Hari ini, kehidupan terus berjalan seperti biasa bagi rayan dan rai, meski hati mereka masih diliputi oleh rasa rindu yang mendalam. Pagi yang cerah, namun terasa berat, menyapa mereka berdua di tempat yang berbeda.
Di satu sisi, Rai sedang bersiap-siap di depan cermin. Pagi menjelang siang, ia akan menjalani pemotretan untuk sebuah brand besar, ditemani oleh dina yang setia berada di sampingnya. Rai menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dan siap memulai harinya. Meskipun terlihat tenang di luar, hatinya masih penuh dengan kerinduan yang tak terungkap. Dina, yang selalu memahami perasaan rai, menepuk bahunya dengan lembut, memberikan dukungan dan semangat yang dibutuhkan Rai.
“Kau bisa rai. Semuanya akan baik-baik saja ” ucap dina dengan senyuman kecil. Rai membalas senyuman itu, berusaha menyingkirkan segala bebannya untuk sementara.
Sementara itu, di rumah yang berbeda, Rayan memutuskan untuk mengambil libur dari tokonya hari ini. Sebuah keputusan yang jarang ia ambil, namun ada alasan khusus. hari ini, bidan rahma, wanita yang pernah berjasa besar dalam hidupnya, akan datang berkunjung bersama suami dan anaknya yang masih berusia satu tahun. Rahma adalah sosok yang selalu ia hormati, seorang bidan yang tidak hanya membantu saat kelahiran zeline, tetapi juga menjadi penyokong moral rayan dalam menghadapi segala tantangan sebagai ayah tunggal.
Setelah memutuskan untuk tidak hadir di toko, Rayan menyiapkan segala sesuatu di rumah. Ia menanti kedatangan rahma dengan penuh syukur. Zeline yang selalu ceria pun ikut bersiap-siap menyambut tamu istimewa mereka. “Hari ini kita akan bertemu Tante Rahma sayang” ucap rayan lembut pada zeline, yang dengan cepat mengangguk sambil tersenyum. Meskipun zeline masih kecil, ia selalu merasakan kasih sayang yang besar dari orang-orang di sekelilingnya.
Tak lama kemudian, Rahma datang bersama suami dan anaknya. Mereka membawa suasana hangat ke dalam rumah rayan, dan kedatangan mereka menjadi momen yang begitu berharga. Rahma tersenyum melihat zeline, memuji betapa cantik dan cerdas gadis kecil itu tumbuh. Mereka duduk di ruang tamu, berbicara sambil sesekali terdengar tawa ringan dari rahma dan suaminya. Di tengah kesibukannya sebagai ayah tunggal, momen seperti ini menjadi pelipur lara bagi Rayan.
Hari itu berjalan dengan damai bagi mereka masing-masing, Rayan di rumah bersama tamunya dan zeline, serta rai di lokasi pemotretan dengan dina yang selalu mendukungnya. Meski takdir memisahkan mereka, masing-masing masih mencari cara untuk bertahan dan melanjutkan hidup mereka. Tanpa mereka sadari, harapan untuk bertemu kembali suatu hari nanti terus hidup di dalam hati mereka.
Di ruang tamu yang sederhana namun hangat, Tio, suami rahma, berbicara dengan lembut pada zeline yang sedang bermain di dekat mereka. “Ikut sama om yuk pulang, nanti kakak zeline bisa main sama adik nesya di rumah ” katanya sambil tersenyum ramah. Zeline menatap tio dengan mata penuh rasa penasaran, seolah mempertimbangkan ajakan tersebut.
Sementara itu, Rahma dan rayan saling bertukar pandang. Mereka berdua tahu bahwa ada lebih dari sekadar ajakan bermain di balik kata-kata Tio. Tio kemudian mengalihkan pandangannya ke Rayan, suaranya sedikit lebih serius ketika berkata,
“Bolehkah aku ajak zeline pulang ke rumah? Sudah tiga tahun, Rayan. Sampai kapan zeline tidak bertemu dengan ibunya?” Tio menatapnya penuh harap, berharap rayan akan mengerti maksudnya.
Rayan menghela napas panjang, rasa berat dan beban yang ia pikul selama ini terasa semakin menyesakkan dadanya. Ia menunduk, menggeleng pelan. Di hatinya, rasa takut dan kebingungan masih terus bergulat, seolah tidak ada jalan keluar dari dilema yang dihadapinya. Bagaimana mungkin ia bisa membiarkan zeline bertemu dengan ibunya setelah apa yang terjadi? Setelah semua ancaman yang ia terima dari keluarga rai.
Rahma, yang duduk di sebelah tio, meletakkan tangan lembutnya di bahu suaminya. Ia memahami rasa cemas yang tersirat di wajah rayan, dan ia pun tahu betapa pentingnya keputusan ini. Tio menoleh ke istrinya, kemudian kembali menatap rayan. Dengan suara yang tegas namun penuh kasih, Tio berkata, “Jangan takut, Rayan. Kau tidak sendirian. Kami ada di sini untukmu. Aku dan Rahma, kami adalah keluargamu.”