Di kota kencana, di dalam salah satu unit apartemen, suasana tampak mencekam. Seorang wanita bernama dina berusaha menenangkan rai, yang terisak dengan gelisah. Air mata mengalir di pipi rai, sementara tangannya terus memegang dadanya, seolah merasakan sebuah beban yang tak terdefinisi kan.
Dina, bingung dan panik, berlari ke dapur dan segera mengambil segelas air putih. Dengan penuh harapan, dia kembali menghampiri Rai "Rai, minum dulu " ujarnya lembut, berusaha menciptakan suasana tenang. Namun, Rai menggelengkan kepalanya, dan keringat bercucuran di keningnya, menunjukkan betapa tidak nyamannya ia saat ini.
"Kak, kenapa perasaanku gelisah? Apa yang terjadi? Kak, dadaku sakit " suara rai lirih, penuh kecemasan yang menggetarkan hati dina. Dia duduk di lantai, bersandar pada ranjangnya, seolah mencari dukungan dalam posisinya yang rentan.
Dina menghapus air mata rai dengan lembut, mencoba memberi ketenangan meskipun hatinya sendiri dipenuhi rasa cemas.
"Tidak ada yang terjadi rai, semuanya baik-baik saja " katanya dengan keyakinan yang dipaksakan. Namun, dalam benaknya, Dina sendiri merasakan ketidakpastian yang sama, merasa terperangkap dalam perasaan gelisah yang sulit dijelaskan.
Dia ingin meyakinkan rai, tetapi pada saat yang sama, kegelapan yang membayangi pikiran mereka berdua mulai terasa semakin mendekat. Momen ini seakan menggambarkan sebuah harapan yang rapuh di tengah kecemasan yang menghimpit.
Rai tiba-tiba menatap dina dengan mata penuh air mata, suaranya bergetar saat dia mengungkapkan kegelisahannya. "Kak, aku merasakan seperti ada yang memanggilku. Kak, anakku memanggilku " ucapnya, nada suaranya penuh keputusasaan. Dalam sekejap, semangatnya yang terpuruk menggantikan harapan, dan tanpa ragu, dia bangkit, bertekad untuk mencari anaknya.
Dengan cepat, Rai melangkah keluar dari kamar, mencari ke setiap sudut unit apartemennya. Dina, yang tidak ingin meninggalkannya sendirian, ikut bangkit dan mengikuti langkah rai. Mereka bergerak ke dapur, ke balkon, dan ke setiap ruang yang ada, tetapi tidak ada tanda-tanda anak kecil yang dicari rai.
Rai, dalam keadaan seperti orang yang kehilangan akal, terus memanggil anaknya " adek di mana? Adek kenapa nak? Bunda di sini sayang. Adek lapar ya? mau susu ya sini sama bunda ya nak ya!" Suaranya semakin nyaring, mencerminkan ketidakpastian yang menyelimuti hatinya.
Dina merasa hatinya hancur melihat rai dalam keadaan seperti itu. Dia dengan lembut memeluk rai, mencoba menahan langkahnya, berusaha menyadarkannya bahwa tidak ada yang bisa ditemukan.
"Rai, sudah, tidak ada racheline di sini " lirih dina, suaranya penuh kasih sayang.
Mereka akhirnya terduduk lemah di lantai, terjatuh ke dalam keputusasaan yang mendalam. Dina memeluk rai erat-erat, membiarkannya menangis di pelukannya. Di dalam pelukan itu, Rai mengeluarkan semua kesedihannya, sementara dina hanya bisa berdoa agar rai segera menemukan kedamaian. Momen hening ini menyatukan mereka dalam kepedihan yang sama, saling memberikan dukungan dalam kegelapan yang melingkupi hidup mereka.
Setelah beberapa saat, Rai akhirnya mulai tenang. Matanya yang sembab terlihat semakin berat, menunjukkan bahwa rasa kantuk mulai menguasainya. Dina, dengan lembut, membantunya berdiri dan menuntunnya kembali ke kamar. Rai menyerah pada kelelahan, membiarkan dina membaringkannya di tempat tidur. Dina mengusap dahi rai sejenak, memastikan bahwa rai nyaman sebelum akhirnya keluar dari kamar.
Duduk di sofa, Dina termenung, matanya memandang kosong ke arah depan. Pikirannya berputar-putar, mencari cara untuk membantu Rai agar bisa kembali ceria. Namun, beban yang dirasakan rai begitu besar, membuat dina merasa tak berdaya.
Dia mengeluarkan ponselnya, berharap bisa menemukan sesuatu yang dapat mengalihkan pikirannya. Saat dia membuka sosial media, pandangannya tertuju pada sebuah foto—foto seorang gadis kecil yang kemarin mereka lihat. Dina menatap foto itu dengan lebih dalam, ada sesuatu yang mengusik perasaannya.