Setelah brian sampai di rumah, dan malam harinya, di ruang makan terasa hangat meski hanya diisi dua orang. Brian dan ibunya, Davi, duduk bersama, menikmati hidangan makan malam sambil berbincang ringan. Kebersamaan mereka terasa penuh kehangatan, tanpa ada sedikit pun rasa sepi meski rumah itu hanya dihuni mereka berdua.
Davi tersenyum, mengingat momen saat ia melihat Rai di fanmeet tadi. "Tadi rai manis banget ya," katanya sambil mengangkat alis, memancing reaksi dari putranya. "Kamu kapan jujur sama rai tentang perasaan kamu?" tanya davi, suaranya lembut namun penuh harap.
Brian menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Brian belum siap nda. Brian takut kalau rai malah jadi gak nyaman. Lagi pula, kita juga gak terlalu dekat," ucapnya, ada nada ragu dalam suaranya.
Davi mengangguk, namun matanya tak bisa menyembunyikan rasa sayangnya untuk putranya dan keinginannya melihat brian bahagia. "Makanya, sering-seringlah deketin rai. Bunda gak sabar pengen punya mantu," katanya sambil tersenyum penuh makna. "Apalagi, Rai itu orang pertama yang bikin kamu jatuh cinta. Jadinya, bunda makin sayang sama rai. Orangnya sopan, ramah juga."
Brian hanya tersenyum kecil mendengar antusiasme ibunya. Ia tahu bahwa perasaan davi kepada rai sudah seperti keluarga, tapi hatinya masih penuh dengan keraguan. Meski begitu, dukungan dan doa ibunya membuat brian merasa ada harapan, walau ia tahu jalan ke sana tak akan mudah.
"Tapi bunda salut loh sama rai," kata davi sambil tersenyum pada brian. Davi mengenang saat mereka pernah berkunjung ke rumah ibu rai bersama keponakan brian. Momen itu membuat nya semakin yakin bahwa rai adalah sosok yang istimewa.
"Waktu kita ke rumah mereka, kan kita bawa keponakan kamu. Si adek itu nyaman banget sama rai. Padahal biasanya, kalau sama orang yang gak dikenal, dia pasti langsung nangis," lanjutnya, matanya berbinar penuh kekaguman.
Brian menunduk, teringat kejadian itu. Ia juga sempat memperhatikan cara rai dengan lembut merawat keponakannya, membuat si kecil tenang dalam dekapannya.
Davi melanjutkan, "Bunda perhatiin loh kalian dari dapur. Jiwa keibuan rai itu menguar banget. Sayang anak kecil berarti hati rai itu lembut," ucapnya penuh keyakinan. "Ah, bunda makin merestui kalian. Rasanya, bunda gak ragu sama sekali kalau rai yang nantinya jadi pendamping kamu."
Brian tersenyum kecil, menatap ibunya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dukungan ibunya menguatkan hatinya, namun di sisi lain, perasaannya masih dibayangi ketakutan. Namun, melihat kebahagiaan dan harapan di mata ibunya, Brian merasa mungkin inilah jalannya, jalan untuk memperjuangkan cintanya pada rai.
-
-Keesokan harinya, di pagi yang cerah, Rai tengah sibuk mempersiapkan perjalanannya pulang ke Cendrawasih. Setelah memastikan semua perlengkapannya telah dikemas dengan rapi ke dalam koper, ia menarik napas dalam-dalam, merasa tak sabar untuk segera berkumpul lagi dengan suami dan anaknya. Selesai menutup pintu apartemen, Rai mendorong kopernya ke arah lift. Sesampainya di lantai bawah, ia melangkah keluar dan menuju mobilnya yang sudah terparkir.
Saat hendak menyimpan koper ke bagasi, pergerakan rai terhenti ketika mendapati sosok yang tak asing di depannya. Brian, anak dari teman ibunya, berdiri di sana tak jauh darinya. Mereka bertatapan sejenak, membuat suasana menjadi canggung. Dengan cepat, Rai mengalihkan pandangannya, melanjutkan menaruh koper ke bagasi, seolah ingin menghindari perbincangan yang tidak diinginkannya.
Namun, Brian mendekat, mencoba mencairkan suasana. “Hai rai,” sapanya lembut, penuh harap.
Rai menoleh sekilas, memberikan balasan singkat. “Hai,” jawabnya dengan senyum tipis, lalu segera kembali menutup bagasi, berusaha tetap bersikap sopan tanpa membuka kesempatan untuk percakapan lebih lanjut.
Brian, yang merasakan sikap dingin itu, terdiam sejenak, namun masih berusaha mencari cara untuk berbicara lebih lama dengannya. Di sisi lain, Rai tak ingin terlibat percakapan yang panjang. dalam pikirannya, ada keluarga kecil yang menantinya dengan penuh rindu.
Ketika rai hendak membuka pintu mobil, suara brian membuatnya berhenti sejenak. "Kamu mau kemana?" tanyanya dengan nada penasaran. Rai menoleh sedikit, ekspresinya datar namun penuh kewaspadaan. "Aku ingin pergi," jawabnya singkat, mencoba menghindari tatapan intens brian.
Namun, bukannya berhenti di situ, Brian melanjutkan pertanyaannya, suaranya penuh keingintahuan. "Mau ke mana? Bukankah kamu tidak ada jadwal pergi ke mana pun?" Ia tahu biasanya setiap kegiatan rai akan diumumkan oleh agensi, sehingga pergerakan selebritas itu bukan hal yang asing baginya.
Rai menghela napas, merasa sedikit kesal tapi mencoba menyembunyikannya. "Aku ingin liburan," ucapnya, memilih untuk menyimpan kebenaran di balik kata-kata singkat itu. Kebohongan kecil yang baginya mungkin adalah cara terbaik untuk menghindari lebih banyak tanya. Brian mengangguk pelan, mungkin kecewa namun berusaha tidak menunjukkannya. "Oh, baiklah... hati-hati ya " katanya akhirnya, suaranya sedikit melembut.
Rai hanya membalasnya dengan anggukan kecil sebelum masuk ke dalam mobil. Begitu ia menutup pintu, perasaan lega perlahan merayap di hatinya. Dia menghembuskan napas panjang, seolah ingin menyingkirkan segala kecanggungan yang baru saja terjadi. Rai menginjak pedal gas, dan mobilnya perlahan melaju meninggalkan brian yang berdiri terpaku, hanya bisa mengiringi kepergiannya dengan pandangan mata penuh arti yang tak tersampaikan.
Brian menghela napas berat, Ia menundukkan kepala sejenak, merasakan kehampaan yang mengisi ruang di sekitarnya. Pandangannya kembali terarah ke mobil rai yang semakin menjauh, hingga akhirnya hilang sepenuhnya dari pandangan. Dalam diam, Brian hanya bisa menyimpan segala kata yang tak sempat terucapkan dan perasaan yang terus berputar di hatinya.
Dengan langkah lambat, ia kembali menuju mobilnya, seolah terjebak dalam dunia yang sunyi dan sendu. Tanpa arah yang jelas, Brian menghidupkan mesin dan pergi, membiarkan dirinya terbawa entah ke mana, mencoba melarikan diri dari perasaan yang kian dalam.
Di sudut lain, Risa memperhatikan semuanya. Tadinya, ia hanya kebetulan lewat, namun langkahnya terhenti ketika melihat sosok brian yang terlihat rapuh. Risa sempat menyaksikan kepergian rai dan bagaimana raut wajah brian berubah ketika sosok yang ia cintai pergi menjauh. Melihat kesedihan itu, hati risa ikut merasakan luka yang tak terucapkan. Ia ingin mendekat, ingin menawarkan bahunya seperti yang biasa ia lakukan, tapi kali ini, ia hanya bisa memandang dari kejauhan.
Rasa pedih di hatinya bercampur dengan ketidakberdayaan. Setelah menyaksikan momen itu, Risa perlahan berbalik, memilih untuk kembali pulang ke rumahnya, membawa serta kenangan yang menyakitkan namun tak pernah terungkap. Dalam diam, ia juga merasakan kesedihan yang dalam, sadar bahwa cinta yang ia pendam mungkin akan selalu menjadi rahasia yang hanya ia tahu.
Di sepanjang perjalanan, hati rai berdebar tak menentu. Seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya, ia merasa tak sabar ingin segera tiba di kota Cendrawasih. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan suaminya dan anaknya yang merupakan cahaya dalam hidupnya. Tadi, hanya beberapa menit yang lalu, Rahma menghubunginya, mengabarkan bahwa rayan diizinkan pulang. Namun, kabar itu datang dengan sedikit rasa cemas di hatinya, karena ia tahu kondisi rayan belum sepenuhnya pulih.
Rai teringat percakapannya dengan rahma. Saat ia bertanya apa alasan rayan ingin buru-buru keluar dari rumah sakit, Rahma hanya tertawa kecil di seberang telepon, menjelaskan bahwa rayan tak tahan berlama-lama di tempat itu. Dokter memang sudah mengizinkan, ia sendiri juga menyarankan agar rayan lebih banyak beristirahat di rumah.
Membayangkan pertemuan mereka yang kian dekat, Rai tersenyum kecil, meski perasaan cemas tetap menyelinap di hatinya. Ia berharap rayan benar-benar pulih, dan meski ia tahu perjalanan ini hanya menyisakan waktu sekitar satu jam lagi, tak ada yang lebih ia inginkan saat ini selain berada di sisinya, memastikan rayan nyaman dan beristirahat dengan tenang di rumah. Rai mendesah pelan, sembari terus mengarahkan pandangannya ke depan, berharap waktu segera mempertemukan mereka.