengar nada bicara rai yang tidak seperti biasanya. Selama ini, Rai dikenal sebagai sosok yang lembut dan patuh, tetapi hari ini, ada ketegasan yang mencolok. Maharani tertegun, mempertanyakan apa yang telah terjadi pada anaknya.

Brian, yang merasakan perubahan suasana, menghembuskan napas berat. Ia memasuki mobilnya dengan perasaan campur aduk. Rasa sedih melanda hatinya saat rai menolak untuk satu mobil dengannya. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi, memandangi mobil rai yang perlahan melaju menjauh, bertanya-tanya mengapa segala sesuatunya terasa rumit.

Di dalam mobil, suasana menjadi tegang ketika rai tak mampu menahan emosinya lagi. "Mama kenapa sih? Aku makin sakit hati diperlakukan begini! Kenapa harus dengan pemuda itu? Bahkan aku tidak kenal dengannya!" Suara Rai penuh kemarahan, mencerminkan frustrasi yang mendalam.

Dina yang duduk di sampingnya ikut berkata "Firasatku mengatakan pemuda itu menyukaimu, dan kemungkinan ibumu ingin menjodohkan kalian."

Rai langsung menggeleng, penolakan yang tegas terungkap dari wajahnya. "Tidak ada perjodohan! Aku sudah menikah! Dia menganggap suami dan anakku sudah meninggal dunia, tapi nyatanya mereka masih hidup!" kata Rai, suaranya keras dan penuh keyakinan.

Rai merasa terjebak antara dua dunia, satu dunia di mana ia masih mencintai suaminya dan anaknya, dan dunia lain yang dipaksakan oleh ibunya. Setiap kata yang diucapkan seakan memperkuat tekadnya untuk melindungi keluarganya dari intrusi orang-orang yang tidak mengerti cinta sejatinya. Dalam hati, Rai berdoa agar segalanya segera kembali normal, tanpa tekanan dan pengaturan yang memisahkannya dari orang-orang yang dicintainya.

Rai menghela napas dalam-dalam, matanya berkilau dengan kesedihan yang tak tertahan. "Tidak ada perjodohan, tidak ada pernikahan baru lagi," ucapnya lirih, suaranya hampir seperti bisikan. Setiap kata yang diucapkannya penuh dengan kepedihan.

"Cintaku sudah habis di Rayan dan zeline. Tidak ada untuk orang lain lagi," lanjutnya, membuat jantung dina berdegup kencang. Rai merasa seolah-olah sedang membela kehormatan cinta yang telah ia bangun bersama suaminya, meskipun keadaan memisahkan mereka. Kata-katanya menggambarkan betapa dalamnya perasaannya terhadap rayan dan zeline, bahwa tidak ada yang dapat menggantikan tempat mereka di hatinya.

Dalam momen itu, kesedihan dan ketegasan rai bercampur, menandakan betapa sulitnya perjuangannya untuk tetap setia pada cinta yang tulus meskipun dunia di sekitarnya berusaha mengguncang keyakinannya. Dina melihat rai dengan prihatin, merasa betapa berat beban yang harus ditanggung rai dan bertekad untuk mendukung rai dalam menghadapi segala rintangan yang ada.

zeline racheline [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang