Rayan duduk di tepi ranjang rumah sakit, menggenggam tangan kecil zeline yang tertidur pulas. Wajah putrinya tampak pucat, namun setelah penanganan dari dokter dan suster, demamnya mulai turun. Zeline telah dipindahkan ke ruang inap anak, dan dokter menyarankan agar ia dirawat beberapa hari hingga kondisinya benar-benar pulih. Meski zeline tampak lebih tenang, hati rayan masih terasa berat. Ia menatap wajah gadis kecil itu, perasaan bersalah memenuhi benaknya. Sebagai seorang ayah, dia merasa telah gagal. Ketika dokter tadi mengatakan bahwa zeline terus meracau mencari ibunya, kata-kata itu menusuk hatinya.
Pintu kamar rumah sakit tiba-tiba terbuka, membuyarkan lamunan rayan. Rahma dan Tio masuk dengan langkah tergesa-gesa. Begitu melihat zeline yang terbaring lemah di ranjang, Rahma langsung menghampiri dan duduk di samping Rayan.
“Bagaimana keadaan zeline? Apa kata dokter?” tanya Rahma dengan penuh kekhawatiran, matanya tak lepas dari tubuh kecil zeline yang masih terlelap.
Rayan menghela napas berat, suaranya lemah saat menjawab “Dokter bilang zeline harus dirawat di sini beberapa hari. Kondisinya stabil sekarang, tapi tadi... dia terus mencari ibunya.” Kalimat itu diucapkannya dengan berat hati, hampir tidak sanggup ia mendengar kenyataan bahwa zeline merindukan sosok yang tidak ada di sisi mereka.
Rahma mengangguk pelan, memahami kesedihan yang rayan rasakan. Ia meletakkan kantong belanjaannya di atas meja di sudut ruangan sambil menghela napas panjang.
“Zeline akan baik-baik saja rayan. Kau harus yakin itu. Dia gadis yang kuat, dan dia punya ayah yang luar biasa. Kau melakukan yang terbaik untuknya ” ucap rahma dengan lembut, berusaha menguatkan sahabatnya yang tengah dilanda kesedihan.
Rayan hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih diliputi perasaan bersalah. Matanya kembali tertuju pada zeline yang sedang tidur, wajahnya terlihat begitu damai seakan tak menyadari betapa besar kekhawatiran yang melingkupi ayahnya. Rayan meremas lembut tangan putrinya, berdoa dalam hatinya agar semuanya akan baik-baik saja.
Sementara di toko, Sania dan Rani sudah tiba, tepat pukul 10. Biasanya, pintu toko sudah terbuka dan aktivitas hari mulai berjalan. Namun, pagi ini suasana berbeda, pintu toko masih tertutup rapat. Mereka saling pandang dengan rasa khawatir.
“Tadinya aku takut bang rayan bakal marah karena kita terlambat,” kata Rani dengan sedikit cemas. Sania mengangguk setuju, tetapi ada yang lebih mengganjal pikirannya. Rayan tidak pernah terlambat membuka toko, apalagi tanpa memberitahu mereka sebelumnya.
Karyawan lain yang sudah lebih dulu berdatangan juga tampak bingung, tak ada yang tahu kenapa toko masih tutup. “Tumben sekali bang rayan lama buka toko,” ujar Rani sambil melirik pintu yang tetap terkunci. Sania mengangguk lagi, kali ini dengan lebih serius. “Iya ya... sebentar, aku coba telepon dulu.”
Sania segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon rayan. Setelah beberapa dering, telepon tersambung, dan suara lelah rayan terdengar di seberang. “Bang, kenapa toko belum buka? Kami semua sudah di sini ” tanya Sania dengan nada bingung.
Rayan pun menjelaskan bahwa zeline sedang sakit dan mereka sekarang ada di rumah sakit. Suaranya terdengar berat, dan sania langsung paham betapa cemasnya rayan saat ini.
“Oh, maaf bang. Semoga zeline cepat sembuh. Kami semua doakan yang terbaik untuk dia ” ucap Sania penuh simpati sebelum menutup telepon.
Setelahnya, Sania segera menyampaikan kabar tersebut kepada semua karyawan yang berkumpul di depan toko. “Toko hari ini tutup guys. Zeline sedang sakit, dan bang rayan ada di rumah sakit bersamanya.” Wajah para karyawan berubah khawatir, beberapa menghela napas panjang, memahami situasi yang terjadi. Hari ini, tidak ada aktivitas di toko. Semua berharap zeline segera sembuh, dan rayan bisa kembali dengan hati yang tenang.
Saat mendengar kabar zeline yang sakit, Rani tiba-tiba mengusulkan, "Bagaimana kalau kita menjenguk zeline?" Matanya berbinar penuh empati, dan usulan itu disambut anggukan setuju dari semua orang. Tanpa banyak bicara, mereka langsung bersiap-siap menuju rumah sakit, ingin memberikan dukungan kepada rayan dan putrinya.
Namun, tiba-tiba sania menghentikan langkah mereka. “Tunggu dulu,” katanya dengan nada berpikir, “kita mana mungkin datang dengan tangan kosong.” Ucapannya membuat semuanya berhenti dan berpikir sejenak. Mereka mengangguk, setuju dengan sania, memang tidak pantas datang tanpa membawa apa-apa.
Salah satu teman mereka, yang berdiri di belakang, angkat bicara. “Gimana kalau kita kumpul uang saja? Nanti kasih ke bang rayan, biar dia bisa beli apa yang dibutuhkan buat zeline ” usulnya. Ide itu langsung diterima dengan cepat oleh yang lain. Mereka segera berkumpul, mengeluarkan uang masing-masing, tanpa ragu memberikan apa yang bisa mereka berikan.
Setelah uang terkumpul, mereka semua tersenyum puas, merasa lega bisa membantu meski hanya sedikit. “Oke, sekarang kita berangkat,” kata Sania dengan semangat, dan rombongan mereka pun bergerak menuju rumah sakit. Rasa kekeluargaan di antara mereka begitu kuat. mereka tidak hanya bekerja bersama, tetapi juga saling mendukung di saat-saat sulit seperti ini.
Di perjalanan, meski suasana hati mereka khawatir, ada juga perasaan hangat karena tahu mereka tidak membiarkan rayan menghadapi semuanya sendirian.
Setibanya di rumah sakit, Sania dan yang lain segera mencari kamar tempat zeline dirawat. Sania sempat menghubungi Rayan, bertanya di bagian mana kamar anaknya, dan kini mereka menyusuri lorong rumah sakit dengan hati berdebar. Sesaat setelah menemukan kamar yang dimaksud, mereka semua masuk dengan langkah hati-hati, berusaha tidak mengganggu ketenangan di dalam.
Di dalam kamar, mereka melihat rayan duduk di samping ranjang zeline, wajahnya tampak lelah namun penuh perhatian. Di sudut lain, sepasang suami istri yang mereka kenal sebagai keluarga Rayan yaitu Rahma dan Tio juga ada di sana, mengawasi Zeline yang sedang tertidur. Suasana di ruangan itu terasa tenang tapi penuh rasa khawatir.
Semuanya segera mengatupkan kedua telapak tangan, memberi salam pada Rayan dan keluarga. Setelah memberi salam pada mereka, Rani maju sedikit, bertanya dengan suara penuh perhatian, “Bang, bagaimana zeline?”
Rayan menghela napas, lalu menjawab dengan pelan, “Demamnya sudah turun, tapi dia harus dirawat selama beberapa hari di sini.”
Jawaban itu membuat mereka semua terdiam sejenak, perasaan sedih menghinggapi mereka. Melihat zeline yang terbaring lemah, membuat hati mereka tersentuh. Sania menyerahkan amplop berisi uang pada rayan "Bang, ini dari kami semua. Semoga bisa membantu untuk keperluan zeline," katanya, disambut dengan anggukan penuh terima kasih dari rayan.
Dalam kebersamaan itu, meski tidak banyak yang bisa mereka lakukan, kehadiran mereka memberikan sedikit kelegaan bagi rayan, sebuah pengingat bahwa dia tidak sendiri menghadapi ini.
"Bunda..." Zeline tiba-tiba mengigau, suaranya lemah namun cukup untuk membuat semua orang di dalam kamar menoleh. Rayan langsung bangkit dari kursinya, hatinya terasa seperti diremas. "Dek...," bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah kekhawatirannya.
Zeline masih terus memanggil, matanya terpejam dalam tidur namun tubuhnya sedikit gelisah, "Bunda..." katanya lagi, nadanya penuh kerinduan. Di sudut ruangan, Rahma berbalik, tak sanggup menahan perasaannya. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Pertemuan tadi dengan Rai di minimarket berkelebat dalam benaknya perasaan sakit hati dan marah kembali memenuhi dadanya. Bagaimana bisa ibu Rai begitu tega membohongi anaknya, membiarkan Rai berpikir bahwa suami dan anaknya telah tiada? Rasa sakit itu terasa semakin dalam ketika mendengar zeline memanggil ibunya dalam tidur.
Rahma mengusap air matanya dengan cepat, berharap tidak ada yang melihat, tapi hatinya hancur. Mendengar racauan zeline hanya mempertebal dendam yang kini ia rasakan terhadap ibu rai. Ia berusaha mengendalikan diri, tak ingin emosinya tumpah di hadapan yang lain.
Di sisi ranjang, Rayan duduk perlahan, memeluk zeline yang mulai menangis meski masih terpejam. Dia menarik putrinya dalam pelukannya, berusaha menenangkan gadis kecil itu dengan lembut, "Adek, ini ayah..." katanya, suaranya bergetar namun penuh kasih sayang. Dengan tangan lembut, ia mengusap-usap punggung zeline yang masih terasa hangat, berusaha memberikan kenyamanan di tengah ketidakpastian yang mengelilingi mereka.
Melihat zeline seperti ini membuat rayan semakin merasa tak berdaya. Di satu sisi, dia harus tegar untuk putrinya, namun di sisi lain, ketakutan dan rasa bersalah menghantui pikirannya. Dia hanya bisa berharap zeline segera sembuh dan kembali ceria.