Tiga puluh satu

76 11 0
                                    

Rai tersenyum tipis, walaupun air matanya masih belum sepenuhnya berhenti. "Iya sayang," jawabnya lirih, suaranya lembut dan penuh rasa cinta. Rayan mendengar kelembutan itu dan membalas dengan penuh perhatian, "Nah, sekarang Rai istirahat ya? rai sudah makan?" tanyanya lembut.

Rai menggeleng pelan "Belum," katanya dengan suara pelan.

Rayan menghela napas kecil di seberang, terdengar penuh perhatian, "Makan dulu ya. Setelah itu mandi, baru istirahat. Jangan menangis lagi, aku nggak ada di sana buat hapus air mata rai. Nanti kalau ketemu baru boleh nangis, karena ada aku yang menghapusnya. Maaf ya, kalau aku nggak sakit pasti aku sudah susul rai ke sana buat peluk."

Rai tersenyum meski hatinya masih pilu, "Kamu nggak salah kok. Kamu juga istirahat ya, biar cepat sembuh. Jangan lupa makan, obatnya diminum juga "

Rayan tertawa kecil mendengar nasihat rai, "Siap sayang. Suamimu ini nggak susah kok kalau disuruh minum obat. Kalau susah, mak rahma pasti sudah ngamuk-ngamuk dari tadi!" candanya.

Suara tawa rayan terdengar menenangkan di telinga rai, dan akhirnya, Rai ikut tertawa kecil. Meskipun jauh, momen tawa itu menjadi penghibur yang mampu meredakan kepedihan mereka. Mereka berdua larut dalam perbincangan sederhana yang seolah menghapus jarak di antara mereka, menguatkan cinta yang selalu mereka pegang erat.

Sementara di sisi lain, di tepi danau yang sunyi, angin sepoi-sepoi menerpa wajah brian yang termenung menatap air yang tenang. Pikirannya melayang jauh, dibawa oleh kerlipan lembut permukaan danau. Tanpa disadarinya, seorang wanita datang mendekat, membawa botol minum. Ia adalah sahabatnya, seseorang yang selalu ada di sisinya di saat-saat seperti ini.

“Nih, minum dulu ” ucap wanita itu sambil mengulurkan botol.

Brian tersentak sedikit dari lamunannya dan menoleh, lalu mengambil botol itu dengan senyum kecil. “Terima kasih,” katanya pelan sebelum meneguk air.

Wanita itu hanya mengangguk, lalu duduk di sampingnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka berdua duduk dalam diam, saling mengerti tanpa perlu bicara. Pandangan mereka beralih pada danau, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka. Brian menghargai kehadiran sahabatnya, yang selalu tahu bagaimana menemani, hanya dengan berada di sisinya, tanpa banyak tanya atau menuntut cerita.

Tadinya setelah selesai menonton acara fanmeet rai, Brian dengan tanpa tujuan yang jelas membawa langkahnya ke tepi danau yang sepi. Tempat ini sering ia datangi saat butuh ketenangan. Saat perjalanan menuju danau, ponselnya berdering, Risa, sahabat yang sudah lama mengenalnya, menelepon menanyakan keberadaannya. Tanpa ragu, Brian memberi tahu lokasi dirinya, tak menyangka risa menyusulnya dan sekarang duduk disampingnya.

Kini, di tepi danau, setelah meneguk air dari botol yang risa bawa, Brian menghela napas dalam-dalam, seakan ingin melepaskan beban yang mengganjal hatinya. Hening sejenak, hingga risa memecah keheningan dengan suara lembut namun penuh perhatian.

"Tadi acara fanmeet nya rai kan?" tanyanya sambil mengalihkan pandangan, menatap wajah brian dengan penuh pengertian.

Brian menatap jauh ke tengah danau, tanpa menjawab langsung. Risa tahu, meski kata-katanya tak keluar, pikirannya penuh dengan pertanyaan dan perasaan yang tersimpan lama. Risa menunggu, memberi ruang bagi brian untuk menemukan kata-katanya, jika ia ingin berbagi.

Ia menggenggam botol minum itu erat-erat, lalu akhirnya berkata dengan suara pelan, "Kenapa jatuh cinta tidak seindah yang ku bayangkan?" Pertanyaan itu seperti mengapung di udara, menggantung di antara mereka.

Risa memandangnya, heran namun penuh perhatian. "Apa maksudmu? Bukankah sebelumnya kau bilang bahwa jatuh cinta itu sangat indah? Apalagi dia adalah cinta pertamamu," ujar Risa, suaranya lembut namun penuh dorongan agar brian berani membuka isi hatinya.

Brian tak langsung menjawab. Diam beberapa detik, ia akhirnya berbisik lirih, "Apakah aku tak pantas untuknya?" Lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah risa, matanya penuh keraguan dan kesedihan.

Risa menatapnya tak percaya, mencari kata-kata yang tepat untuk meruntuhkan keraguannya. "Kenapa kau berkata seperti itu? Kau pantas untuknya, cintamu pantas untuknya. Jangan langsung merasa tak pantas brian. Perjuanganmu baru saja dimulai kan?" Risa mengingatkannya, suaranya tegas namun mengandung kasih sayang.

"Kau bilang padaku kalau kau sudah punya keberanian  bicara dengannya langsung. Sekarang, kenapa kau tiba-tiba ragu pada dirimu sendiri?" tanyanya dengan nada lembut, mencoba mengembalikan kepercayaan diri brian.

Mendengar kata-kata risa, brian terdiam. Ia tahu sahabatnya benar, tapi perasaan takut dan keraguan terus menguasai hatinya. Entah kenapa, hati kecilnya berkata bahwa ia tak pantas untuk berjuang. Dengan napas berat, Brian akhirnya mengungkapkan isi hatinya, "Entah kenapa, rasanya aku tak bisa berjuang. Aku tak bisa memperjuangkan cintaku untuk rai. Entah kenapa, hati kecilku menolak, tapi pikiranku, aku ingin rai. Aku ingin rai menjadi pasangan hidupku."

Risa mendengarkan dengan seksama, wajahnya menunjukkan perhatian yang mendalam. Ia bisa merasakan ketidakpastian yang melanda brian, seperti gelombang yang tak kunjung reda di lautan hatinya. "Brian," katanya lembut, "cinta itu memang tidak mudah, dan perjuangan sering kali terasa berat. Tapi kau tidak bisa membiarkan ketakutanmu menghalangi mu. dan jika kau tidak berjuang, bagaimana kau akan tahu apakah ada kemungkinan antara kalian?"

Brian menunduk, menatap air danau yang berkilau di bawah sinar matahari. "Tapi bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika dia tidak merasakan hal yang sama?" tanyanya, suaranya penuh ketidakpastian.

"Setiap cinta yang tulus pasti memiliki resikonya," jawab Risa, optimis. "Tapi kau harus memberi dirimu kesempatan untuk mencoba. Jangan biarkan rasa takut mengalahkan harapan. Rai berhak tahu perasaanmu. Jika memang dia cinta pertamamu, tunjukkan padanya seberapa berartinya dia bagimu."

Kata-kata risa seperti cahaya kecil yang menerangi jalan gelap dalam benak brian. Perlahan, ia mulai merasakan ada harapan di antara keraguan yang membelenggunya. Mungkin, justru dengan berjuanglah ia bisa menemukan kekuatan dalam dirinya yang selama ini terpendam.

Kemudian brian berkata, "Terima kasih risa. Kau selalu tahu menenangkan ku, kau selalu tahu memberi solusi yang terbaik untukku." Risa tersenyum, meresapi ungkapan tulus dari sahabatnya. "Itulah gunanya sahabat," jawabnya, sederhana namun penuh makna.

Brian tersenyum kembali, merasakan hangatnya dukungan risa. Ia bangkit dari duduknya, melihat langit yang mulai gelap. "Sebentar lagi mau malam, aku mau pulang. Ayo ikut pulang ke rumah ketemu bunda," ajaknya dengan antusias.

Risa menggeleng, tampak tenang meski ada keraguan di matanya. "Aku di sini saja, kebetulan aku mau bertemu dengan temanku yang lain," kata risa dengan senyum yang tampak tulus.

Brian pun mengangguk, mengerti bahwa sahabatnya memiliki rencananya sendiri. "Baiklah, kalau begitu. Sampai jumpa risa " ucapnya, sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Setelah brian menjauh, senyum risa pun perlahan pudar. Dalam hati, dia berkata "Karena aku mencintaimu brian, walaupun kau tak pernah sadar akan perasaanku. Asal kau bahagia dengan pilihanmu, aku turut bahagia, walau aku terluka."

Risa menatap siluet brian yang semakin menjauh, hatinya dipenuhi campur aduk antara bahagia dan sedih. Meskipun perasaannya terpendam, ia berjanji pada diri sendiri untuk selalu mendukung sahabatnya, meski dengan mengorbankan kebahagiaannya sendiri.

zeline racheline [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang