Dua hari kemudian, Di dalam kamar yang tenang, Rai dan rayan menikmati waktu berdua sebelum rai pulang ke kota kencana. Rai berada dalam pelukan suaminya, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskan. Dengan suara lembut namun terdengar manja, ia berkata, "Rai gak mau pulang ke sana."
Rayan tersenyum, mengelus rambut rai dengan sayang, memahami beratnya hati istrinya untuk kembali ke kota yang jauh dari keluarga. "Tapi Rai..." katanya lembut, mencoba memberi pengertian, namun rai langsung memotong, "Gak mau sayang. Rai gak mau."
Melihat keteguhan hati istrinya yang bersikeras untuk tetap di sisinya, Rayan perlahan menangkup wajah rai dengan kedua tangannya. Ia menatap dalam ke mata rai, merasakan cinta yang mendalam di balik tatapan penuh harap itu. Dengan penuh kasih, ia mendekat, memberikan kecupan lembut di bibir istrinya. "Lucu banget, persis seperti zeline," godanya, tak mampu menahan senyum melihat kemiripan cara rai merengek dengan putri mereka.
Rai pun cemberut, menanggapi dengan nada sebal yang penuh manja, "Iyalah, kan anak aku." Rayan terkekeh pelan, geli mendengar jawabannya, lalu membetulkan, "Anak kita." Dengan wajah merona, Rai kembali merapatkan pelukannya, seperti anak kecil yang tidak mau lepas dari orang tuanya, lalu memohon dengan nada penuh rengekan, "Rai gak usah pulang ya. Rai di sini aja ya. Ya, boleh kan? Rai di sini aja."
Rayan menatapnya lama, tersentuh melihat betapa cintanya rai kepada keluarga mereka. Ia mengusap punggung rai dengan lembut, mencoba meredakan rasa berat hati istrinya. Walaupun mereka sama-sama tahu bahwa rai harus kembali, momen ini terasa begitu berharga, menciptakan kenangan manis yang akan mereka simpan hingga mereka bisa bertemu lagi.
"Sayang, dengarkan aku," bisiknya pelan, berharap kata-katanya akan sampai di hati istrinya. "Di sana, Rai juga punya tanggung jawab. Banyak yang menanti rai, terlebih Ibu. Dia pasti menunggu rai pulang. Kapan pun rai bisa datang lagi," lanjutnya dengan penuh pengertian.
Namun, bukannya merasa terhibur, Rai justru perlahan melepas pelukannya dan membalikkan tubuhnya, membelakangi rayan. Ada raut kesal yang mulai tampak di wajahnya, dan air mata yang tak bisa dibendung akhirnya menetes. “Berarti kamu usir aku kan? Kamu gak suka aku di sini ya?” ucapnya penuh perasaan, suaranya bergetar, seolah mencari kepastian dari rayan.
Rayan terkejut, tak menyangka bahwa perkataannya justru menyakiti hati istrinya. Ia menggeleng cepat, ingin segera meluruskan kesalahpahaman ini. Ia mencoba mendekati rai, namun rai malah menepis tangannya, lalu berkata dengan nada yang penuh dengan rasa kecewa, “Awas lah. Iya, aku pulang sekarang. Gak usah kamu suruh juga aku tetap pulang.”
Air mata rai jatuh semakin deras, mengalir tanpa henti. Rayan merasa terluka melihat kesedihan yang tak sengaja ditimbulkan oleh ucapannya. Tanpa ragu, ia segera memeluk rai dari belakang, menahannya erat dalam pelukannya. Rai mencoba melepaskan diri, namun rayan menahannya, enggan melepaskan sosok yang dicintainya. Ia perlahan membalikkan tubuh rai, menatap wajahnya yang kini basah oleh air mata.
Dengan penuh kelembutan, Rayan mengusap pipi rai, menghapus jejak tangis yang mengalir. Ia menatapnya dalam-dalam, seolah ingin meyakinkan bahwa tak ada niat sedikit pun untuk menyakiti. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya, mengecup bibir rai dengan penuh kasih, memberikan sentuhan yang lembut dan menenangkan, seolah berusaha menghapus kesedihan yang terlanjur tersimpan di hati istrinya. Dalam keheningan itu, hanya ada keduanya yang saling menyampaikan perasaan yang tak terucapkan, menyembuhkan luka kecil dengan kasih sayang.
Dalam kehangatan pelukan rayan, Rai merasa terlindungi, seolah seluruh dunia tak bisa mengganggu mereka di momen itu. Tangan rayan yang melingkar di pinggangnya terasa hangat, begitu pula dengan ciuman lembut yang mereka bagi, sebuah ungkapan cinta yang tak perlu banyak kata.
Rai mengalungkan tangannya di leher rayan, semakin mendekatkan diri pada sosok yang selalu memberinya rasa aman. Ciuman itu tidak terburu-buru, mereka larut dalam kelembutan, meresapi setiap detik yang terasa berharga. Hati mereka saling terhubung, dan tanpa kata pun mereka tahu, ada keengganan untuk berpisah.
Di tengah keintiman itu, Rayan berhenti sejenak, menatap mata rai yang masih berkaca-kaca, lalu berbisik lirih, “Aku sebenarnya tidak mengizinkan kamu pergi...tapi ada nyawa anak kita yang harus kita lindungi.” Suaranya bergetar, menggambarkan pergolakan batin yang tak bisa diungkapkan dengan mudah.
Air mata mengalir pelan di wajahnya, sebuah ungkapan dari kesedihan yang tersimpan di hati. Dia menatap rai dengan kasih sayang yang begitu mendalam, menyadari bahwa perpisahan sementara ini adalah keputusan yang harus diambil demi kebaikan. Rai menatapnya dengan penuh pengertian, Rai ikut menangis, jari-jarinya dengan lembut menyapu pipi Rayan yang basah oleh air mata. Meski berat, Rai tahu bahwa ini adalah pengorbanan untuk masa depan keluarga mereka. Mereka pun saling mendekap erat, berharap agar jarak takkan pernah bisa memisahkan hati yang selalu merindukan satu sama lain.
Tiba-tiba rai dan rayan serentak menoleh ke arah pintu. Di sana, Zeline, putri kecil mereka, memanggil. Rayan melangkah pelan ke arah pintu, membukanya dengan lembut agar zeline bisa masuk. Rai menunggu di tepi ranjang, hatinya mulai terasa berat memikirkan perpisahan yang sebentar lagi harus terjadi.
Zeline berjalan kecil ke arah ibunya, wajah polosnya menunjukkan ketulusan yang membuat hati rai semakin tak tega. Rai menyentuh pipi mungil putrinya, mengusapnya lembut seakan ingin mengabadikan setiap detik. Dengan suara penuh kasih, ia bertanya, “Adek, bunda boleh pergi sebentar gak nak?” Rai memandang zeline, berharap penjelasannya akan dimengerti oleh gadis kecil ini.
Zeline menatap wajah ibunya dengan tatapan bingung, lalu bertanya polos, “Bunda mau ke mana? Adek ikut.” Senyum manis zeline itu adalah hal yang paling dirindukan rai setiap saat. Rai menghela napas dan mencoba menjelaskan, “Bunda mau bekerja sayang. Nanti bunda balik lagi ke sini terus sama adek.” Tapi zeline menggelengkan kepalanya, wajahnya berubah sedih, dan suara kecilnya bergetar, “Gak mau, adek mau ikut.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata zeline, dan seketika tangisnya pecah, membuat hati rai terasa semakin berat. Rai segera menarik zeline ke dalam pelukannya, mendekapnya erat seolah ingin menenangkan kegundahan hati sang buah hati. Ia mengangkat zeline, mendudukkannya di pangkuannya, dan mengusap-usap punggungnya dengan lembut.
Rai mengecup puncak kepala zeline, mencoba menguatkan dirinya agar tak ikut terhanyut dalam tangisan. Sambil memangku zeline yang masih terisak, Rai berbisik lembut, “Sayang, bunda pasti cepat pulang ” tapi zeline tetap menangis. hati rai semakin berat tapi ia juga terpaksa harus pulang ke kota kencana. Rai berpikir sejenak, mencari cara agar zeline bisa tenang. Rai menoleh ke jam dinding, sekarang pukul dua siang, waktunya zeline untuk tidur siang. Rai pun punya ide, dengan helaan nafas berat rai mulai bicara dengan lembut.
“Adek, nen mau? Ini waktunya bobok siang kan.” Sambil berkata begitu, ia perlahan membuka kancing bajunya, menawarkan kenyamanan yang selalu dicari oleh putri kecilnya. Zeline, yang masih tersengguk-sengguk setelah tangisnya, mengangguk kecil. Meskipun masih ada bekas air mata di pipinya, wajah zeline mulai tenang, seakan menemukan ketenangan yang hilang dalam pelukan hangat ibunya.
Rai mendekap zeline dengan penuh kasih, membiarkan putri kecilnya menempel erat di dadanya. Tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan dan sentuhan lembut, Rai merasakan cinta yang dalam untuk buah hatinya. Zeline pun mulai menghisap dengan lembut, pelukannya mengencang di tubuh ibunya, seolah tak ingin membiarkan detik-detik ini berlalu. Perlahan, nafasnya menjadi lebih teratur, matanya semakin berat, hingga dalam kenyamanan yang disediakan oleh Rai, Zeline mulai terlelap. Di tengah heningnya kamar itu, Rai mengelus rambut putrinya dengan penuh kelembutan, menikmati momen sederhana namun penuh arti ini, menyimpan kekuatan untuk hari-hari yang akan datang.